Menggagas Dialog, Menanam Keterbukaan, Menuai Kerukunan

“….dalam negara-negara yang terdapat minoritas etnik, agama dan bahasa, persoalan-persoalan yang menjadi bagian dari minoritas tersebut tidak seharusnya ditolak dalam mencapai haknya dalam sebuah komunitas bersama dengan anggota lain dari kelompok mereka untuk menikmati budaya mereka, untuk mengakui dan mempraktikkan agama mereka ataupun menggunakan bahasa mereka.” ( dikutip dari Kovenan Internasional untuk Hak Sipil, Budaya, Ekonomi artikel 27)

(Laporan Pertemuan Komunitas Adat dan Pesantren di Pesantren Cipasung Tasikmalaya)

DESANTARA dan Pakuan menyelenggarakan pertemuan komunitas Adat dan pesantren, ini dimaksudkan sebagai upaya membangun dialog yang komunikatif dan dinamis antara kelompok pesantren sebagai pemilik otoritas syari’at dan komunitas-komunitas adat pemilik dan pelaku kebudayaan yang plural, serta kelompok Jemaah Ahmadiyah yang selama ini terlibat ketegangan dengan mayoritas kalangan muslim dan pesantren. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai upaya sinkronisasi tetapi membangun kesadaran hidup bersama dengan semangat berbeda dan melahirkan sikap saling menghargai dan apresiasi terhadap masing-masing perbedaan itu. Hadir pada pertemuan tersebut perwakilan dari masyarakat adat Cisuru, Cigugur, Garut, Kampung Naga dan dari Bandung. Sedangkan dari kalangan pesantren hadir dari Pesantren Al-Wasilah Garut, Pesantren Cipasung, Pesantren Al-Masturiyah Sukabumi dan Pesantren As-salam Bandung. Pertemuan itu juga dihadiri Jemaah Ahmadiyah.

Ada pemaparan kasus-kasus diskriminasi, baik yang dialami komunitas adat dan kelompok Ahmadiyah, maupun tanggapan komunitas pesantren terhadap persoalan tersebut. Kasus-kasus yang menimpa masyarakat adat di Jawa Barat, seperti pembubaran suatu kelompok organisasi penghayat seperti di Subang, Sumedang dan Cianjur, Majalengka, dan daerah lainnya. Pembubaran ini terletak pada pendiskreditan suatu kelompok sebagai satu ajaran yang menyimpang, terlibat gerakan PKI sampai terjadi kekerasan pada suatu kelompok penghayat. Ada kasus di Cimulya Luragung Kuningan di mana kelompok masyarakat tertentu diwajibkan untuk memeluk agama Islam. Juga ada kasus pembunuhan yang terjadi pada tahun 50-an, pada masa pesatnya gerakan DI/TII atas nama purifikasi dan pemurnian ajaran Islam.

Karena tidak termasuk ke dalam 5 (lima) agama resmi yang ditentukan oleh pemerintah, komunitas penghayat juga mengalami kesulitan dalam pemenuhan hak-hak sipil, seperti: pencatatan pernikahan dan pencatatan akta kelahiran di Kantor Catatan Sipil. Demikian juga mereka mengalami kesulitan dalam pelaksanaan penguburan jenazah. Mereka juga sulit menjadi pegawai negeri atau menjadi anggota TNI/POLRI. Dampaknya, kini ada semacam perasaan frustrasi yang dialami penganut penghayat. Juga dalam bidang pendidikan, pada Undang-Undang Sisdiknas belum ada peluang untuk anak didik penghayat kepercayaan untuk menikmati pendidikan agama dan kepercayaan sesuai dengan yang dianutnya. Banyak dari mereka diharuskan mengikuti salah satu pelajaran agama resmi, dan bila tidak bersedia mereka harus menerima konsekuensi kehilangan satu nilai mata pelajaran. Sikap akomodatif dari pihak sekolah baru terlihat pada salah satu sekolah di Ciawi, Garut, yang membebaskan muridnya untuk menerima pelajaran agama berdasarkan keyakinan yang dianutnya.

Dalam kesempatan itu Jemaah Ahmadiyah juga memanfaatkan kesempatan itu untuk berdialog dan membuka diri terhadap masyarakat luas terutama terhadap komunitas Pesantren yang selama ini memandang negatif terhadap keberadaan dan aktivitas mereka. Dijelaskan bahwa Ahmadiyah sebagai organisasi Jemaah Ahmadiyah di Indonesia telah memiliki status hukum berdasarkan Keputusan Mentreri Kehakiman RI No.J.A.5/23/13. Namun sejak tahun 1980 ada fatwa MUI melarang aktivitas Ahmadiyah karena dianggap menyimpang dari garis Islam, mereka dianggap sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan. Semenjak itu banyak hujatan yang diterima Ahmadiyah, namun hal itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk mengembangkan dirinya dalam bidang dakwah, pendidikan dan penyantunan yatim-piatu serta kegiatan yang bersifat profit dalam bentuk koperasi kepemilikan saham dalam berbagai bidang usaha lainnya.

