Saya tidak tahu, apakah kekhawatiran tentang isu Perda Kerukunan Umat Beagama di daerah-daerah terlalu dibesar-besarkan, ataukah ini karena pengaruh media belaka?
Awal November lalu, saya ke Padang menghadiri forum umat beragama yang diselenggarakan Pusaka Padang. Hadir sejumlah perwakilan dari berbagai umat agama. Kebanyakan peserta anak muda, yang didominasi oleh aktifis Gerakan Masyarakat Minang (GMM) yang belakangan ini sedang gencar mengkampanyekan “bahaya Kristenisasi di Tanah Minang”. Dan memang mereka menguasai forum diskusi itu.
Pembicaranya adalah Ismail seorang pejabat Departemen Agama Sumbar kantor Bidang Masalah Kerukunan Umat Beragama, Sanihu Munir dari GMM (pernah berdebat dengan Martin Sinaga tentang “Islam Meluruskan Kristen” Agustus lalu di Jakarta, dan vcd-nya sempat disebar di forum diskusi), wakil dari PGI (B. Ginting) dan dari Katolik (I. Koba). Moderatornya adalah seorang budayawan Minang (lupa namanya). Tampak bahwa moderator lebih menonjol sebagai pembicara dari pada sebagai pengatur jalannya diskusi itu sendiri.
Kita memaklumi forum ini digelar di tengah-tengah isu Kristenisasi di Payakumbuh, sekitar 130 Km dari kota Padang. Korban yang terungkap di media massa adalah perempuan. Maka, jumlah peserta pun membludak, dari perkiraan semula 70-an orang, menjadi 200-an orang. Dalam situasi seperti ini, pejabat Depag ingin menunjukkan diri sebagai berada di atas semua golongan. Meski tanpa disinggung tentang kasus Payakumbuh, Depag hanya mengingatkan upayanya mengakomodasi kepentingan semua kelompok agama, termasuk mengajak dialog mengatasi masalah yang ada. “Kalau Depag tidak diikutkan, nanti mengundang masalah”, kata Ismail. Menurutnya, Minangkabau harus dibedakan dengan Sumatera Barat. Minangkabau itu mayoritas Islam, sementara Sumbar adalah plural. Dan yang plural ini diminta untuk “menjaga simpul-simpul persatuan”.
Sikap pejabat Depag ini patut diberi catatan. Ia ingin memindahkan persoalan vertikal (hubungan warga dengan negara) bahwa bukan mereka-lah yang bermasalah. Tapi masalahnya adalah horisontal, yakni orang-orang beragama yang kini bertikai, misalnya dalam kasus Payakumbuh. Dari sini lalu ditarik lebih jauh bahwa RUU KUB memang diperlukan, dan Depag hadir sebagai penengah dalam mengatasi kasus-kasus yang terjadi di antara umat beragama. Maka, pelajaran berikutnya, problem horisontal akan dijadikan pembenaran intervensi negara dalam urusan kaum agamawan.
Sikap ini ditunjukkan Ismail, menjelang akhir diskusi. Saat itu forum tambah panas. Pasalnya, omongan Sanihu Munir sudah melampaui batas (menyinggung hadirin yang beragama Kristen, ketika menyebut “mengimani tikus lebih besar dari gajah”, dan mengajak berdebat mana yang lebih benar soal “status” Yesus, apakah yang diimani orang Islam atau yang diimani orang-orang Kristen). Seorang peserta perempuan dari Protestan interupsi, memotong omongan Sanihu, dan mengatakan “omongannya sudah melecehkan keimanan kaum Kristiani”. Di antara peserta ada yang menggerutu, mengumpat dan ada pula yang tertawa sinis. Moderator tidak bisa berbuat banyak mengatasi kekisruhan. Akhirnya, orang Depag turun tangan menyampaikan “sabda-sabda”-nya tentang perlunya – dalam bahasanya dia – “konsensus umat beragama”. Juga menekankan pentingnya program “kembali ke surau” (pasangan dari slogan “kembali ke nagari”). Di antara isinya, adalah supaya orang Minang pandai baca Al-Qur’an. “Supaya tidak mudah pindah agama”, lanjutnya. Dan Depag akan terus mengupayakan langkah-langkah terwujudnya kerukunan umat beragama, termasuk dialog antara agama, dengan mengakomodasi dan melibatkan semua pihak. Diskusi pun berakhir, mungkin melegakan para hadirin, dan lalu ditutup dengan buka puasa bersama.
