Mazhab Birmingham dan Mazhab Frankfurt

Anda yang akrab dengan Mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule), yang terkenal dengan teori kritis-nya, yang geraknya di wilayah kebudayaan cukup menghentakkan teori-teori sosial semestinya kenal juga dengan Mazhab Birmingham yang mencuat dengan cultural studies Inggris-nya. Seperti halnya Mazhab Frankfurt, Mazhab Birmingham melakukan kerja-kerja budaya yang mendalam dalam pengembangan berbagai pendekatan kritis sebagai upaya analisis, interpretasi dan kritisisme atas artefak-artefak budaya. Richard Hoggart (l. 1918), Raymond Williams (1921-88), Edward P. Thompson (1924-93) dan Stuart Hall (l. 1932) adalah sebagian dari nama-nama besar dari Mazhab Birmingham ini.

Selama beberapa dekade ini, Mazhab Frankfurt dalam pandangan cultural studies Inggris sebenarnya dianggap sebagai angin lalu dan kritik budaya massa-nya diabaikan sebagai lawakan. Mazhab Frankfurt terus menerus distigmakan sebagai pendekatan yang elitis dan reduksionis, atau dikesampingkan dalam diskusi tentang metode-metode dan aktivitas cultural studies. Dikotomi Budaya Tinggi dan Budaya Rendah yang dianut oleh Mazhab Frankfurt boleh jadi merupakan akar mengapa hal ini terjadi. Model Mazhab Frankfurt tentang budaya massa yang monolitik vis-à-vis ideal ‘seni yang otentik’ yang membatasi momen-momen kritis, subversif dan emansipatoris pada artefak-artefak budaya tinggi tertentu memang sangat problematik. Selain itu, pandangan Mazhab Frankfurt bahwa segenap budaya massa itu ideologis dan menyeragamkan kecuali juga menipu massa konsumen yang pasif pun bermasalah. Namun demikian, sebenarnya ada kemiripan-kemiripan tertentu dalam Mazhab Frankfurt jika dibandingkan dengan Mazhab Birmingham. Kemiripan-kemiripan ini akan diulas setelah paparan perkembangan Mazhab Birmingham.

Proses perkembangan Mazhab Birmingham setidaknya bisa dibelah menjadi tiga tahapan (lihat Kellner dalam McGuigan, 1997). Upaya Hoggart, Williams, dan Thompson untuk mempertahankan budaya kelas pekerja dari serangan gencar budaya massa yang diproduksi oleh industri-industri budaya bisa dilihat sebagai tahapan awal. Thompson yang menyelidiki secara historis tentang lembaga-lembaga dan perjuangan-perjuangan kelas pekerja Inggris, pembelaan budaya kelas pekerja oleh Hoggart dan Williams, dan serbuan mereka atas budaya massa adalah bagian dari proyek sosialis dan kelas pekerja yang mengasumsikan bahwa kelas pekerja industri merupakan kekuatan perubahan sosial yang progresif dan bisa dimobilisasi serta diorganisir demi berjuang melawan ketidakmerataan masyarakat kapitalis dan bergerak ke arah masyarakat sosialis yang lebih egalitarian. Karya-karya awal Mazhab Birmingham ini belakangan mapan sebagai tradisi ‘budaya dan masyarakat’ Hoggart-Williams-Thompson.

Tahap kedua perkembangan cultural studies Inggris tersebut adalah bermula dengan didirikannya Centre for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham oleh Hoggart dan Hall pada 1963 / 4. Adanya serangkaian debat internal dan respon terhadap perjuangan-perjuangan dan gerakan-gerakan sosial 1960-an dan 1970-an, kelompok Birmingham mulai memusatkan perhatian pada pengaruh representasi dan ideologi kelas, ras, jender, etnisitas dan nasionalitas dalam teks-teks budaya, termasuk juga budaya media. Merekalah yang pertama mengkaji efek-efek koran, radio, televisi, film dan bentuk-bentuk kultural yang populer lainnya pada audiens. Selain itu mereka memusatkan perhatian pada bagaimana audiens yang beraneka menafsir dan menggunakan budaya media dalam cara dan konteks yang beragam. Mereka juga menganalisis faktor-faktor yang membuat audiens merespon dalam cara-cara yang berlawanan terhadap teks-teks media. Pendekatan cultural studies masa ini, secara umum, ditandai dengan teori ekonomi politik dan teori sosial kritis.

Perubahan menuju tahapan ketiga terjadi di masa pertukaran dari taraf tingkatan kapitalisme monopoli, atau Fordisme, yang berakar dalam produksi dan konsumsi massa(l) ke rezim tata modal dan sosial yang baru, yang kadang kala digambarkan sebagai ‘post-Fordisme’ ala Harvey, atau ‘post-modernisme’ ala Jameson, dan menandai modal trans-nasional dan global yang menggelorakan segala perbedaan, keanekaragaman, eklektisisme, populisme dan konsumerisme yang menghebat dalam sebuah masyarakat informasi/hiburan yang baru. Inilah tahapan yang ringkasnya bisa disebut sebagai masa peralihan populis postmodern di dalam cultural studies. Ia tak lain sebagai respon terhadap kapitalisme global yang memasuki era baru. Cultural studies tahap ini ditandai kecenderungan yang besar ke arah peruntuhan-pusat (decentring), atau bahkan mengabaikan sama sekali terhadap ekonomi, sejarah dan politik demi menekankan keriangan dan konsumsi lokal, dan konstruksi identitas yang hibrid, yang dibikin dari bahan-bahan populer.

Dalam proses perkembangannya seperti tersebut di atas, Mazhab Birmingham memiliki titik-titik perpotongan yang signifikan dengan Mazhab Frankfurt. Seperti halnya Mazhab Frankfurt, Mazhab Birmingham mengamati terserapnya kelas pekerja dan kebangkrutan kesadaran revolusionernya, dan mengkaji kondisi mem(a)ilukan ini bagi proyek revolusi Marxian. Dan ketika Mazhab Frankfurt menyimpulkan bahwa budaya massa memainkan peran penting dalam memadukan kelas pekerja ke masyarakat kapitalis dan bahwa konsumen dan budaya media yang baru membentuk hegemoni kapitalis dengan mode yang baru, Mazhab Birmingham tiba pada kesimpulan yang sama. Selain itu, kedua tradisi tersebut terfokus perhatiannya pada perpotongan-perpotongan antara budaya dan ideologi, selain juga melihat kritik ideologi sebagai hal sentral bagi suatu kajian budaya yang kritis. Lebih jauh, keduanya melihat budaya sebagai mode reproduksi ideologis dan hegemoni, dimana bentuk-bentuk kultural membantu membentuk mode-mode berpikir dan tingkah laku yang mendorong individu-individu beradaptasi pada kondisi-kondisi sosial masyarakat kapitalis. Kemudian juga, keduanya memandang budaya sebagai suatu bentuk resistensi terhadap masyarakat kapitalis dan kedua pendahulu, khususnya Raymond Williams, dan teoris-teoris Mazhab Frankfurt melihat budaya tinggi sebagai kekuatan resistensi terhadap modernitas kapitalis. Desantara

BAGIKAN: