Penemuan Hindia Belanda dalam Bahasa Film Kolonial. Tahun 1859 mungkin adalah tahun terberat yang pernah dihadapi oleh Eduard Douwes Dekker. Di kamar yang sempit di sudut negeri Belgia, Dekker yang kemudian dikenal sebagai Multatuli melahirkan karya terbesarnya: Max Havelaar. Roman yang ditulis di tengah kondisi ketidakmenentuan hidup, pengangguran, dan terancam perceraian itu justru memberikan warna lain dalam menggambarkan pribadi dan masyarakat yang dikunjunginya, seperti di Hindia Belanda. Dari novel yang kemudian diterjemahkan ke lebih 34 bahasa ini, penduduk Belanda seolah ditonjok kenyataan bahwa kemakmuran yang mereka nikmati selama ini adalah buah penderitaan negeri-negeri Timur yang mereka jajah. Jangankan indah, negeri-negeri Timur adalah negeri yang melarat nun menderita.
Memang, berbeda dengan genre ala Joseph Conrad dan penulis besar lain di jamannya, Multatuli yang berarti “Aku Sangat Menderita”, lebih memilih jalan yang tidak populer dalam pelukisan negeri Timur seperti Hindia Belanda, yang ditulis dengan penuh empati dan pemberontakan. Sementara tokoh-tokoh besar lainnya lebih cenderung memberi gambaran terhadap kebudayaan bangsa atau etnis tertentu dalam kerangka eksotismenya, negeri Timur yang kaya raya dan perawan nun murni. Persis seperti taman Eden yang moyang mereka ceritakan. Namun pilihan Multatuli yang tidak populer ini malah kemudian mengubah kebijakan politik kerajaan Belanda di akhir abad IXX hingga awal abad XX. Bahkan mendorong kaum politik etis untuk melakukan perbaikan-perbaikan kondisi sosial dan pendidikan di Hindia Belanda.
Dan jalan yang tidak sama dengan Multatuli, 50 tahun kemudian, nampaknya dipilih oleh para pembuat film yang terangkum dalam “Van De Kolonie Niets dan Goeds – Nederland-Indie in Beeld 1924-1942” yang diterbitkan oleh Film Museum Belanda. Film dokumenter yang terdiri atas 15 scene dan mendokumentasikan berbagai sisi Hindia Belanda pada tahun 1912 hingga 1942. Kehidupan Tuan-Nyonya Belanda di Deli dan Betawi, pabrik Karet di Asahan, Masyarakat Karo, Surabaya, Tanjung Priok, Tambang Minyak di Kalimantan, Upacara Kematian Tana Toradja, Upacara Ritual Sahyang Bali dan Perburuan Paus di Lamelarap (Desa Lamalera Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur) tampil dalam spectatorship dan gaze kolonial.
Hubungan pandang-memandang “Diri” dan “Liyan” dalam terma cultural studies yang menjadi salah satu isu penting dalam pembentukan subyek terasa kental sepanjang dokumenter ini. Tuan dan Nyonya Belanda tampil dalam dunia impian nan eksotis Timur, Liyan muncul dalam konstruksi. Dokumenter yang dikomposisi ulang oleh Mark-Paul Meyer, sarjana lulusan Amsterdam yang sekarang menjadi kurator museum Belanda tampil persis seperti dalam tradisi antroplogi visual, catatan perjalanan, foto perjalanan dan lukisan tentang orang lokal yang eksotis. Lihat saja adegan yang begitu disorot dalam upacara kematian di Tana Toraja, pemenggalan Kerbau dan pembantaian Babi untuk pesta disajikan dalam sudut pandang brutal di satu sisi dan eksotis di sisi lain.
Begitu pula dengan Bali, yang semenjak awal abad XX telah dijadikan daerah kunjungan wisata oleh kolonial Belanda. Tak ayal, tiap dokumenter berdurasi antara 5 menit sampai 15 menit ini tampil untuk memenuhi estetika ekonomi pariwisata yang gencar pada jaman itu dan juga imajinasi eksotik negeri timur yang indah dan perawan. Tindakan memandang yang muncul dalam citra-citra tersebut tentu membangun relasi kuasa antara produser (kamerawan / sutradara) dengan sosok-sosok Liyan, kejadian tempat dan obyek yang ada. Praktik memandang disini nampak memberi kekuasaan lebih terhadap mereka yang memandang dibanding dengan mereka yang menjadi obyek pandangan.
Jejak ekonomi pariwisata yang juga kental disini memang bisa dimaklumi dan pada waktu itu adalah tren umum dokumentasi visual dari kolonial Eropa. Pemerintah Kerajaan Belanda sendiri menyokong dan mensubsidi kegiatan ini. Salah satunya melalui perusahaan pelayaran Kerajaan Belanda dan Asosiasi Lalu-lintas Pariwisata Hindia Belanda yang begitu gemar dokumentasi visual di Hindia Belanda. Tujuannya jelas ekonomis dan perbaikan citra akibat serangan kaum politik etis atas buruknya kondisi Hindia Belanda. Dokumentasi visual dan berbagai macam bentuk representasi disini bisa kita maknai sebagai elemen penting pembentukan Timur sebagi Liyan, dimana budaya Timur diatribusikan sebagai yang barbar dan yang eksotis.
Multatuli nampaknya berjasa memberi narasi lain tentang Hindia Belanda, meski tidak semua pelancong Kolonial Belanda mengkikuti jejaknya. Tanpa kesaksian[u1] Multatuli, seperti dalam Max Havelaar, mungkin kita saat ini, kelompok politik etis Belanda dan yang lainnya begitu saja menerima dan masih lena bahwa negeri ini indah, gemah ripah sejak dulunya. Bukankah tradisi oral yang biasa hidup di budaya kita masih kuat perdebatan validitasnya dibanding tradisi literer atau bahkan tradisi citra visual yang berbicara seribu bahasa?