Memutus Mata Rantai Kebencian Berkepanjangan

Untuk merespon sebuah karya film rendah mutu seperti Fitna dan seorang politikus ambisius yang menjual kebencian demi meraih popularitas, Geert Wilders, tampaknya tak perlu berlebihan. Ucapan Abdullah Haselhoef, seorang imam asal Rotterdam, kiranya cukup menggambarkan: “Jika orang buta mengatakan matahari itu gelap, mengapa kita harus repot?” Cukup di situ. Tak usah lagi memperpanjang mata rantai kebencian.

Sebuah metafora sederhana namun menukik untuk memperlihatkan betapa dangkalnya kualitas Wilders yang memberi tafsiran al-Quran dengan cara super ngawur. Formula film Fitnakanan Belanda dari Partai Kebebasan (Partij voor de Vrijheid) ini terlalu simplistis. Ia hanya melakukan teknik kutip-mengutip, comot-menyomot, penggal-memenggal ayat-ayat al-Quran lalu mencerabutnya dari konteks dan membenturkannya dengan adegan kekerasan untuk mendukung tesisnya bahwa al-Quran adalah sumber kekerasan dan kitab anti toleran. besutan politikus sayap

Nukilan al-Quran yang pertama digunakan dalam film Fitna adalah surat al-Anfal ayat 60, yang sengaja dikutip tidak utuh untuk memaksakan interpretasinya yang sangat mentah mengenai hubungan antara al-Quran dan terorisme dengan meminjam tafsir al-Quran versi M.H. Shakir yang banyak mengundang kontroversi karena diduga sebagai karya plagiat. Padahal kalimat yang dikutipnya adalah bagian dari kisah panjang sepuluh halaman tentang kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Nukilan ayat ini diperlihatkan persis setelah pembukaan film dengan materi animatif yang mengambil seri karikatur Nabi Muhammad ciptaan Kurt Westergard yang dimuat pertama kali pada 30 september 2005 di surat kabar Denmark, Jyllans-Posten dan menuai protes keras.

Lantas, Wilders menjahitnya dengan potongan gambar pesawat menghantam menara kembar World Trade Center, New York, dalam tragedi 11 September 2001 lalu. Dengan teknik penyuntingan sama pula, dia meneruskan dengan gambar peristiwa pengeboman kereta api di Madrid, Spanyol, pada 11 Maret 2004. Ia kemudian memainkan teknik sunting penumpukan gambar (dissolve to) dengan memunculkan sosok seorang imam tak dikenal.

Setelah surat al-Anfal, dengan teknik yang sama, Wilders kemudian berlanjut ke dua surat lainnya dalam al-Quran, yaitu an-Nisa ayat 56 dan 89 serta surat Muhammad ayat 4. Dan untuk mengakhiri permainan kutip-mengutip ini, Wilders kembali ke surat al-Anfal dengan menukil ayat 39.

Wilders ternyata tak hanya mentah di persoalan tafsir. Sebagai seorang sutradara, kemawaspadaannya masih setingkat di bawah pemulung. Dan sebagai filmmaker, dia tak ubahnya seorang pencuri. Karenanya, dalam Fitna terdapat salah foto dan materi illegal. Dalam titik inilah, gelora kampanye anti-Islam sebagai agenda politik Wilders tampak lebih terang ketimbang menjaga kredibilitas dan kualitas sebuah karya film.

Kecerobohan berbau kriminal yang dilakukan Wilders terjadi ketika memberi ilustrasi bagi nukilan surat Muhammad ayat 4. Pada potongan gambar yang menghadirkan sosok Theo van Gogh, sutradara film Submission, yang tewas ditikam di sebuah jalan di Amsterdam pada awal November 2004 oleh seorang pemuda Islam, Mohammad Bouyeri. Wilders menggunakan materi obrolan sutradara Belanda lainnya, Robbie Muntz, dengan Van Gogh tanpa izin.

Kemawaspadaan Wilders pun kabur, karena salah mengenali orang. Masih di sekuen yang sama, Wilders salah menempatkan foto Mohammad Bouyeri dengan Salah Edin, rapperNederlands Grootste Nachtmerrie, dinobatkan sebagai album terbaik di BNN Urban Awards. warga Belanda keturunan Maroko yang ngetop di negeri itu lewat albumnya,

Akibat kecerobohan dan ketidakmawasannya itu, Wilders mendapat serangan yang tak pernah diduga, yaitu soal pencurian dan pelanggaran hak cipta. Salah Edin misalnya melarang Wilders memutar film Fitna karena menggunakan fotonya tanpa permisi kepada manajemen, perusahaan rekaman, dan dirinya sendiri. Robbir Muntz juga menuntut sama, musiknya dipakai tanpa permisi. Protes keras juga datang dari Kurt Westergaard, yang tidak tahu-menahu kalau karya karikaturnya dipakai. Karenanya, Westergaard menuding Wilders tak menghargai hak cipta dan dianggap sebagai bentuk pencurian.Tak hanya itu, stasiun radio dan televise Nederlandse Moslim Ommroep (NMO) mengancam akan menuntut Wilders melalui jalur hukum jika tak memotong gambar yang digunakan tanpa izin dari arsip NMO.

Kesalahan dan pelanggaran ini cukup mencolok. Namun bukan itu yang membuat umat Islam geram. Adalah soal kesucian dan kesakralan al-Quran yang dituduh sebagai sumber kekerasan yang membuat umat Islam berkecamuk. Dalam konteks ini Prof. Multi Ali tampaknya benar, bahwa agama adalah soal yang sensitive dan berdimensi emosional: there is nothing about which people are capable of feeling more strongly than their religion. Kontan, film Fitna yang isinya repetitif itu pun segera menyulut amarah jutaan muslim di pelbagai belahan dunia.

Rupa-rupa Reaksi

Memang, durasi film ini boleh saja pendek, hanya sekitar 15 menitan. Tetapi reaksi yang ditimbulkannya berkepanjangan dan menjalar kemana-mana. Rupa-rupa pula bentuknya, mulai dari larangan, kecaman, hujatan, aksi, sampai seruan boikot produk Belanda –yang kesemuanya dilambari amarah dan kebencian.

Dari Eropa sendiri, Dewan Gereja se-Dunia (WCC) mengecam film buatan Geert Wilders itu sebagai bentuk “Islamophobia”. Dalam pernyataan bersama, para menteri luar negeri Uni Eropa, mengecam film tersebut dan mengekspresikan dukungan mereka untuk Pemerintah Belanda, yang menjauh dari film Wilders.

Di Iran, sebagaimana yang dipaparkan Tempo, juru bicara kementerian luar negeri Mohammad Ali Hosseini menyerukan agar pemerintah Belanda segera menghentikan peredaran film itu. Di Yordania, reaksi muncul lebih keras. Sekitar 53 anggota parlemen mengirim petisi ke pemerintah, meminta pemutusan hubungan diplomatik dengan Negeri Kincir Angin. Protes sama juga terdengar dari Sudan.

Beralih ke Mesir, Menteri Luar Negeri Ahmed Aboul Gheit mengatakan film itu penghinaan atas Islam. Di Jedah, Arab Saudi, Organisasi Konferensi Islam (OKI) menuding film itu ”sengaja menyebar kebencian serta memancing kekacauan, konflik, dan ancaman bagi stabilitas politik dunia”. Di Pakistan, ratusan orang berdemonstrasi mengecam film Fitna.

