RUMADI AHMAD*
Banyak kalangan ambigu dalam memaknai penggulingan Muhammad Mursi sebagai Presiden Mesir. Apakah aksi yang dilakukan Dewan Agung Militer (SCAF) Mesir menggulingkan Presiden Mursi sebagai tindakan kudeta yang menciderai demokrasi, ataukah bentuk penyelamatan terhadap rakyat Mesir?
Para pendukung Mursi dari Ikhwanul Muslimin (IM) memandang ini sebagai kudeta militer yang merusak sistem demokrasi. Namun, kalangan militer menyebut hal ini sebagai bentuk penyelamatan rakyat Mesir dari kemungkinan yang lebih buruk. Dunia internasional tampaknya juga berada dalam ambigu tersebut. Amerika dan Inggris misalnya menyesalkan adanya intervensi militer untuk menyelesaikan sengketa dalam sistem demokrasi.
Situasi ini dianggap berbahaya bagi perkembangan demokrasi. Presiden AS Barack Obama menyampaikan keprihatinan atas perkembangan di Mesir, meski diikuti dengan ungkapan: “tidak ada transisi menuju demokrasi yang tanpa kesulitan, tapi pada akhirnya harus setia kepada kehendak rakyat”. Dari pernyataan tersebut tampak, pemimpin politik dari negara-negara Barat tampak kurang happy dengan tindakan militer Mesir, meski hal itu tidak diikuti dengan memberi dukungan pada Presiden Mursi.
Hal ini berbeda dengan sikap pemimpin di sejumlah Negara Timur Tengah. Raja Arab Saudi, Abdullah, memberikan ucapan selamat secara khusus kepada Adly Mansur, Ketua Mahkamah Konstitusi Mesir, yang didaulat sebagai pemimpin transisi Mesir untuk mempersiapkan pemilu. Pujian terhadap militer Mesir juga disampaikan Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed al- Nahayan. Militer Mesir dianggap telah membuktikan sebagai pelindung dan tameng yang kuat bagi rakyat Mesir. Krisis politik yang terjadi di Mesir sekarang ini sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak awal terpilihnya Mursi sebagai Presiden.
Mursi memenangi kursi kepresidenan hanya dengan 51,7 persen suara. Sementara 48,3 persen suara lainnya beroposisi kepada Mursi meski tersebar dalam berbagai kekuatan politik. Oposisi terhadap Mursi mengeras setelah dia membatalkan deklarasi konstitusi pada November 2012 lalu. Melalui deklarasi itu, Mursi mulai dicurigai hendak menjadi seorang diktator dengan mengumpulkan seluruh kekuasaan pada dirinya. Presiden Mursi juga dipandang terlalu mementingkan kelompoknya, IM, daripada rakyat Mesir secara keseluruhan. Hal inilah yang membangkitkan amarah lawan-lawan politiknya.
IM dan Militer
Penggulingan kekuasaan Presiden Mursi kembali menunjukkan betapa militer mempunyai peran yang sangat penting dalam perpolitikan di Mesir. Sejak Revolusi 1952 yang mengubah sistem politik Mesir dari monarki ke republik, militer telah tiga kali turun tangan dalam situasi politik yang genting. Pertama, saat terjadi “intifada roti” tahun 1977. Ketika itu pemerintahan Presiden Anwar Sadat menaikkan harga makanan pokok rakyat Mesir, roti. Rakyat Mesir melakukan demonstrasi besar-besaran.
Dalam situasi demikian, militer turun tangan untuk memaksa pemerintah Mesir menurunkan harga roti. Kedua, pada 1986, ketika satuan antihuru-hara melakukan pemberontakan pada Presiden Husni Mubarak. Ketiga, ketika Presiden Husni Mubarak minta pada militer untuk menghadapi pengunjuk rasa pada 25 Januari 2011. Dalam peristiwa ini tampaknya militer tidak sepenuh hati menjalankan perintah presiden, sehingga Husni Mubarak justru tumbang dari tampuk kekuasaannya.
