Mengangkat Kembali Wacana Komunalisme

Individualisme dan komunalisme hampir menjadi isu panjang yang tak pernah usai diperdebatkan. Tengoklah, misalnya, pendapat Emanuel Subangun dalam Majalah Tempo, 10 Mei 2004. Dalam catatannya, ia menggugat gaya Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang terlampau individualistis dalam mengemas jajak pendapat di negeri ini.
Masih menurut Subangun, polling demikian tentu mengandung beberapa kelemahan. Salah satu yang dipersoalkan adalah penarikan sample dari orang per orang pasti luput dalam membidik karakter masyarakat Indonesia yang berkarakteristik “komunal” (istilah “komunal” perlu saya beri tanda petik, setidaknya untuk menampik batasan yang terlampau strick!).
Bagi Subangun – dan saya rasa akan disetujui oleh beberapa pakar sosial – masyarakat Indonesia tidak benar-benar individualis seperti orang Amerika dalam menyumbangkan suaranya ke bilik kotak suara. Faktor keluarga, orang tua, atau tokoh panutan masih memegang peranan penting – setidaknya bila dibandingkan dengan Amerika – dalam memberikan saran dan pendapat bagi pilihan-pilihan individu dalam pemilu.
Saya tidak akan mengulas tanggapan Saiful Mujani dalam edisi Tempo seminggu kemudian17 yang mempersoalkan kritik Subangun ini. Yang perlu saya tekankan di sini adalah betapa memang wacanan individualisme vs komunalisme masih menjadi perdebatan yang masih menarik, dan tentu masih akan memerlukan energi panjang jika kita akan mengangkatnya kembali sebagai masalah filosofis.

Saya tertarik justru melihat isu komunalisme ini sebagai sebuah “discourse” (wacana). Sampai sekitar tahun 1970an (dan saya kira sampai sekarang), di Amerika dan Australia muncul sejumlah isu menarik terkait dengan wacana ini. Baik Amerika maupun Australia keduanya sama-sama memiliki pengalaman sebagai negeri kaum migran. Bukan saja Amerika adalah Amerika atau Austalia adalah Australia, namun dalam kenyataan empiris orang-orang Amerika dan Australia mengidap apa yang sering disebut sebagai romantisisme. Persisnya di Amerika muncul gerakan Afro-American, Asia-America, Chinese-American, dan seterusnya. Begitupun Austalia. Mereka membangun enclaves (daerah-daerah kantong), meneguhkan dirinya sebagai kesatuan bangsa (dengan ikatan etnis, agama, bahasa dan ras yang sama) yang hidup di tengah sistem kewarganegaraan Amerika.

Di Kanada gejala ini malah menjadi perdebatan serius yang melahirkan sebuah “negeri Quebec”, salah satu negara bagian yang memiliki otonomi sendiri untuk menentukan bahasa dan identitas nasional mereka sendiri yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Kanada. Pernah suatu kali terjadi percekcokan antara penduduk pendatang Quebec yang diperlakukan secara diskriminatif gara-gara dalam sehari-harinya ia tidak mempergunakan bahasa Prancis-Quebec. Kejadian ini sampai di bawah ke pengadilan. Tapi nasib baik ternyata belum berpihak kepada si pendatang, ia malah dinyatakan bersalah karena tidak memakai bahasa Prancis yang sudah dijamin oleh Undang-undang sebagai bahasa nasional Quebec.

Mungkin ini sebuah ironi. Suatu negeri yang begitu populer karena gagasan dan pratik individualisme-liberal-nya ternyata tidak setegas yang kita duga. Dalam situasi ini keteguhan Barat dengan sistem dan cara berpikir yang individualistik menjadi pertanyaan besar. Bisa jadi pilihan bebas individu seperti tercermin dalam gaya polling Amerika, seperti nampak dalam perhitungan jajak pendapat untuk berbagai persoalan publik, masih kentara. Tapi, apakah dalam kehidupan lain individualisme masih berdaya?

Quebec telah menjawab semua itu. Di Quebec kerinduan orang untuk mencari buhul, tali ikatan identitas sebagai common denominator (identitas bersama) begitu membara. Berpayung di bawah sistem nation state, Kanada ternyata belum mampu menjawab semua kerinduan-kerinduan itu. Pengalaman ini mengingatkan kita kepada sinyalemen Max Weber seratus tahun yang lalu, betapa rasionalitas dan liberalisme yang dikembangkan Barat saat ini telah menghilangkan satu dimensi kehidupan. “Disenchantment of the world”, hilangnya pesona dunia, yang salah satunya ditengarai oleh adanya hukum dan sistem di masyarakat yang hanya memberikan satu identitas individu yang seragam.

Tapi apakah pengalaman di Quebec juga menerpa kita? Belajar dari pengalaman orde baru agaknya justru berkebalikan. Di bawah orde negara integralistik kita justru dikenalkan dengan penerapan semangat kolektivisme yang salah kaprah. Di bawah kekuasaan Soeharto kita seperti mengarungi arus deras yang mengalir ke muara yang sama. Semua orang dari semua kelompok etnis dan bangsa dibawa ke dalam semangat persatuan NKRI yang berlebihan. Akibatnya justru menjadi brutal seperti yang kini tejadi di Aceh. Jika kolektivisme ujungnya seperti Orde Baru yang menepikan kebebasan individu memang kita layak membuangnya ke dalam sampah.

Namun demikian jika kita tengok pandangan Bikhu Parekh agaknya kita perlu merenungkan makna identitas kebangsaan itu. Ia berpendapat mengenai ketidakmungkinan individu hidup tanpa identitas kultural di mana ia mendapatkan makna akan hidupnya. Kata Parekh, individu-individu selalu tumbuh dan hidup di dalam dunia yang terstruktur secara budaya (culturally structured world). Lalu bersama identitas budayanya itu ia mengorganisasikan makna kehidupan dan relasi sosialnya.

Soalnya memang kapan kita perlu menempatkan makna identitas ini dalam wadah sebuah negara yang belum rampung menempatkan penghargaan individu sebaik di negara Barat? Bolehlah kita menghargai semangat budaya, etnisitas, ras dan agama sebagai idiom untuk menjalin kebersamaan, tapi jangan sampai harus menafikan penghargaan kita kepada individu-individu. Jika demikian, maka yang perlu kita ajukan adalah kolektivisme vs kolektivisme. Kolektivisme atas dasar semangat multikulturalisme melawan kolektivisme ala negara integralistik orde baru. Sebuah kolektivisme yang tidak perlu risau dengan penegakan HAM di Aceh, namun perlu risau dengan kolektivisme sebagai jargon NKRI yang menggusur semangat self-determination (penentuan diri) sebagaimana yang kini nampak di sebagian besar masyarakat Aceh saat ini.[] Desantara

BAGIKAN: