Menyelamatkan Kebebasan Beragama Dari Pengaruh Mantra "Sesat"

“Aliran Sesat”. Demikian kalimat mantra yang gemar dirapalkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memerangi “kelompok sempalan” (baca: aliran) dalam Islam yang berbeda dengan kelompok mainstream. Siapapun, kelompok manapun, aliran apapun yang terkena mantra ini wajahnya akan segera menghitam penuh noda. Karenanya, ia harus dikucilkan, atau dienyahkan sekalian agar ‘virusnya’ tak menyebar.

Di level grassroot, mantra yang berwujud fatwa ini memiliki daya magis luar biasa. Muski posisi produk fatwa tidak mengikat –sama dengan hasil ijtihat individual–, namun ia mampu menyihir kesadaran masyarakat dan menggiringnya untuk meyakini satu kebenaran versi kelompok mainstream. Hampir setiap MUI memfatwakan sesat terhadap aliran tertentu, selalu diikuti gemuruh reaksi emosi yang berujung pada tindak kekerasan di masyarakat lapis bawah dengan atas nama kebenaran.
Contohnya sudah tak terhitung. Kasus yang paling anyar adalah fatwa sesat terhadap Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Salah satu indikasi kesesatan aliran ini antara lain, mengubah kredo persaksian (syahadatain), dan mengakui adanya Rasul setelah Rasulullah Muhammad. Kasus ini bukan yang pertama kali. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kelompok Ahmadiyah di berbagai tempat “dihakimi” massa akibat fatwa yang sewenang-wenang itu. Beberapa contoh lainnya adalah: Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidinnya Warsidi (Lampung), Syiah, Bahai, "Inkarus Sunnah", Darul Arqam (Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh).

Mantra “sesat” dari MUI itu ternyata tidak secara khusus hanya ditujukan pada aliran/“kelompok sempalan” di dalam Islam yang dianggap menyimpang. Namun secara serampangan, ia juga diarahkan kepada aliran kepercayaan, atau sebut saja agama lokal. Kasus Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Losarang adalah contohnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab. Indramayu menyatakan aliran tersebut bertentangan dengan akidah dan syariat Islam, sehingga perlu dihentikan eksistensinya.

Memang, dalam materi fatwa MUI, tidak ada klausul untuk menyerang dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok atau aliran yang dianggap "sesat" dan "diharamkan". Namun, sepanjang sejarah umat Islam, fatwa bermodel seperti itulah yang paling efektif menggerakkan nalar dan emosi manusia untuk melakukan tindakan kekerasan dan main hakim sendiri.

Sebagaimana yang dinyatakan Guntur Romli, dalam konteks umat Islam yang masih dibelenggu doktrin fikih klasik, kelompok atau individu yang sudah divonis "murtad", "kafir", atau "sesat" berarti telah dihalalkan untuk dibunuh. Secara sewenang-wenang, mereka menggunakan sebaris hadis, "man baddala dînahu faqtulûhu" ("barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia"). "Mengganti agama" dimaknai murtad, kafir, atau sesat. Fatwa tersebut seperti vonis dalam pengadilan in absentia, tanpa klarifikasi dan pembelaan, dengan dakwaan sepihak. Meskipun demikian, umat Islam yang awam tidak mau tahu dengan prosedur yang tidak sehat itu; yang ditangkap hanya ujungnya: orang ini murtad, kelompok itu sesat, maka dibunuh saja.

Menjernihkan Istilah “Aliran Sesat” di Medan Politik Wacana

Agar tidak simpang-siur, ada baiknya kita mengenali terlebih dahulu beberapa istilah, seperti: aliran, sekte, gerakan sempalan, dan mazhab. Istilah-istilah tersebut mempunyai kemiripan -atau bahkan kesamaan- arti. Seperti yang diketengahkan oleh Martin van Bruinessen ketika melakukan pelacakan geneologis istilah ‘gerakan sempalan’ (yang boleh dikata adalah nama lain dari istilah aliran) yang popular di Indonesia.

Menurutnya, istilah "gerakan sempalan" dalam konteks Indonesia adalah sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap "aneh", alias menyimpang dari akidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata "sekte" atau "sektarian".

Dengan begitu, untuk memudahkan pemahaman, aliran adalah kelompok atau gerakan yang sengaja memisahkan diri dari "mainstream" umat, mereka yang cenderung eksklusif dan seringkali kritis terhadap para ulama yang mapan.