Setelah pejabat Depag ini, lalu tampil Dr H Sanihu Munir SKM, MPH. Dia sebetulnya bukan orang Minang, tapi dari Sulawesi Tenggara. Dia, kata orang di sana, “sumando”, separo Minang, yakni orang yang menikah dengan orang Minang. Dia punya lembaga di Kendari, Sultra, namanya Yayasan Mitra Centre. Di antara kegiatannya, pelayanan informasi Islam dan perbandingan Agama, penerbitan buku, seminar, ceramah, pendidikan dan pelatihan di daerah-daerah, dan juga konsultasi Islam-Kristen. Di antara tulisan tulisan Sanihu, Menyelamatkan Juruselamat, Yesus Berdosa, dan Yesus bukan Tuhan. Mungkin setelah kepindahannya ke Sumbar, Sanihu membuka cabang lembaganya di Padang, bergabung dan berkoalisi dengan sejumlah lembaga Islam di sana, termasuk cabang DDII, yang kemudian bersama-sama bergerak dalam Gerakan Masyarakat Minang (GMM).
Sanihu tampil di forum menggantikan Irfianda Abidin, yang mengkoordinir GMM. Sanihu datang dengan membawa “syarat” ke panitia, membawa 20-an orang pasukan. Saya tahu, pasukan yang dimaksud sudah lengkap dengan berbagai “senjata demo”-nya: kamera handy, tape recorder, buku-buku dan vcd untuk dijual, satu bundel kliping koran, dan sekian “pertanyaan”, yang semuanya akan “diefektifkan” (dipropagandakan) dalam forum.
Provo-aksi dan provokasi pun dimulai: “kerukunan umat beragama terancam”, “Adat basandi sara’ terancam”. “Ada 90 persen Islam di sini, tapi hanya menyenangkan segelintir orang”, “Kristen asalnya dari mana? Mari bersama menguji, jangan sampai ada daki dan kotoran”, “Kristenisasi jalan terus, jangan ada dusta di antara kita”, “kerjasama antara orang yang mengkristenkan dan orang-orang yang dikristenisasi sama saja dengan Kristenisasi”, dan sekian provokasi dan provo-aksi lainnya. Dan tepuk tangan langsung bergemuruh di ruang pertemuan Hotel Pangeran City Padang.
Pihak panitia penyelenggara acara pun tidak luput dari serangan: mereka dianggap antek-antek “freemasonry”, antek Yahudi yang berkepentingan mempertemukan tokoh-tokoh agama untuk berdialog. “Dengan dialog tokoh-tokoh agama, mereka ingin mematikan api jihad dalam kesadaran umat Islam”, tandas Sanihu yang pernah tinggal di Filipina lebih dari sepuluh tahun. Untuk mengukuhkan argumen-argumennya, Sanihu juga mengutip laporan Gatra yang waktu itu dalam laporan utamanya mengangkat kasus Payakumbuh.
Yang terakhir ini sempat ditanggapi oleh sang moderator: apa yang dilaporkan dan dimuat oleh Gatra tentang kasus itu perlu didiskusikan dulu, dan jangan dijadikan bahan ceramah agama atau khutbah-khutbah di masjid karena akan memancing emosi masyarakat.
Tapi, catatan moderator ini pun langsung diinterupsi oleh seorang peserta (yang tampaknya dari rombongan Sanihu) yang mengingatkan moderator jangan terlalu lama bicara dan jangan sampai menjadi pembicara.
Selanjutnya yang menjadi pusat perhatian peserta adalah tantangan Sanihu yang ingin mengajak panelis dari PGI dan Katolik untuk berpolemik tentang siapa yang “benar”, agar katanya “tidak ada dusta di antara kita”, supaya “tidak ada daki dan kotoran di Tanah Minang ini yang bersendikan syara dan kitabullah”. Tantangan itu, dan biasa dikemukakan dalam sekian polemiknya dengan kalangan Kristen, ialah mana yang benar apakah Yesus yang dipercayai umat Islam sebagai Nabi ataukah Yesus sebagai Tuhan yang dipercayai kalangan Kristen?