Regulasi dan kebijakan di atas akhirnya semakin meneguhkan prasangka dan stereotype yang berkembang pada masyarakat tentang Jemaah Ahmadiyah yang dianggap “berbeda” dan bahkan “sesat dan menyesatkan”. Bisa dipahami kemudian ketika persoalan yang sudah mengkristal tersebut memunculkan sikap antipati dan lebih jauh melibatkan tindakan kekerasan fisik. Pada tahun 1995 di Sukabumi masjid Ahmadiyah dirobohkan, yang konon dipicu oleh eksklusivitas dan perbedaan ajaran Ahmadiyah dari ajaran Islam yang umumnya dipahami masyarakat. Berturut-turut pada tahun 2002-2003 di dua daerah yang berbeda di Jawa Barat terjadi tindak kekerasan dan tindakan lain yang mengintimidasi kelompok Ahmadiyah. Di Manislor Kuningan, Oktober 2002, November 2002 dan Oktober 2003, terjadi perusakan tempat ibadah dan rumah tinggal Jemaat Ahmadiyah oleh ormas dan Pemda setempat. Di Tolenjeng Tasikmalaya, April 2003 lalu, terjadi perusakan masjid Al-Hidayah, dengan pembakaran lemari, buku, karpet dan mimbar yang ada di Masjid. Di kecamatan Kawalu Tasikmalaya, terjadi perusakan rumah tinggal dan panti Asuhan, apotik dan sejumlah toko yang disinyalir sebagai milik kalangan Ahmadiyah.

Dari pemaparan tersebut bisa dibaca bagaimana negara dan aparatnya begitu dominan mengontrol ajaran dan praktik-praktik keagamaan. Lebih parah lagi, upaya kontrol agama itu kemudian menjadi urusan kejaksaan dan kepolisian. Terlihat dari keberadaan lembaga Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang dibentuk mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat kejaksaan wilayah atau propinsi, karena didorong sebagian besar oleh kehendak untuk menjaga stabilitas. Indikasinya terlihat dari rencana negara menerbitkan RUU Kerukunan Umat Beragama, di mana seolah-olah semua konflik atau permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan beragama dibatasi oleh negara, baik hal-hal yg bersifat fisik maupun kepercayaan dan agama. Kelompok-kelompok yang dianggap berbeda atau bertentangan dengan kaidah-kaidah agama resmi dianggap kriminal. Banyak hal dari kebijakan negara yang hanya menguntungkan kelompok mayoritas saja, dan tidak menyentuh misalnya pada kepentingan kelompok penghayat kepercayaan, komunitas adat, kelangan Ahmadiyah dan lain-lainnya yang dianggap minoritas. Bahkan pada kenyataannya, segala kebijakan negara ini malahan menghancurkan komunitas mereka.

Menanggapi persoalan tersebut, masyarakat pesantren sebagai salah satu institusi keagamaan diharapkan bisa memberikan perimbangan: bagaimana membangun kesadaran pada lingkungan sekitarnya. Bila dulu salah satu fungsi pesantren adalah sebagai basis pertahanan dan perlawanan terhadap sesuatu yang dipandang dapat merusak tatanan masyarakat, hal itu diharapkan masih bisa diperankan dengan baik. Yakni, pesantren tidak lagi terjebak untuk mewartakan pesan “perang” terhadap sesuatu di luar Islam. Sebaliknya, kalangan pesantren ini diharapkan bisa membangun pemahaman bahwa Islam tidak pernah memaksakan kekuasaan atas orang lain atau merampas kemerdekaan, menganiaya dan menumpahkan darah orang lain. Islam tidak membenarkan sama sekali tindakan memaksa orang lain untuk memeluk suatu agama, juga tidak memaksa orang lain meninggalkan keyakinan yang telah dipeluknya. Perjuangan Islam ditujukan untuk mengakhiri penganiayaan dan untuk melindungi orang-orang lemah dari penindasan orang-orang kuat

Akhirnya dengan mengucap puji syukur, meski baru pertama kali diadakan, pertemuan tersebut bisa membuka sekat-sekat yang selama ini menjadi ganjalan dalam proses komunikasi di antara komunitas yang ada. Yakni, bagaimana membangun kebersamaan dalam perbedaan keyakinan sebagai sarana tukar informasi dan kontra narasi terhadap kecenderungan negara yang mengintervensi wilayah agama. Disepakati bahwa dialog ini tidak berhenti di forum ini saja, disamping ada keinginan untuk mengadakan pertemuan serupa secara berkala, juga terus mensosialisasikan hasil-hasilnya ke berbagai pihak terkait, seperti: tokoh-tokoh agama dan pesantren, pemda dan DPR. Sebagai bahan pertimbangan dalam memberlakukan suatu kebijakan yang menyangkut hak hidup masyarakat, khususnya dalam hal agama dan kepercayaan.Desantara

BAGIKAN: