Konon, dari cerita mulut ke mulut, sinrilik mulai dikenal orang sekitar tahun 1545. Saat itu Raja Gowa ke-10, Tumapa’risi Kalonna, membuat sebuah perjanjian dengan Raja Bone, Laulio Bottoe. Kurang jelas memang perjanjian macam apa itu, namun H. Sirajuddin yang juga seniman sinrilik ini meyakini sekitar abad ke-16 itulah pertama kalinya sinrilik tampil sebagai kesenian kerajaan.
Adalah seorang ahli bahasa bernama B.F. Matthes yang diyakini sejumlah ahli sebagai orang pertama yang berjasa mencatat sinrilik dalam teks tertulis. Dalam sebuah buku berjudul Makassaarsche Chrestomathie, yang ia terbitkan pada 1860, Matthes telah mentranskrip dan menerjemahkan sinrilik I Datu Museng dan juga sinrilik Kappalak Tallumbatua. Dari catatan Matthes inilah sinrilik dikenal banyak orang.
Matthes memang diakui beberapa pihak telah berjasa dalam mendokumentasikan beberapa sinrilik. Tetapi bila catatan-catatan yang dibuat misionaris Belanda ini kita telusuri lebih jauh, ternyata ia menyimpan pertanyaan besar. Betulkah catatan-catatan transkripsi dan terjemahan itu mencerminkan hati, pikiran, perasaan dan imajinasi rakyat Makassar waktu itu? Atau jangan-jangan –sebagaimana dilihat oleh sejumlah kalangan– cerita-cerita sinrilik yang dibukukan Matthes justru bercampur dengan imajinasi kolonial negeri tempatnya berasal.
Komentar Sirajuddin berikut ini barangkali menarik kita simak. Matthes, kata Sira, melakukan pembohongan sejarah! Pasalnya, catatannya tentang sinrilik Kappala Tallumbatua menyuguhkan sisa-sisa politik adu domba warisan kolonial. “Ia hanya mereproduksi saja imajinasi kolonial dalam tulisannya,” tuturnya.
Baiklah kita simak penuturan Sirajuddin ini mengenai cerita Kappalak Tallumbatua yang ditulis Matthes. Alkisah, Raja Gowa sebelum Sultan Hasanuddin yakni To Ni Sombayya punya firasat kuat akan lahirnya seorang laki-laki yang akan merongrong kekuasaan Gowa. Seketika itu raja pun memerintahkan para punggawanya untuk menghabisi semua anak laki-laki keturunan Bone yang lahir. Bila masih sempat selamat dan tumbuh menjadi remaja, maka dicarilah remaja atau pemuda yang pintar bermain raga, lalu dibunuhlah dia.
Dari penggalan singkat cerita ini, sebenarnya laki-laki yang dimaksudkan adalah Arung Palakka. Menurut Sirajuddin, cerita ini sengaja dibangun sedemikian rupa sehingga Arung Palakka tampak sebagai sosok yang paling menakutkan dan berbahaya bagi kerajaan Gowa. Selain itu, kisah ini juga dibuat untuk memperlihatkan betapa sadis dan kejamnya Raja Gowa di mata rakyat Bone.
Dalam analisisnya Sirajuddin menengarai, cerita tersebut hanyalah upaya yang ditujukan untuk menciptakan permusuhan antara Bone dan Gowa. “Ini sengaja dibuat oleh Matthes untuk merawat silang sengketa antara Gowa dengan Bone sampai saat ini,” tandas Sirajuddin. Pasalnya, mustahil pada masa itu ada peristiwa sekejam itu sebab antara Arung Palakka dan Gowa mempunyai pertalian darah yang erat.
Mengenai siapa yang berkepentingan dalam konflik itu bisa diduga jelas. Sebagaimana biasanya, aparatus kolonial Belanda selalu saja berada di balik siasat devide et impera di banyak tempat di negeri jajahannya.Dalam perbincangan, kebenaran tentang mitos perang saudara ini barangkali bisa menjadi debat yang tanpa kata akhir. Tapi dalam keseharian mitos ini rupanya masih saja mengeram jauh di bawah alam sadar kita. Buktinya, di kalangan masyarakat Bugis, mereka tidak nyaman saat cerita sinrilik ini diperdengarkan. Seperti diakui Puang Toa Saidi yang seorang Bissu Pangkep asal Bone.
“Kalau mendengar cerita sinrilik Kappala Tallumbatua, kita biasanya orang bugis merasa marah, pertikaian lama seakan-akan muncul kembali,” aku Puang Saidi saat ditemui Desantara.
Sejarah kolonial memang bukan hanya cerita tentang penaklukan. Ia juga mewariskan pengkotakan, kebencian, dan imajinasi tentang perang. Mitos konflik Bugis vs Makassar yang terus hidup sampai kini seakan menjadi bukti kuatnya imajinasi kolonial ini. Bahkan ketika ia terus hidup dan sesekali waktu sengaja dihidupkan kembali saat momen perayaan politik lokal tiba.Penuturan Syarifuddin Tutu yang juga seorang Pasinrilik dari Gowa seolah menegaskan kenyataan ini. Katanya, perang dingin saat ini khususnya dalam perebutan kekuasaan dan jabatan-jabatan politik antara orang Makassar dan Bugis (Bone) banyak dipengaruhi oleh sejarah yang ditulis orang Belanda seperti Matthes. “Menjelang pilkada macam ini biasanya tensi meningkat, dan kita tak sadar kalau terpengaruh oleh cerita bikinan Belanda,” ujarnya.
Sadar akan hadirnya jejak-jejak kolonial dalam sinrilik, beberapa seniman Gowa seperti Sirajuddin berusaha menulis sinrilik tandingan. Sira sendiri kini telah menulis sinrilik I Mallombassi dg Mattawang untuk menyuguhkan bacaan lain di luar Kappala Tallumbatua-nya Matthes yang bias kolonial. Bahkan sinrilik di tangan Sirajuddin dikembalikan fungsinya sebagai media kritik dan sarana menyampaikan nasehat serta petuah-petuah kebajikan, seperti dalam ceramah-ceramah keagamaan yang dibawakannya di mesjid-mesjid dan forum-forum serupa.
Hadirnya sinrilik dalam ceramah-ceramah keagamaan memang mengundang perhatian. Di satu pihak ia bisa dilihat sebagai proses adaptasi sinrilik dengan Islam, dan di pihak lain ia menjadi semacam jalan komunitas sinrilik untuk keluar dari proses marginalisasi dan bangkit menemukan jati dirinya di zaman yang sedang berubah ini. Termasuk saat sinrilik berupaya dimaknai lepas dari imajinasi kolonial sebelumnya. Desantara / Huda, Liputan oleh Syamsurijal Adhan