Kedua panelis tidak menanggapinya. Tapi para peserta yang diberi kesempatan menanggapi menggarisbawahi sebutan “dusta, daki dan kotoran”, termasuk freemasonry itu. Raja Mangkuto, Ketua Umum Paga Nagari Jakarta, penanggap pertama, minta penegasan tentang “apa yang dimaksud dengan dusta di antara kita”, sambil menambahkan, “yang memulai (dusta?) itu adalah umat Kristen, bukan umat Islam”. Penanggap lain mengaku dari kalangan ninik mamak. Dengan mengutip satu petuah adat bahwa tanah Minang ini, mulai air, gunung, tanah dan dsb, sudah merupakan hak sepenuhnya orang-orang Minang. Sementara yang bukan Minang adalah tamu, “Manfaatkanlah tanah, air dan lainnya, tapi jangan sampai memiliki, dan tamu-tamu ini menjadi tamu yang baik, jangan macam-macam”. Sebutan tamu tentu sudah bisa diterka. Telunjuk ninik mamak ini mengarah ke dua panelis terakhir. Cuma saya nggak tahu, mengapa kalangan ninik mamak ini ikut juga terlibat dalam discourse tentang puritanisme agama ini, ketika “tamu” itu ditujukan kepada kalangan Kristiani, bukan kepada kalangan Islamis? Padahal kita kenal dulu pertarungan antara kaum tua dan kaum muda dalam sejarah Islamisasi di Minangkabau. Hal serupa bisa kita katakan tentang wacana “kembali ke surau&r
dquo; yang diimbangi dengan wacana “kembali ke nagari”.
Para penanggap berikutnya makin memperpanas suasana yang memang sudah panas dan bakal siap meledak. Untung nggak ada kontak fisik atau bom yang meledak.
Ada yang minta kejelasan siapa yang dimaksud “Kristen fundamentalis” yang disinggung oleh Sanihu, dan siapa itu orang-orang yang menjadi antek-antek freemasonry. Juga ditanya soal “jin Kristen” yang katanya mengganggu para perempuan muslimah di Payakumbuh dan membuat mereka kesurupan. Sempat, seorang penanya memperdengarkan dari tape rekaman (ada sekitar satu menit) suara perempuan yang meraung-raung yang katanya kesurupan jin Kristen. Waaaah, ini mah namanya permainan psikologis yang memancing emosi hadirin, yang bisa digiring untuk percaya bahwa kasus Payakumbuh ada, benar, dan menjadi bagian dari persoalan kita karena saking dekatnya dengan ruang batin kita, yang begitu menyentak dan sekaligus memilukan. Perhatikan “politik emosi” berikut: suara perempuan, yang beragama Islam, yang meraung-raung dan impresinya adalah “kesakitan” (sempat dikatakan bahwa perempuan itu sampai kemasukan 10 lebih jin Kristen, dan butuh dua jam untuk mengeluarkan satu jin saja!
Jadi, saya mau mengoreksi pandangan sebagian kawan bahwa menjadi Minang ya begitulah, susah, pasti menjadi puritan, pasti diidentikkan dengan adat basandi sara. ..dst.
Menjadi Minang, bagi saya, seperti halnya menjadi Bugis, Makasar, dst, adalah persoalan “political crafting” (kata ahli politik), persoalan signifying, pemaknaan (kata penulis semiotika), persoalan konstruksi budaya atau invensi (kata pakar cultural studies), atau persoalan desiring (kata pengagum Lacan dan Zizek). Ia menjadi puritan, karena itu tadi, ada politik emosi yang dimainkan orang-orang tertentu, apalagi kalau yang terakhir ini berasal dari Jawa atau dari Kendari. Menjadi Minang adalah sebuah proses yang dibuat, dibentuk, tergantung kondisi apa yang membuatnya puritan atau tidak. Seorang ninik mamak saja bisa menjadi puritan dan ego keislamannya bangkit, kalau mendengar symbolic order berikut: “ada anak gadis Minang berjilbab meraung-raung disusupi 11 jin Kristen”.
Jadi tergantung bagaimana pendekatannya. Cuma karena sekarang ini yang bermain dominan adalah aliansi GMM, maka ke-Minang-an memperoleh “rute baru”-nya (route), bukan akar-nya (root), yakni ke arah puritanisme adat basandi sara. Jadi, keminangan adalah perjalanan, bukan akar. Edy Utama, salah seorang Minang yang mengetuai Dewan Kesenian Sumatera Barat, pernah menulis tentang konstruksi adat basandi sara ini yang katanya baru muncul di masa kolonial. (Lihat apendiks buku saya Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam). Dan banyak orang seperti Edy Utama ini, ada Taufik Abdullah, dst.
Menjadi Minang adalah sebuah pertaruhan. Yakni menjadi bagian dari bangsa ini yang jamak-budaya (multikultural), bukan menjadi bagian dari Arabisasi dan sebagainya. (Laporan dari Dialog Antar Umat Agama di Padang). Desantara/Ahmad Baso