Manusia diciptakan sama dan setara. Kodrat asasinya adalah kebebasan menentukan diri dan membuat pilihan-pilihan sesuai dengan martabatnya. Namun kenyataannya, manusia sendiri menjatuhkan dirinya dalam pengkotak-kotakkan ras, etnis, agama, kepercayaan, budaya, dan aliran ideologinya akibat kerakusan dan kepongahannya. Lalu cerita-cerita tentang diskriminasi, pengucilan, penaklukkan, segregasi dan sebagainya pun lahir. Sejarah diskriminasi inilah yang akhirnya kembali menurunkan derajat dan martabat manusia.
Di Indonesia, sejarah diskriminasi berdasarkan adat dan kepercayaan adalah cerita yang diwariskan turun-temurun. Ini bukanlah penilaian tanpa dasar, melainkan sebuah realitas praktek-praktek diskriminatif yang dilakukan dan dilestarikan oleh negara (state) dan juga aktor-aktor non negara (non-state actors) terhadap masyarakat yang dianggap “minoritas”. Warisan turun-temurun inilah yang hendak dibongkar dan coba dihapuskan oleh upaya Desantara dan The Asia Foundation dengan menggelar Pengajian Agama dan Kebudayaan “Islam dan HAM Kultural” pada awal bulan Juni lalu. Seminar ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Habib Chirzin (anggota Komnas HAM), Pangeran Djatikusumah (tokoh Masyarakat Karuhun Sunda), dan Ahmad Baso (Desantara).
Cerita tentang Diskriminasi Agama dan Kepercayaan
Dalam diskusi yang dipandu Aa Sudirman (Tim Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya Jakarta) ini, Pangeran Djatikusumah membeberkan pengalaman komunitas penghayat dan komunitas adat Karuhun Sunda yang tidak diakui hak-hak dan kebebasannya dalam menjalankan keyakinan. Bahkan mereka pun kerap menerima berbagai pelecehan dan penghinaan. Negara dan masyarakat selama ini cenderung menganggap masyarakat adat Sunda Karuhun adalah animis, menyesatkan, murtad, dan bahkan disebut kafir. Hal ini diikuti oleh perlakuan diskriminatif berupa tekanan-tekanan negara melalui pembatasan hak-hak sipil dan politik, seperti tercermin dalam masalah perkawinan di catatan sipil, masalah akte kelahiran dan pendidikan.
Padahal, menurut Djatikusumah, agama dan kepercayaan lokal sama-sama percaya kepada Tuhan, hanya upacara ritualnya saja yang berbeda. Oleh karena itu, agama yang tidak dihayati akan percuma saja, demikian juga kepercayaan. Namun, yang terpenting antara agama dan kepercayaan tidak harus terpaku pada upaya mencari pengakuan saja. Namun, lebih lanjut Djatikusumah menyesalkan adanya sekelompok kalangan pemilik modal yang mengeksploitasi stigma negatif itu justru untuk meraup keuntungan material. “Kami sangat menyesalkan beberapa pihak yang mengkafirkan sikap religius yang muncul dari nilai dan religi kami, dan kami lebih menyesalkan lagi, tuduhan-tuduhan ini justeru “dilembagakan dan dikomersialkan” seperti dalam bentuk film Kafir!!
Apa yang dikemukakan Djatikusumah di atas tampak menggambarkan betapa praktek diskriminasi dalam masyarakat dijalankan, dilestarikan, dan bahkan diperkuat justeru oleh negara yang secara tidak langsung disokong oleh pemilik modal. Padahal menurut Djatikusumah, nilai-nilai komunitas adat bisa mengembangkan pemahaman pengenalan karakter kebangsaan (cara-ciri bangsa) lewat pengenalan karakter manusia.
Akar Diskriminasi
Mengenai problem diskriminasi yang menimpa komunitas adat dan kepercayaan ini, Ahmad Baso mengemukakan secara lebih detil bahwa peristiwa diskriminasi yang menimpa kemunitas adat dan penghayat kepercayaan selama ini lebih karena dimunculkan oleh dua hal. Pertama, pandangan tentang umat beragama tentang “yang lain” (the Others). Kedua, pandangan tentang adanya posisi yang disebut “mayoritas” berhadapan dengan vonis “minoritas”. Dan justeru, menurut Baso, isu strategis diskriminasi yang berakar pada dua masalah tersebut selama ini banyak melibatkan komunitas Islam.