Kemarahan juga merambat ke Asia Tenggara. Bekas Perdana Menteri Mahathir Mohamad meminta 1,3 miliar penduduk muslim dunia memboikot produk Belanda. Dia menyerukan kaum muslim di seluruh dunia bersatu. ”Kalau kita boikot bersama, ekonomi Belanda akan jatuh,” ujar Mahathir. Akibat seruan itu, sebagaimana dilansir BBC, Selasa (1/4), beberapa perusahaan Belanda sangat khawatir akan pemboikotan produk mereka dan bahkan mengancam akan menggugat Wilders. Sebanyak 40 cabang dari salah satu waralaba pasar swalayan terbesar di Malaysia kini menandai produk-produk Belanda dengan tanda merah, agar konsumen bisa memboikotnya jika menghendakinya.

Indonesia tak kalah kerasnya. Selain mengecam film Fitna, pemerintah Indonesiasana. Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melarang film itu ditayangkan di media massaIndonesia. Wilders bahkan dilarang datang ke sini. Di Jakarta, saban hari ada aksi di depan Kedutaan Besar Belanda, dari Front Pembela Islam sampai Hizbut Tahrir Indonesia. ”Holland Go to Hell”, tulis satu poster demonstran di sana, beberapa pekan lalu. meminta YouTube, situs video Internet, segera menarik semua tayangan film pembangkit permusuhan itu di dan internet di

Di Medan, Rabu (2/4) puluhan mahasiswa berunjukrasa di depan Kantor Konsulat Jenderal Belanda. Saking kesalnya, mereka kemudian merusak pintu pagar, dan melempari gedung dengan batu dan telur busuk. Mereka juga menurunkan bendera Belanda yang terpasang di depan Gedung Konsulat kemudian membakarnya. Di tiang kemudian dinaikkan bendera Merah Putih.

Nada balasan juga terdengar dari sebuah kelompok Islam di Indonesia yang berencana akan membuat film tandingan untuk Fitna.

Jangan Lupa Introspeksi

Reaksi boleh-boleh saja, tapi jangan lupa introspeksi diri. Wilders memang sengaja menyulut sumbu kebencian. Tapi kebencian tak harus dibalas dengan kebencian, sebab akan kian berbuntut panjang.

Marilah melihat kearifan sikap umat Islam di Belanda dalam merespon fenomena ini. Sehari setelah Wilders mempublikasikan film Fitna yang melecehkan Islam, di Amsterdam, kaum Muslim membagi-bagikan buku tentang islam secara gratis. Mereka memilih buku-buku dai terkenal dari Afrika Selatan, Sy
ekh Ahmad Deedat, yang terkenal kuat argumentasinya menghadapi tuduhan dan fitnah yang dilancarkan musuh-musuh Islam terhadap al-Quran.

“Target kampanye yang kami lakukan terfokus pada bentuk reaksi besar terhadap serangan terhadap al-Quranul Karim. Karena itu, kami melakukan aksi damai ini guna memperbaiki pengertian publik terhadap risalah Islam,” ujar tokoh perbandingan agama asal Saudi, Asham Ahmad yang turut menggagas aksi itu. Cara demikian patut kiranya dicontoh. Sebab dengan itu pula, tuduhan dan prasangka negatif terhadap Islam akan kandas.

Jika umat Islam merespon dengan kebencian dan berujung pada kekerasan, maka Wilders akan menuai dua keuntungan sekaligus: tuduhan Wilders bahwa al-Quran sebagai kitab kekerasan dan anti toleran semakin kuat, dan nama Wilders dalam kancah politik akan semakin berkibar.

Ingat, selama ini Wilders gemar menjual kebencian untuk meraih ambisi politiknya. Tindakan Mohammad Bouyeri yang membunuh Van Gogh mampu dimanfaatkan Wilders dengan baik dengan cara mempromosikan ketakutan dan kebencian. Tak urung, dukungan melimpah ke partai yang dipimpin Wilders. Sebuah jajak pendapat mengindikasikan bahwa partai itu, PVV, bisa memperoleh 29 dari 150 kursi di parlemen seandainya pemilihan umum berlangsung setelah pembunuhan yang mengerikan itu.