Dalam fase-fase tersebut, IM dan militer mengalami situasi pasang surut. Menjelang Revolusi 1952, IM dan militer bekerja sama melawan kekuatan monarki Mesir. Kerja sama itu berhasil menumbangkan kekuatan politik monarki. Pasca-Revolusi 1952, militer cenderung melakukan monopoli dan mengontrol kekuasaan. IM sebagai sekutu merasa dikhianati. Kekecewaan itu berbuntut pada upaya percobaan pembunuhan Presiden Gamal Abdel Nasser pada 1954 meski upaya itu gagal. Sejak itu konflik terbuka antara IM dan militer semakin terbuka.
Militer yang semakin perkasa memburu dan menangkap tokoh- tokoh IM, bahkan salah satu tokoh penting IM, Sayid Qutub, mati dalam tiang gantungan. Akibat represi itu, tokoh-tokoh IM banyak yang melarikan diri ke berbagai negara teluk seperti Kuwait, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Ketika Anwar Sadat tampil sebagai pengganti Presiden Gamal Abdel Nasser pada 1970, hubungan IM dan militer mulai membaik. Gamal Abdul Nasser sebagai representasi kekuatan militer minta bantuan IM untuk memukul loyalis Anwar Sadat yang menentang Anwar Sadat.
Hubungan Anwar Sadat dan IM mulai retak ketika Anwar Sadat melakukan kunjungan ke Yerusalem pada 1977 yang berujung perjanjian damai dengan Israel pada 1979 di Camp David. Puncak ketegangan itu terjadi pada 1981 ketika aktivis Islam yang ditengarai dari IM berhasil menyusup ke tubuh militer dan berhasil membunuh Anwar Sadat. Pada masa Presiden Husni Mubarak 1981-2011, hubungan IM dan Mubarak yang didukung militer terus dalam ketegangan.
Ketegangan itu mulai turun ketika Mubarak mengizinkan aktivis IM untuk ikut pemilu meski tetap tidak boleh menggunakan simbol IM. Meski demikian, secara politik hubungan Mubarak dan IM terus mengalami ketegangan hingga tumbangnya rezim Mubarak pada 25 Januari 2011. Tumbangnya Mubarak sendiri tidak bisa dilepaskan dari keberpihakan kubu militer kepada kekuatan revolusi yang terus melakukan demonstrasi di berbagai penjuru Mesir.
IM sendiri sebenarnya tidak terlibat sejak awal untuk menumbangkan Mubarak (Mustafa Abd Rahman, 2013). Jika melihat rentetan peristiwa tersebut, apa yang dialami Presiden Muhammad Mursi merupakan pengulangan episode sejarah Mesir. Penangkapan tokoh-tokoh IM pendukung Mursi persis terjadi pada tahun 1960-an. Sejarah selalu berulang.
Masa Depan Mesir
Tidak ada yang lebih merisaukan sekarang ini kecuali melihat masa depan Mesir. Konflik horizontal kini menjadi ancaman di depan mata. Jika pendukung Mursi terus melakukan perlawanan, maka situasi bisa menjadi lebih buruk. Implikasinya, militerakan semakin represif, bukan hanya kepada pemimpin-pemimpin IM, tapi juga kepada organ-organ lain yang dianggap mengganggu.
Dalam kaitan ini, ada beberapa implikasi penting yang akan terjadi di Mesir setelah Presiden Mursitumbang. Pertama, militer akan semakin dominan dan menjadi penentu arah politik Mesir. Kedua, salah satu konsesi penggulingan Presiden Mursi adalah dibolehkannya IM tetap terlibat dalam proses politik dan tidak dinyatakan terlarang. Ketiga, kuncinya adalah konsolidasi politik kelompok penentang IM dan pendukung Presiden Mursi.
Setelah kelompok oposisi yang ditopang militer berhasil memaksa Mursi meninggalkan kursi kepresidenan, agenda terpenting mereka sekarang adalah merebut kepemimpinan politik melalui proses demokrasi, pemilu. Jika kelompok oposisi gagal melakukan konsolidasi, bukan tidak mungkin IM dan kelompok salafi akan kembali menjadi pemenang pemilu.
* Peneliti Senior the WAHID Institute, Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: Koran SINDO |Senin, 8 Juli 2013 − 11:03 WIB