Dalam paparannya, Baso mencoba mengkritisi Islam sebagai problem HAM kultural. Menurut dia, pandangan unik agama Islam tentang “yang lain” (the Other) perlu diinterpretasikan kembali dan ditransformasikan agar lebih membawa makna kedamaian, kerukunan, dan adanya toleransi antara manusia. Baso pertama-tama mempertanyakan, apakah agama-agama yang (di)besar(kan), seperti Islam, punya tanggung jawab moral terhadap berkembangnya keragaman praktik keagamaan dan kepercayaan yang dianut umat manusia. Lalu pertanyaan berikutnya, apakah sebutan “kafir”, “infidel” atau sejenisnya adalah sesuatu yang inheren dalam agama-agama (di)besar(kan) itu, ataukah sesuatu yang fleksibel tergantung penafsiran dan cara pandang pemeluknya yang berubah-ubah, karena kondisi yang juga berubah-ubah?
Sebagaimana dalam Katolik misalnya, pandangan terhadap agama-agama lain mulai berubah sejak lahirnya Konsili Vatikan II yang mengakui penyelamatan di luar Katolik. Praktis pandangan tentang sebutan bid’ah atau heretik, yang biasa ditujukan kepada agama-agama non-Katolik, pun berubah. Sementara dalam Islam, sejak masa Kerasulan juga terdapat berbagai pandangan tentang kategori “kafir”, termasuk orang-orang atau kelompok yang bisa dihukum kafir, kufr atau murtad. Pada awalnya, ia ditujukan kepada orang-orang Quraisy di Mekah yang menentang dakwah Nabi. Juga ada sebutan “kufr nikmat” yang ditujukan kepada orang-orang Islam yang tidak mensyukuri rezki Allah. Lalu setelah Nabi wafat, sebutan kafir dipakai kelompok-kelompok dalam Islam yang bertikai dalam memperebutkan kuasa politik (kekhalifahan). Bahkan sebutan kafir itu kian menjadi-jadi dalam sekte-sekte atau aliran paham keagamaan dalam Islam. Dalam teologi, aliran Mu’tazilah dianggap kafir; dalam filsafat, ajaran-ajaran Ibn Sina dan kalangan falasifah divonis kafir; sementara dalam hukum Islam, ada mazhab fiqih yang menjatuhkan sebutan kafir kepada saingannya yang barbeda. Salah satu kitab yang ditulis oleh pengikut mazhab Hanafi misalnya, menvonis kafir bagi orang-orang mazhab Hanafi yang menikah dengan orang-orang yang berasal dari Mazhab Syafi’i.
Namun pertanyaan lalu muncul, kendati pengertian “kafir” itu fleksibel dan berubah-ubah di setiap kondisi yang berbeda, mengapa sebutan “kafir” begitu mudah diungkapkan oleh siapapun dan konsekuensinya pun juga begitu mengkhawatirkan?
Pertanyaan kritis tersebut terkait dengan apa yang disesalkan Pangeran Djatikusumah di atas mengenai stereotip-stereotip yang dibangun masyarakat, negara dan pemilik modal untuk menghakimi komunitas yang dianggap menyimpang, animis, dan sesat. Dalam kasus film Kafir, Mardali dengan semena-mena menyebut “kafir” Madrais. Demikian juga upacara adat Seren Taun yang dirayakan oleh komunitas adat Karuhun Cigugur yang dianggap animis.
Baso menegaskan bahwa stigma “kafir”yang diungkapkan di depan publik, melalui media massa, telah menimbulkan persoalan moral yang bisa menimbulkan kebencian dan permusuhan. Lebih parah lagi, ia menjadi persoalan hukum bila pengungkapan tersebut dalam bentuk produk yang mendatangkan keuntungan material seperti produksi film. Yakni, bahwa ia mengambil keuntungan dari caranya menyudutkan suatu komunitas serta menghina seorang tokoh agama.