Cara murahan untuk mendapat dukungan masyarakat Belanda dengan cara menjual kebencian itu sudah dilakoni sebelum Fitna beredar. Diawali dari sebuah surat terbuka yang isinya membuat luka: “al-Quran adalah buku fasis”. Surat terbuka yang diterbitkan koran De Volkskrant pada 8 Agustus tahun lalu itu menyebut isi al-Quran tak jauh beda dengan Mein Kampf yang ditulis Adolf Hitler dan jadi dasar peristiwa Holocaust.

Tak hanya itu, Geert Wilders, penulis surat itu, kemudian menganjurkan agar seluruh muslim di Belanda sebaiknya merobek separuh dari al-Quran jika ingin tetap tinggal di negeri kincir angin itu.

Ya, Wilders memang salah. Tapi ada hal yang penting untuk kita renungkan bersama, kenapa Wilders bisa sampai begitu membenci Islam? Tentu semuanya tidak berangkat dari ruang kosong.

Untuk itu, ada baiknya kita mendengar ucapan Ahmad Abu Talib (Muslim), menteri muda urusan sosial dan lapangan kerja dianggap salah satu politisi Belanda terbaik. Dalam kontroversi ini dia menyatakan dengan sangat simpatik dan rendah hati; “Kalau orang Belanda non-Muslim takut kepada Islam pasti bukan tanpa alasan, (ini tentu) ada yang tidak beres, bukan saja pada orang Belanda, tapi dengan kita yang membiarkan agama kita menjadi hal yang menakutkan”.

Statemen Ahmad Abu Thalib ini tidak sekedar bernada respon terhadap persoalan ini, tapi ia lebih mengajak pada umat Islam untuk melakukan koreksi diri. Sebab atas sikap kita pulalah yang selama ini masih sering menggunakan cara kekerasan, Wilders akhirnya bisa mempunyai penilaian buruk dan menjadikan dia membenci Islam.

Dalam konteks ini, Goenawan Mohamad memberi penggambaran yang sama dengan mengatakan bahwa Wilders tidak hanya sesat soal tafsir, namun juga salah di tempat yang lebih dasar: ia berasumsi bahwa ayat-ayat itulah yang memproduksi benci, amarah, dan darah. Ia tak melihat kemungkinan bahwa Al-Qaidah yang ganas, Taliban yang geram, imam-imam dengan mulut yang penuh api—mereka itulah yang mengkonstruksikan Quran hingga jadi sehimpun kata yang berbisa. Ajaran tak selamanya membentuk perilaku; perilaku justru yang tak jarang membentuk ajaran.

Tapi dalam hal itu, lanjutnya, Wilders tak sendiri. Kaum ”Islamis” juga yakin, ajaranlah yang mampu membentuk manusia. Dan seperti Wilders, mereka juga memilih ayat-ayat yang cocok untuk agenda kebencian mereka. Dan seperti Wilders, mereka mengacuhkan konteks sejarah ketika sebuah ayat lahir.

Di Indonesia, contoh kasusnya sudah tak terhitung. Kasus Bom Bali (2002 dan 2005), Hotel Marriott (2003), dan Kuningan adalah contoh nyata. Belum lagi kekerasan terhadap agama yang belakangan ini kerap terjadi. Sekelompok massa yang mengatasnamakan agama tertentu menyerang kelompok/aliran/komunitas yang dianggap sesat dengan menggunakan teks suci al-Quran yang kutip begitu saja untuk membenarkan dan melegitimasi tindakan brutalnya.

Atas paradoksal-paradoksal, baik di level pemikiran maupun tindakan inilah, instropeksi dan evaluasi diri menjadi sangat penting. Melawan kebencian tidak harus dengan cara menggali lubang kebencian yang sama, tapi bagaimana memperlihatkan Islam sebagai agama yang mengajarkan kedamaian dan toleransi, tentu dengan perwujudan sikap kita.[]

BAGIKAN: