Menjelang perayaan hari kemerdekaan Indonesia, Agustus 2008, Banyuwangi, wilayah di ujung timur pulau Jawa, kembali dihangatkan oleh dikursus pahlawan nasional asal Banyuwangi, Wong Agung Wilis, Rempeg Jagapati dan Mas Ayu Wiwit. Ketiga tokoh lokal yang dianggap berjasa melawan kolonial semasa kerajaan Blambangan ini telah diajukan ke pemerintah menjadi pahlawan nasional selama tiga tahun. Namun kabar baik belum nampak muncul, setidaknya pemerintah mensyaratkan penerbitan buku biografi masing-masing tokoh tersebut direkomendasikan oleh Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI).
Nah, wacana pahlawan nasional di Banyuwangi yang kembali menghangat ini salah satunya dipicu oleh disertasi Sri Margana, Sri Margana, sejarahwan muda Universitas Gadjah Mada, yang berhasil dipertahankan Desember 2007 di Universitas Leiden berjudul “Java's Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c 1763 – 1813.” Hasan Basri, salah satu budayawan lokal, mengatakan pengajuan pahlawan ini sangat penting untuk kebanggaan daerah, dan terbukti pada peringatan kemerdekaan RI sekarang ini banyak anak sekolah yang memerankan tokoh-tokoh tersebut. Dan beberapa pendapat kontra wacana ini pun juga muncul.
“Kebanggan daerah dan pro kontra” nampaknya bukanlah hal baru dalam diskursus elit budaya dan politik di Banyuwangi. Berbagai perdebatan dan pergulatan wacana tentang Banyuwangi dari sejarah, etnisitas, hari jadi, budaya adalah hal lama dan selalu baru dari waktu ke waktu. Persis seperti debat historiografi di kancah nasional, para elit budaya dan elit politik Banyuwangi nampaknya begitu dinamis melakukan intepretasi dan merepresentasikan sejarah masa lalu Banyuwangi. Tak ayal berbagai berbagai debat dan polemik bergulir dikalangan mereka yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan, Dewan Kesenian Blambangan Reformasi, Yayasan Kebudayaan Banyuwangi, Forum Komunikasi Seni dan Budaya Banyuwangi, Pusat Studi Budaya Banyuwangi, Himpunan Budayawan Banyuwangi dan sebagainya. Satu kelompok dengan kelompok lain, melontarkan wacana dalam diskusi radio, koran, seminar, buku, buletin dan majalah. Identitas dan ‘nasionalisme’ masyarakat Banyuwangi yang kembali dibayangkan dan dipertarungkan oleh sekelompok elit dengan kategori-kategori dan batas-batas wilayah, ras, bahasa, budaya dan warisan tradisi tententu.
Tercatat , tahun 2002, Bupati Banyuwangi, kala itu, Samsul Hadi dengan semangat berkobar mendeklarasikan gerakan budaya Jenggirat Tangi: sebuah gerakan peneguhan identitas Using yang diyakini sebagai wajah asli masyarakat lokal dengan segala budaya, bahasa, dan kekayaan tradisinya. Menurut Samsul masyarakat Banyuwangi adalah sisa-sisa kerajaan Blambangan yang terdesak oleh Mataram Islam juga Kolonial Belanda dan suku serta bahasa mereka adalah Using. Dari gerakan politik budaya ‘Jenggirat Tangi’ ini lahir proyek budaya dan indentitas, yang terlacak, misalnya, dengan terbitnya beberapa Surat Keputusan (SK) Bupati bernomor 173 tertanggal 31 Desember 2002 dan SK bupati nomor 147 tahun 2007 tentang gandrung (tari berpasangan) sebagai maskot wisata dan tari resmi penyambutan tamu (Jejer Gandrung). Ditambah dengan penerbitan kamus Bahasa Using, muatan lokal Bahasa Using, penetapan hari jadi Banyuwangi, busana adat, buku resmi seni tradisi dan ritual (Seblang dan Gandrung) dan berbagai macam buku referensi yang mengarah pada pembakuan dan peneguhan identitas dan budaya tertentu. Maka semakin teguh dan nyaringlah identitas Using dengan segala perdebatan pro kontra kelompok masyarakat yang hidup di Banyuwangi. Tuduhan Usingisasi pun merebak dikala pemerintahan Bupati Samsul Hadi.
