Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping telah melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra-abad Pertengahan), ketika negara di bawah agama (abad Pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad Pertengahan atau abad modern sekarang).
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa masa lalu dalam urusan apapun termasuk hubungan agama-negara, bisa terjadi. Tapi, sekurang-kurangnya secara teori, kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing-masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik.
Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama-agama merupakan opsi terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kezaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa. Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya adalah “wisdom” masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sendiri sesungguhnya bukan merupakan kategori benar-salah atau baik-buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi bisa juga sebaliknya. “Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan” (Q Al Baqarah/176).
Tapi memang, sejak gagasan sekularisme didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarginalkan Islam dari kehidupan nyata.
Sementara mereka yang menerima berargumen bahwa seperti halnya agama, Islam pun terbatas jangkauannya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik.
Mencoba memahami konteks sekularisme di Barat dan konteks Islam di Timur mungkin dapat membantu kita keluar dari cara berpikir dikotomis yang naif. Pertama, dalam konteks Barat sekularisme adalah modus penyelesaian konflik antara otoritas lembaga negara versus otoritas lembaga agama dalam tubuh gereja. Dalam Islam, otoritas keagamaan seperti gereja, lebih-lebih gereja abad pertengahan yang monolitik dan sentralistik, tidak ditemukan. Bukan tidak ada otoritas sama sekali, akan tetapi dalam mainstream Islam otoritas itu terdesentralisasi sedemikian rupa pada pribadi tokoh-tokoh (ulama) atau organisasi-organisasi keagamaan yang satu sama lain bisa berbeda fatwanya atau bahkan saling menolak. Karenanya tidak bisa dikatakan ada satu masa dalam sejarah Islam di mana negara sepenuhnya berhadapan dengan agama, juga tidak pernah sebaliknya otoritas agama ditaklukkan oleh otoritas negara.
Kedua, dalam konteks Barat abad pertengahan, sekularisme yang berkonotasi menghukum otoritas agama dan mengurungnya di ruang privat, memang beralasan. Pada waktu itu, agama (gereja) telah menjadi isntrumen dominatif bagi elit politik maupun ekonomi untuk mempertahankan priveleginya. Pada saat yang sama, agama telah kehilangan watak profetiknya sebaagi pembela masyarakat, khususnya petani dan buruh yang tertindas.
Jujur saja, dosa-dosa agama (baca: gereja) yang terjadi di Barat tersebut juga terdapat dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal penting yang membedakan. Dalam Islam, seperti dikatakan di atas tidak ada otoritas tunggal yang telah memainkan dosa-dosa itu secara utuh dan terpusat. Pada saat sebagian ulama Islam berkolusi dengan penguasa, mayoritas ulama tetap setia hidup di tengah-tengah dan bersama rakyat. Di antara mereka ada yang sekadar apatis (uzlah) dari politik kekuasaan, sebagian terus melancarkan kritik, bahkan beberapa dengan tindakan dan gerakan.
Ketiga, dalam konteks kelahiran negara modern, ada juga fakta yang tidak boleh dilupakan. Di Barat negara modern lahir dari atau berbarengan dengan gerakan pemakzulan terhadap otoritas agama (gereja). Di Timur di dunia Islam termasuk Indonesia, negara modern lahir justeru dari semangat heroisme keagamaan (kesyahidan) untuk memerdekakan bangsanya dari tirani penjajahan yang nota bene adalah barat. Itulah sebabnya hubungan agama-negara dalam abad modern di Timur umumnya di dunia Islam khususnya, tidak bisa begitu saja diacukan kepada pengalaman Barat dan dipecahkan dengan resep Barat, sekularisme. Tapi jangan salah. Dengan mengatakan begitu bukan berrti sekularisme musti kita tolak mentah-mentah dan kita kembali ke teokratisme, seperti usul kaum revivalis-fundamentalisme. Kita tahu bahwa dalam teokratisme, secara formal negara ditaklukkan pada kepentingan agama, padahala kenyataannya ia ditaklukkan pada kepentingan elitnya belaka.
Dengan demikian, mematrik negara hanya dalam kolom sekularisme atau teokratis, kiranya terlalu menyederhanakan masalah. Lebih-lebih dalam konteks Islam, hubungan agama-negara terlalu kompleks untuk dilihat secara hitam-putih. Di samping karena faktor kesejarahan yang berbeda dengan Barat, dalam konteks ajaran (normatif) mengkotakkan agama hanya pada ruang privat dan negara pada urusan publik juga mengandung mafsadah tersendiri.