Namun demikian, tegas Baso, persoalannya kian rumit, ketika negara ikut menentukan absah dan tidaknya, atau murni dan tidaknya suatu praktik agama, tradisi, adat ataupun kepercayaan masyarakat. Dia mencontohkan, dalam Penetapan Presiden RI No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, misalnya, negara menjadikan wacana penilaian itu sebagai instrumen hukum mengikat, yang bertujuan mengontrol dan mengintervensi kebebasan dan hak asasi masyarakat, termasuk kebebasan warga dalam memilih dan menentukan sendiri keyakinan dan praktik keagamaannya. “Tapres itu adalah dalam rangka upaya mengamankan stabilitas kekuasaan negara. Ia adalah momen di mana agama dan negara saling bertukar tempat satu sama lain dan saling memperalat satu sama lain. Inilah yang lalu diteruskan rezim Orde Baru dan mungkin juga oleh pasca Orde Baru,” ujarnya.
Menurut Baso sisi gelap pandangan umat Islam terhadap “yang lain” ini membuahkan upaya kontrol, dan “pemurnian” agama di bawah kuasa negara untuk menjaga stabilitas. Upaya inilah yang melahirkan lembaga Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat), yang melaluinya, Kejaksaan berhak mengontrol ajaran dan praktik-praktik keagamaan. Dan bahkan pihak kepolisian dan tentara pun ikut dilibatkan, seakan-akan praktik-praktik keagamaan adalah sesuatu yang kriminal. Kriminal, karena dicap “sesat” dan “mengganggu ketenteraman warga” oleh lembaga-lembaga negara. Hal ini tampak misalnya dalam sikap pemerintah berkaitan dengan munculnya kasus komunitas penganut Haur Koneng pada tahun 1993. Haur Koneng adalah korban kesekian dari kebijakan “pemurnian” dan “tata tertib agama” negara ini. Ada Darul Arqam dan Ahmadiyah, dan juga ratusan penganut penghayat kepercayaan dan kebatinan. Dan menurut data Kejaksaan Agung, sejak tahun 1949 hingga tahun 1992, telah terdapat 517 aliran kepercayaan yang ‘mati’ di seluruh Indonesia. “Mati” adalah bahasa lain dari bubar, membubarkan diri, dibubarkan, dilarang, disesatkan, dikriminalkan. Dan itu, sebagaimana logika dominan, adalah takdir bagi “Yang Lain”.
Akar diskriminasi agama dan kepercayaan juga timbul dari pandangan posisi-diri yang narsisistik, sebagai “mayoritas”. Posisi diri “narsistik mayoritas” adalah rasa bangga dan cinta diri “berlebihan” terhadap posisi dirinya yang merasa mayoritas, lalu berusaha matian-matian mempertahankan posisi tersebut. Mayoritas berarti berjumlah banyak, berkekuatan besar, dan juga berarti “negara yang penduduk Islamnya paling besar”. Posisi-diri sebagai mayoritas ini kemudian diperjuangkan, atau setidaknya dipertahankan, untuk tetap dominan dan mempengaruhi segenap proses bernegara dan berbangsa. Narsisisme mayoritas ini lalu berusaha membuat ideologi “mayoritas” masuk dalam agenda negara dan kebijakannya, seperti dalam bentuk UU Sisdiknas, UU Catatan Sipil, UU Kerukunan Umat Beragama, dan sebagainya. Karena itu, logika tentang penyingkiran dan pengucilan terhadap “yang lain” (the Others) adalah juga logika diri mayoritas berhadapan dengan pihak yang dianggap “minoritas”. Bisa minoritas dalam agama, etnis, ras, adat, kepercayaan, dan lain-lain.
Gerakan Bersama Anti Diskriminasi: Dua Level
HAM kultural sebenarnya muncul untuk mengisi kekurangan-kekurangan dalam instrumen hukum HAM internasional. Seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik dan HESB, tentang anak dan perempuan. Meminjam istilah Baso, ketika kita berbicara HAM kultural maka sejatinya berbicara tentang persilangan global human rights, national human rights, dan local human rights. Soalnya diskriminasi kadang muncul dari hasil persilangan itu.
Persoalannya kian kompleks, ketika arus globalisasi hadir bak gelombang pasang yang menghantam jejaring kehidupan manusia. Di sini Habib Chirzin menggarisbawahi kompleksitas diskriminasi yang tercipta akibat hantaman globalisasi. Menurut dia, ini adalah akibat absennya global ethics yang mengakibatkan masyarakat terjebak dalam budaya hidup yang serba konsumeristik. Selain itu, dampak adanya ekonomi liberal memaksa sejumlah negara untuk melakukan privatisasi aset-aset negara. Celakanya, privatisasi ini justeru menyangkut hajat hidup masyarakat yang rentan untuk diabaikan dan dirugikan. Misalnya, privatisasi berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan pendidikan, yang berdampak pada anak-anak yang kekurangan gizi dan putus sekolah.
Melihat betapa rumit, dalam, kompleks dan tersebarnya praktek-praktek diskriminasi ini, memang seharusnya perlu adanya gerakan bersama penghapusan segala bentuk diskriminasi. Sebagimana diutarakan Ahmad Baso, hal ini harus dilakukan pada dua level pendekatan sekaligus; pertama, pendekatan pada tataran perilaku masyarakat, dan kedua, kebijakan/regulasi. Artinya, pada tataran prilaku masyarakat digalakkan upaya yang mengedepankan rekonsiliasi, pendidikan multikultural dan membangun mediasi-mediasi baru untuk meminimalisir stigmatisasi di antara berbagai komponen masyarakat, terutama stereotip-stereotip yang merugikan kepentingan hidup bersama. Sedangkan pada level regulasi, perlu pula mempromosikan HAM kultural, mulai dari pengajuan kebijakan hingga kerja-kerja aktif mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM kultural. Dan tak kalah pentingnya adalah membangkitkan kepekaan dan kepedulian masyarakat perkotaan dan aktifis NGO dan ormas keagamaan tentang isu-isu dan persoalan Islam dan kebudayaan yang terjadi di lingkungan terpencil dan di pedesaan, sebagai bagian dari agenda dan program untuk memenuhi dan melindungi hak asasi manusia.
Dalam konteks ini, menarik apa yang kemukakan Habib Chirzin mengenai Islam dan Problem HAM Kultural. Menurut dia, banyak nilai-nilai Islam yang mendorong semangat penghapusan diskriminasi. Misalnya, pesan perdamaian di dalam Islam selalu berbarengan dengan pesan menegakkan keadilan dan kebenaran, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan pemeliharaan terhadap lingkungan hidup, yang biasa disebut dengan ishlahul ardh dan imaratul ‘ardh. Selain tercermin dalam kitab al-Quran, juga tergambar dalam tema-tema dasar seperti: hifdzul hayat (perlindungan terhadap kehidupan), hifdzul syarof (perlindungan terhadap kehormatan), hifdzul nasal (perlindungan terhadap keturunan), hifdzul mal (perlindungan terhadap harta benda), dan hifdzul din (perlindungan terhadap agama dan kepercayaan). Menurut dia, semangat ini pula yang mendasari prinsip-prinsip HAM Internasional.
Lebih lanjut Chirzin dan Baso juga menegaskan bahwa elaborasi nilai-nilai tersebut dapat menjadi dasar bagi penghapusan segala bentuk diskriminasi, khususnya diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan. Dan lebih jauh ia menjadi sarana perekat sosial dan integrasi sosial yang akan menghindarkan masyarakat dari konflik dan dislokasi sosial. Dalam mewujudkan integrasi sosial yang lestari itu dan dalam rangka mencegah konflik setidaknya diperlukan 6 hal pokok. Yaitu, kesamaan derajat di depan hukum, terselenggaranya kebijakan publik yang nondiskriminatif, terjaminnya hak-hak kelompok minoritas, jaminan untuk memperolah pekerjaan yang terhormat, jaminan untuk memperoleh pendidikan yang memadai, dan penyelenggaraan negara yang adil dan bersih.
Memang, advokasi penghapusan diskriminasi ini butuh tenaga, strategi, keuletan dan waktu yang panjang. Pengajian Islam dan HAM Kultural yang dilaksanakan Desantara tersebut setidaknya memulai upaya tersebut. Banyak tanggapan dari peserta yang mendukung kerja-kerja kultural Desantara ini. Setidaknya menurut mereka, pengajian tersebut akan merekatkan semangat kebersamaan tanpa memandang latar belakang sosial dan budaya. Dari sini akan muncul tekad bahwa penghapusan diskriminasi perlu suatu gerakan bersama yang melibatkan komunitas yang lebih besar dan luas yang memiliki kepedulian akan kebersamaan, kerukunan, dan kehidupan yang damai demi pengembangan harkat dan martabat manusia bebas seutuhnya. Desantara / Anisa Rahmawati, Mh. Nurul Huda