Dalam salah satu kesempatan, Hasnan Singodimayan, salah satu budayawan Using lulusan ponpes Gontor, mengatakan kenaikan Samsul Hadi, yang notabene asli Using, adalah kesempatan besar bagi orang Banyuwangi untuk meningkatkan kebanggan mereka sebagai Using. “Kesadaran sejarah atau barangkali lebih tepatnya romantisme historis ini berkembang pada awal tahun 70-an setelah beberapa budayawan mencoba memberikan tafsiran makna dari sejarah lisan yang berkembang di Banyuwangi (gending-gending Seblang dan Gandrung, red),” ungkap Hasan Basri. Seorang informan mengatakan bahwa kehendak atas identitas dan sejarah masa lalu ini nampaknya bermula dari kuatnya stigma negatif masyarakat diluar Using.
Hal senada diungkap Fatrah Abal, budayawan sepuh Banyuwangi, “kami (baca generasi Fatrah Abal seperti Hasan Ali, Hasnan Singodimayan, Mas Supranoto dsb) merasakan betapa pahitnya menjadi pelajar atau pekerja yang sekolah atau bekerja di luar Banyuwangi. Banyuwangi selalu dicap buruk.” Anggapan negatif yang memojokan ini nampaknya selalu berkembang dan melekat dari waktu ke waktu kepada daerah di ujung timur pulau Jawa ini. Mulai dari “Santet, Ilmu Hitam, Kawin Cerai, Selingkuh, Malas atau hingga cap Komunis. Tak heran cap santet pada tahun 1999 begitu laku dijadikan komoditas politik nasional dan sebelumnya Genjer-genjer adalah lagu daerah Banyuwangi sekaligus diidentikan orde baru dengan Partai Komunis Indonesia.
Ironisnya, imaji identitas dan ‘nasionalisme’ masyarakat Banyuwangi yang dibayangkan oleh sekelompok elit dengan kategori-kategori dan batas-batas wilayah, ras, bahasa, budaya dan warisan tradisi tententu adalah ‘terjemahan’ pengetahuan dan catatan kolonial Belanda melalui pemikiran Lekkerkerker (Blambangan), Stoppelaar (Blambangan Adatrecht), Scholte (Gandroeng van Banjoewangi), van der Tuuk (Woorden van het Banjoewangisch dialect), Epp (Banjoewangi), Brandes (Verslag Over Een Babad Blambangan) dan sebagainya. Catatan kolonial ini pula nampaknya yang sering dijadikan amunisi debat historiografi banyuwangi, seperti terlacak dalam diskusi-diskusi mereka dan karya tulis mereka yang saat ini menjadi ‘acuan resmi’ Using dan ke-Banyuwangi-an. Seperti contoh Hasan Ali (berdarah Pakistan) yang menyodorkan 3 sosok pahlawan lokal ini dalam Banyuwangi: Sebuah Problematik, Sekilas Puputan Bayu : Sebagai Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi Tanggal 18 Desember 1771, Kamus Bahasa Using dan lani-lain. Hasnan Singodimayan (Jawa-Santri) dengan Seblang Perjuangan, Gandrung Banyuwangi, Kota Gandrung dan Serambi Mekkah. Atau juga karya tulis lain dari budayawan banyuwangi semacam Hasan Basri (Using), Fatrah Abal (Jawa-Using-Muhammadiyah), kelompok H.A.K Armaya (Madura), kelompok Mas Supranoto (Using), kelompok Fatah Yassin (Palembang) dan karya elit politik semacam Samsul Hadi (Using) juga Eko Sukartono (Madura).
Nah, tidak menutup kemungkinan, debat historiografi Banyuwangi akan semakin menarik, seiring semakin banyaknya kalangan terdidik dan euforia undang-undang otonomi / pemerintahan daerah nomor 22 tahun 1999 yang memberikan kerangka hukum dan politik untuk desantralisasi secara administratif, keuangan dan politik di daerah-daerah. Lalu siapa yang paling berhak menulis atas nama Using dan Banyuwangi, selain mereka (baca: elit) yang meneguhkan? Desantara / SB Setiawan