Sementara itu makna kata ‘sesat’ sesungguhnya bisa dilihat dalam bahasa Arab yakni “dhalal”, yaitu setiap yang menyimpang dari jalan yang dituju (yang benar) dan setiap yang berjalan bukan pada jalan yang benar. Itulah kesesatan. Dalam al-Qur’an disebutkan, setiap yang di luar kebenaran itu adalah sesat (lihat QS Yunus: 32).

Jika dicermati secara adil, maka dua istilah ini antara ‘aliran’ dan ‘sesat’ sejatinya terpisah sama sekali, tak berhubungan. Kata ‘aliran’ bermakna sebagai representasi sebuah gerakan tertentu. Sementara kata ‘sesat’ membangun makna sesuatu yang menyimpang atau keluar dari kebenaran. Sayangnya, kita sudah terlanjur memahami dua kata itu sebagai sebuah talian-lekat yang seolah tidak terpisah. Karenanya, konotasi yang lahir selalu negatif. Untuk itu perlu amatan lebih kritis lagi yang mampu menunjukkan dan meletakkan kata ‘sesat’ sesungguhnya adalah atribut yang dilekatkan (ada yang melekatkan) pada kata ‘aliran’. Karena atribut, maka ia bisa dilepas dan ditanggalkan. Persis pada titik inilah, politik wacana tengah bermain.

Awalnya, “penyesatan” merupakan masalah teoritik yang berhubungan dengan domain teologi. Namun dalam perkembangannya, “penyesatan” justeru menjadi persoalan yang bersifat praktik, yaitu menjadi suatu alat praktik bagi kelompok-kelompok tertentu untuk memenangkan pertarungan kultural dan ideologi antara ‘otoritas resmi’ dengan ‘otoritas tandingan’ dalam memperebutkan posisi hegemonik. Senjata “penyesatan” ini dimainkan lewat pewacanaan.

Sebagai sebuah strategi, politik “penyesatan” ini kemudian bermain dengan pertama-tama membuat dua kutub yang saling bertentangan: antara yang tersesat dan yang berpetunjuk. Pembelahan secara dikotomis ini kemudian diikuti dengan proses labelisasi dan stigmatisasi yang akhirnya menurunkan peran yang berbeda. Karena tersesat, maka dia salah dan harus diperangi. Dan karena berpetunjuk, dia harus memberi proses pencerahan terhadap yang tersesat. Cara demikian pada intinya berkepentingan untuk memonopoli kebenaran. Ini segera menghantarkan kita pada pemahaman bahwa kebenaran bukanlah suatu barang jadi yang sudah tersedia, tapi kebenaran adalah hasil dari tarik-ulur kuasa pengetahuan. Karenanya, ia bisa diubah dan berubah.

Singkatnya, politik “penyesatan” di sini harus ditempatkan sebagai sebuah strategi dan taktik pewacanaan untuk memperebutkan kebenaran yang nantinya dijadikan sebagai penyokong kekuasaan kelompok dominan. Sebagai sebuah strategi, berarti ia bisa dimainkan oleh siapapun dan dikenakan pada siapapun. Jadi, mana yang sesat dan mana yang tidak, sesungguhnya sangat relatif, kepada siapa persoalan itu dikemukakan dan bagaimana situasinya. Akhirnya, pertanyaan tentang “aliran sesat” adalah, “aliran sesat” itu versi siapa?

Perlu bukti? Faham aqidah Asyari, yang saat ini dalam konteks Indonesia merupakan mainstream, pada masa Abbasiyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mutazili (yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan. Jadi, faham yang sekarang dipandang sebagai mainstream juga pernah merupakan sejenis "gerakan sempalan" yang merasakan perlakuan tidak adil. Kalau demikian, lalu yang benar itu yang mana? Jawabannya sama, bergantung kelompok/aliran mana yang paling dominan, maka dialah yang memonopoli kebenaran itu.

Menengok Sejarah Aliran Dalam Islam

Sejarah Islam adalah sejarah beragam aliran. Banyak literatur memperlihatkan bahwa sejarah peradaban Islam disusun dari berbagai aliran yang memiliki keberbedaan baik di level teologis maupun amalan. Jadi, fenomena munculnya beragam aliran dalam Islam sesungguhnya sesuatu yang lumrah sebagai bagian dari rangkaian proses kesejarahan Islam, bukan sesuatu yang baru sama sekali. Karenanya, tak ada yang perlu diherankan apalagi dikuatirkan.

