“ Tanah adat kami sudah banyak diklaim oleh perusahaan, dan juga kehadiran perusahaan tersebut tidak lah sama sekali membawa keberuntungan bagi kehidupan kami,” ungkapan kegusaran itu disampaikan oh Ammatoa saat ditemui kontributor Deport 26 Januari 2010 lalu.
Sungguh bisa dimengerti kenapa orang yang dituakan di Tanah Toa Kajang ini mengatakan begitu. Sudah sejak lama, tanah adat mereka direcoki oleh orang luar dan sepertinya, pegangan yang mereka pakai sepertinya tak digubris oleh orang luar. Soal tanah juga begitu, selain tak lagi dikelola seperti aturan adat, tanah adat justru dinikmati oleh pendatang. “Justru kehadiran perusahaan tersebut merugikan warga masyarakat yang ada di Tana Toa Kajang,” kata Ammatoa.
Desa Tanah Toa sendiri, terletak di bagian utara Kecamatan Kajang, berbatasan dengan wilayah kabupaten sinjai. Luas wilaah desa Tanah Toa 1820 hektar yang terdiri dari sembilan dusun.
Padahal, bagi masyarakat Tanah Toa Kajang tanah adat adalah warisan dari leluhur yang harus dijaga kelestariannya. Hal ini karena bagi komunitas adat Kajang, tanah adalah bagian dari kosmologi yang harus dijaga dan diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Komunitas Tanah Toa tentu tak rela jika tanah yang selama ini menjadi bagian dari siklus kehidupan mereka, diganggu oleh orang luar, apalagi untuk kepentingan perusahaan. “Tanah Toa Kajang adalah tanah adat yang senantiasa harus dijaga dan dikelola sesuai dengan aturan adat dan tradisi kami sendiri tanpa harus ada intervensi dari luar, baik dari kalangan pemerintah maupun pengusaha,” terang Ammatoa
Selain itu, perusahaan juga mengganti tanaman yang selama ini menjadi bagian dari adat Kajang. Seperti disampaikan Ammatoa, tanaman yang ada di tanah adat kini bukan lah tanaman yang diharapkan masyarakat Kajang seperti pohon karet. Atas tanaman karet itu, Ammatoa mengatakan, “Nyata-nyata tidak pernah kami lihat dan kenal sebelumnya serta tidak ada dalam Pasang Ri Kajang sebagai pedoman hidup kami,” paparnya.
Okupasi Tanah Adat
Tetapi, keinginan untuk menjaga tanah, dan merawat seperti yang ada di Pasang Ri Kajang memang tak mudah. Mereka harus berhadapan dengan perusahaan perkebunan macam PT. London Sumatera (PT. Lonsum).
Jika menilik dari sejarah, keresahan yang dialami Ammatoa sudah begitu lama. Tanah Kajang telah dieksploitasi sejak zaman Belanda seperti yang dimiliki (PT. Lonsum). Lonsum, masuk Kajang sejak tahun 1919. Perusahaan itu, dulunya menggunakan nama NV Celebes Landbouw Maaschappij.
Perusahaan juga mengatakan bahwa tanah adat itu telah mereka sewa dari negara sehingga mereka berhak mengeksploitasinya. Klaim kemanfaatan yang membuat petani Kajang meradang sehingga komunitas adat melakukan reclaiming. Puncaknya terjadi 21 Juli 2003, sengketa antara petani dengan PT Lonsum mengakibatkan setidaknya tiga petani Kajang meninggal saat mereka menuntut kembali tanah yang disewa PT Lonsum itu.
Atas segala yang terjadi ini pemerintah sendiri mendua. Para pejabatnya tak ambil peduli dengan nasib orang Kajang kecuali saat mereka punya kepentingan seperti menjelang Pilkada seperti sekarang. “setelah pilkada selesai persoalan ini tidak pernah lagi dibicarakan, ini hanya sekadar janji-janji politik belaka” ungkap Tamrin salah seorang warga Kajang Luar.
Menjelang musim Pilkada, Komunitas Kajang ramai dikunjungi oleh para kandidat dan berjanji kepada warga setempat bahwa tanah adat mereka akan diperjuangkan, “Namun hal tersebut tidak pernah terwujud sampai hari ini,” ungkap Tamrin kesal. []
Suaib Prawono, Desantara