Bahkan di Barat pun sekularisme yang secara ketat memenjarakan agama di ruang privat sudah dikritik. Sikap cuci tangan agama terhadap derita kemanusiaan yang terjadi di ruang pulik akibat kesewenangan negara secara moral jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Telah muncul opsi baru yang oleh Jose Casanova disebut deprivatisasi agama. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin dan Political Theology di Eropa bagaimanapun merupakan refleksi dari kritik tersebut.
Jika di Barat sendiri sekularisme mulai dipersoalkan, maka bagaimana dalam Islam. Dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan beberapa tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agama-negara yang berbeda.
Pertama, ajaran yang bersifat privat, semisal keyakinan pada Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Keyakinan-keyakinan seperti ini adalah perkara yang benar-benar pribadi. Dalam hal ini negara bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak punya kemampuan apapun untuk menjangkaunya.
Kedua, ajaran agama yang bersifat komunal-keumatan seperti peribadatan (doa, shalat, puasa, haji dan lainnya). Masuk dalam kategori ini hukum agama tentang keluarga. Dengan dalih apapun negara tidak boleh mengerahkan polisi untuk, misalnya, memaksa seseorang menjalankan shalat atau puasa. Bahkan intervensi negara atau pemerintah yang selama ini terjadi daam urusan penyeragaman hari raya atau soal keabsahan suatu pernikahan adalah salah kaprah yang perlu segera diakhiri.
Ketiga, ajaran keagamaan yang bersifat publik, misalnya ajaran Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan siyasah (etika mengelola kekayaan dan kekuasaan negara). Pada tingkatan ajaran kategori ini terbuka proses pengkayaan (enrichment) dari substansi hukum agama terhadap hukum negara.
Tidak bisa dikatakan bahwa dalam hukum negara kebangsaan hukum agama haram ikut memperkaya bangunan hukum publik dari negara yang bersangkutan. Jangankan hukum agama yang dianut oleh masyarakat di negeri ini, hukum warisan penjajah yang telah memeras kita ratusan tahun dan kita usir dengan darah para syuhada pun bisa diusung menjadi hukum di negeri kita.
Akan tetapi, kita semua menyadari bahwa sesuci dan sekuat apapun tawaran-tawaran hukum (syariat) keagamaan tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai hukum positif. Dalm konteks negara kebangsaan hukum agama termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun, baru merupakan bahan mentah (row material) seperti halnya hukum adat atau hukum-hukum yang dicomot dari bangsa lain.
Untuk bisa menjadi bagian dari hukum publik, maka hukum-hukum tersebut harus memenuhi dua syarat. Pertama, syarat substansial menyangkut opsi hukum yang harus berorientasi pada kepentingan publik, bukan hanya kepertingan kelompok tertentu. Kedua, syarat prosedural artinya hukum itu dapat meyakinkan nalar publik untuk diterima melalui prosedur penetapan hukum secara demokratis yang juga disepakati publik. Hukum apapun yang memenuhi syarat itu berhak mengisi bangunan hukum positif dan perundang-undangan suatu negara. Tidak terkecuali hukum yang berbasis agama.
Bahkan untuk negara modern yang kini telah menjadi semakin represif, koruptif, eksploitatif, dan tidak perduli pada nasib masyarakat lemah, maka kontribusi agama-agama dengan kekayaan nilai-nilai etik dan moralnya sangat diperlukan. Kita butuh sekali kontribusi etika sosial Kristiani dengan basis Kasih-nya terutama bagi mereka yang terpinggirkan. Kita butuh sentuhan etika Hinduisme dengan semangat ahimsa (non-violence)-nya; etika Budhis dengan etos kesederhanaannya; dan etika Islam dengan spirit keadilan-nya. Juga dari agama-agama lain.
Oleh sebab itu, tidak ada manfaat apapun bagi umat Islam untuk meributkan nasib 7 kata yang terbuang kecuali sekedar trik-trik politik belaka. Jika memang sungguh-sungguh ingin memberikan kontribusi kepada negara, yakinkanlah nalar publik bangsa ini bahwa syariat agama yang mereka yakini dapat lebih menjamin pemenuhan hak dan kemaslahatan rakyat banyak, apapun agama, suku, dan etniknya; bukan hanya untuk kepentingan kelompoknya sendiri semata. Desantara-Masdar F. Mas’udi (Katib Syuriah PBNU)