Pada masa-masa awal sejarah Islam, sebagaimana yang dipaparkan Luthfi Assaukani, ada ratusan kelompok keagamaan yang biasa dikenal dengan sebutan "mazhab”. Dalam Islam ada dua jenis mazhab utama, yakni mazhab dalam teologi dan mazhab dalam fikih. Sebelum abad ke-10 M, kedua jenis mazhab ini tumbuh dengan subur, tanpa ada larangan dari lembaga atau otoritas agama.

Sejarah Islam mengenal banyak sekali mazhab teologi, seperti Khawarij, Murjiah, Syiah, Asyariyah, Mutazilah, dan Maturidiyah. Sebagian mazhab-mazhab ini memiliki banyak pengikut dan sebagian lain hanya sedikit. Sebelum mazhab Sunni mendominasi kehidupan kaum Muslim, semua mazhab itu bisa hidup, saling berinteraksi dan bertukar pandangan dalam perdebatan-perdebatan ilmiah. Namun setelah mazhab Sunni mendominasi sejak abad ke-10 itu, mazhab-mazhab teologi diperangi dengan cara memusuhi dan mengecamnya. Para ulama Sunni seperti al-Juwaini dan al-Ghazali menciptakan formula teologis yang intinya menganggap sesat (dhalal) mazhab-mazhab yang tidak sejalan dengan mazhab Sunni. Adapun mazhab-mazhab dalam fikih, khususnya yang mendukung teologi Sunni, dibiarkan berkembang pesat.

Sejak itu, mazhab-mazhab teologi lambat-laun mati. Hanya Syiah yang bisa bertahan sampai sekarang dan memiliki cukup banyak pengikut, khususnya di Iran. Mazhab Sunni yang menguasai sebagian besar wilayah Islam tidak pernah lagi mentolerir jika ada kelompok-kelompok keagamaan yang memiliki pandangan berbeda, khususnya dalam masalah-masalah teologis seperti ketuhanan, kenabian, dan kitab suci. Siapa saja yang berani memiliki pandangan berbeda akan langsung dicap sesat. Para ulama Sunni juga membuat aturan-aturan yang dapat memberikan sanksi berat terhadap pendiri mazhab baru. Jika kekeliruannya dianggap belum terlalu menyimpang, maka paling disuruh bertobat, tapi jika dianggap sudah sangat jauh, maka harus dipenjara dan kalau perlu dibunuh.

Istilah "aliran sesat" yang digunakan oleh MUI, merupakan warisan lama mazhab Sunni, ketika mereka berusaha membendung munculnya mazhab-mazhab baru. Siapa saja yang berusaha mendirikan kelompok dengan ajaran yang berbeda dari doktrin mainstream maka akan dianggap sesat dan keluar dari Islam.

Antara Tafsir Hukum dan Tafsir Teologis

Dalam konteks kasus fatwa “aliran sesat” ini, negara sebagai pemangku kewajiban untuk menjamin dan melindungi kebebasan berfikir, beragama, dan berkeyakinan justeru memperlihatkan sikap ambigu dan ketidakkonsistensiannya pada konstitusi. Hasilnya, masalah ini terus berlarut-larut dan semakin banyak korban yang lahir akibat fatwa yang sewenang-wenang itu.

Kenapa demikian? Ada dua hal penting yang saling kait-mengait. Pertama, lantai pijakan paradigma para penegak hukum dalam mendekati persoalan ini tidak berangkat dari alas hukum, namun justeru menggunakan tafsir teologis. Karena menggunakan tafsir teologis, maka proses penyelesaian masalah ini selalu merujuk pada paradigma dan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh MUI. Hal ini yang melatari kenapa aparat penegak hukum selalu meminta pertimbangan MUI dalam konteks kasus ini. Dan hasilnya bisa dilihat, keputusan hukum yang dibuat akhirnya sama persis dengan fatwa MUI, bahwa Al-Qiyadah dan yang lainnya ditetapkan sebagai “aliran sesat”.

Ini adalah sebuah keterkiliran paradigma yang susah dipercayai. Bagaimana mungkin sebuah negara membuat keputusan hukum berdasarkan tafsir teologis kelompok tertentu yang nyata-nyata bertentangan dengan spirit kebebasan beragama dan berkeyakinan. Padahal sudah jelas, negara ini bukan negara Islam tapi negara nasional. Harusnya, yang berlaku adalah ukuran-ukuran nasional, bukan ukuran-ukuran Islam.

Kedua, negara tidak konsisten pada konstitusi yang ada. Andai negara taat dan konsisten pada konstitusi nasional dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasinya, maka kasus-kasus kekerasan seperti yang terjadi pada jemaat Ahmadiyah, Al-Qiyadah, dan yang lainnya tentu akan bisa ditunjuk sebagai sebuah pelanggaran yang melawan hukum dan bertentangan dengan HAM.

Di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, tepatnya pasal 18 ayat satu dan dua, telah memberikan jaminan terhadap kebebasan setiap manusia untuk berfikir dan berkeyakinan, yang berbunyi: Pertama, “Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini meliputi kebebasan untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri dan kebebasan untuk secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain secara terbuka atau pribadi menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran”. Kedua, “Tidak dapat seorang pun dapat dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri”. Lebih gamblangnya, tafsiran terhadap dua ayat di atas tertuang dalam General Comment no.22 tahun 1993.

Jika negara bisa bersikap tegas dan netral, maka pasal tersebut sudah cukup kiranya untuk dijadikan pijakan. Tak usah sibuk dan bermain-main dengan tafsir teologis sepihak yang sarat kepentingan karena hanya merepresentasi kelompok dominan.

Bahkan, Kovenan ini juga bisa menjadi optik yang lebih jernih untuk memandang silang-sengkarutnya persoalan tersebut. Selama ini, kelompok-kelompok agama yang di kenai fatwa “sesat” MUI, selain harus menanggung stigma negatif, dia juga dipersalahkan dengan tuduhan meresahkan masyarakat. Atas dalih itu, mereka kemudian disebut sebagai kelompok/aliran pengganggu kebebasan beragama, karenanya harus dikenai sanksi hukum sebagai konsukuensi dari pihak yang bersalah. Kesalahan yang ada pada konteks ini tidak lagi terjadi pada level diskursif, namun sudah beranjak ke level hukum positif.

Persoalannya bertambah kian runyam dan menjadi serba buram. Bagaimana mungkin kelompok yang kebebasannya sudah nyata-nyata dijamin oleh hukum bisa diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Sementara yang menggerus kebebasan kelompok tersebut diposisikan sebagai pihak yang benar.

Benarkah mereka yang difatwa “sesat” oleh MUI itu tepat ditunjuk sebagai pihak yang bersalah? Tunggu dulu. Bukankah Kovenan dan hukum nasional kita sudah mewasiatkan bahwa kebebasan berfikir, beragama dan berkeyakinan adalah milik siapapun dan tidak boleh dikurangi apalagi dibatasi. Jadi? Sang pemfatwalah yang layak dipersalahkan, sebab berusaha membatasi kebebasan mereka. Ini sekaligus menjungkirbalikkan opini yang sudah terlanjur kukuh di masyarakat, yang selalu menuding aliran-aliran tersebut sebagai pengganggu kebebasan beragama. Alhasil, tidak benar jika aliran-aliran yang dicap “sesat” selalu dihubung-hubungkan dengan kemacetaan lalu lintas kebebasan beragama, justeru arogansi tapal batas “fatwa” itulah yang patut dipersoalkan.

***

Pada titik inilah, toleransi menjadi amat penting demi membangun kehidupan beragama yang dinamis sesuai laju zaman serta untuk membangun sikap keberagamaan yang arif dalam menyikapi setiap perbedaan yang tak mungkin bisa dihindari. Prinsip kebebasan beragama sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi harus dihormati dalam dua level sekaligus: pertama, level antar-agama, di mana seseorang tidak bisa dipaksa untuk memeluk agama tertentu; kedua, level intra-agama, di mana seseorang, setelah memeluk agama tertentu, tidak bisa dipaksa untuk mengikuti tafsir, mazhab atau sekte tertentu dalam agama tersebut.

Selama kalangan mainstream masih gemar memakai doktrin "penyesatan" untuk menyingkirkan lawan-lawan doktrinal mereka, maka toleransi yang "genuine" tidak akan pernah terselenggara dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dan, kebebasan beragama serta berkeyakinan hanya akan jadi slogan yang kosong makna. Desantara / M. Kodim

BAGIKAN: