Kesan tegas langsung muncul dari lelaki separuh baya ini ketika disinggung mengenai hubungan antara Tengger dengan Bali. Rasa masygul tampak jelas di raut wajahnya. Kisahnya, suatu ketika seorang tokoh Bali menyatakan keinginannya untuk memasukkan budaya Bali di Tengger. “Pak Mujo, bagaimana kalau adat di Tengger disamakan dengan adat Bali?” Langsung saja lelaki ini menjawab, ”Wah saya nggak mau, Pak. Lha kalau disamakan dengan Bali berarti adat Tengger akan hilang! Berarti, nanti kan tidak ada lagi Hari Raya Karo, Hari Raya Kasodo? Terus terang, saya nggak mau, Pak!”
Itulah Mujono. Masyarakat setempat akrab memanggilnya dengan “Pak Mujo”, seorang dukun Tengger dari Desa Ngadas Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Dan kegusarannya itu bukannya tanpa dasar. Predikat dukun yang disandangnya sejak berumur 25 tahun mengharuskannya untuk menjaga eksistensi adat Tengger yang telah diwarisinya turun temurun sejak ratusan tahun lampau. Mujono mengetahui secara persis, bahwa ada usaha terus menerus untuk memasukkan kebiasaan Bali dalam kebudayaan masyarakat Tengger. Sasarannya, terutama, adalah generasi muda. Mereka membawa buku-buku yang berisi kebudayaan mereka untuk dibagi-bagikan kepada para pemuda, mengajak para pemuda untuk ngobrol tentang budaya mereka, serta mengajak untuk memakai pakaian adat seperti mereka. “Lha wong namanya anak muda, gampang terpengaruh dengan hal-hal baru, akhirnya sempat terbawa juga,” ungkap bapak tiga orang anak angkat ini dengan logatnya yang khas.
Sosok Mujono barangkali mewakili karakter asli masyarakat Tengger: ramah, lugas, dan tepa slira, namun watak dasar itu bisa berubah ketika ia merasakan ada yang hendak mengusik ketenteraman masyarakatnya. Dan penolakan Mujono terhadap intervensi budaya Bali ke dalam adat Tengger bukannya tanpa alasan. Adat dan budaya dipandangnya sebagai sesuatu yang plural yang tak perlu dipaksakan. Atas dasar ini, Mujono bisa menerima bila masyarakat Bali, atau siapapun juga, ingin menjalankan agama dan kepercayaan mereka di Tengger, asal tidak memaksakan agama mereka pada masyarakat setempat.
Mujono sendiri ketika menghadiri berbagai undangan pada upacara-upacara keagamaan di Bali, tetap menggunakan kebiasaan-kebiasaannya sendiri sebagai orang Tengger. “Saya tidak mau menggunakan adat Bali sebab itu bukan budaya saya. Kalau mereka hendak memaksakannya kepada masyarakat Tengger, itu yang saya nggak bisa terima,” ujarnya.
Memang, selama ini banyak sekali bantuan yang diberikan oleh tokoh-tokoh Bali kepada masyarakat Tengger. Misalnya dalam bentuk pembangunan sanggar dan pura yang ada di Tengger. Atau juga sewaktu ada pelaksanaan upacara agama Hindu. “Namun, bukan berarti masyarakat Tengger harus menyeragamkan adatnya dengan Bali,” tegas Mujo. Mujono kemudian mencontohkan perbedaan yang sangat mencolok antara Tengger dan Bali. Diantaranya adalah sistem penanggalan atau kalender yang sudah sangat berbeda. Ketika di Bali sudah masuk bulan kesepuluh, di Tengger masih bulan Kepitu (ketujuh) 1936 Tahun Bumi (tahun pada kalender Tengger). Perbedaan itu terjadi, karena di dalam kalender Tengger ada hari-hari yang dinamai dengan istilah mecak, yakni satu hari dengan dua penanggalan pada setiap dua bulan sekali, sedangkan di Bali tidak ada mecak.
“Lha kalau tanggalnya saja sudah berbeda, bagaimana dengan upacara-upacara adat yang di sini? Bisa kacau, kan? Belum lagi jika, misalnya, kami diharuskan untuk melaksanakan upacara ngaben seperti di Bali. Biaya ngaben itu kan sangat mahal, bisa belasan juta rupiah. Masyarakat di Tengger mana mampu melaksanakannya?” ujar Mujono bernada tanya.
Sosok Mujono terbilang unik. Eksistensinya sebagai dukun yang sangat dihormati tidak lantas menjadikannya bersikap pro status quo. Ia cenderung moderat untuk urusan-urusan, yang dalam pandangan para dukun Tengger, masih sangat tabu untuk dilakukan.Misalnya, dalam pelaksanaan upacara-upacara adat di Desa Ngadas, ia selalu menjelaskan kepada masyarakat mengenai mantra-mantra yang dibacakannya serta arti dan makna yang terkandung dalam mantra-mantra dan ritual tersebut. Satu hal yang sangat jarang dilakukan oleh para dukun Tengger pada umumnya.
Hal ini dilakukan Mujono karena ia berpandangan bahwa menjaga warisan adat tidak bisa dilakukan dengan menyimpan pengetahuan untuk diri sendiri. Masyarakat harus tahu dan memahami makna upacara-upacara adat. Hal demikian bertentangan dengan pendirian beberapa tokoh adat yang masih berusaha menyimpan pemahaman mengenai kebudayaan Tengger untuk diri mereka sendiri. Barangkali alasan mereka adalah untuk menjaga agar masyarakat tetap menghormati mereka sebagai kalangan yang paling tahu dan paling paham mengenai budaya Tengger. Tetapi, Mujono beranggapan kalau pengetahuan tentang kebudayaan Tengger tidak dibuka, lama kelamaan adat dan nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan Tengger akan hilang, apalagi dengan gencarnya budaya-budaya dari luar yang mencoba masuk ke Tengger. “Lha kalau mereka tidak paham tentang adatnya, jangan salahkan mereka jika mereka lalu meninggalkan kebiasaan para leluhur,” ujarnya.
Mujono juga sosok yang terbuka terhadap kritik, satu sikap yang jarang dijumpai di kalangan pemangku adat. Pernah, dalam sebuah forum dialog selepas upacara Pujan Mapak Kepitu, seorang pemuda mempertanyakan mengenai digunakannya penjor janur (hiasan dari daun pohon kelapa yang masih muda) dalam upacara Galungan. Menurut sang pemuda, selama ini ia tidak pernah menemui penjor dalam kebiasaan Tengger. “Apakah Anda meninggalkan adat dalam melaksanakan upacara agama?,” tanya sang pemuda.
Dengan tenang Mujono lantas menjelaskan mengenai adat upacara-upacara di Tengger, bahwa dalam setiap upacara adat, harus ada 4 unsur: api, air, bunga dan daun. Api dan air melambangkan asal-usul kehidupan, sedangkan bunga dan daun melambangkan kehidupan itu sendiri. Nah, selama ini, memang unsur bunga dan daun hanya dirupakan dalam bentuk ronce dan penjor kecil. “Menurut saya, tidak ada salahnya jika penjor kecil itu kemudian diperbesar untuk menambah semaraknya suasana upacara. Apa demikian itu termasuk meninggalkan adat? Saya kira kok tidak,” ujarnya meyakinkan. Dari kasus tersebut Mujono semakin yakin bahwa generasi muda harus mendapatkan lebih banyak penjelasan mengenai hal-hal di seputar adat Tengger.
Ketokohan Mujono tidak diragukan lagi. Setidaknya, kesimpulan itulah yang diperoleh dari pendapat beberapa kalangan masyarakat mengenai Mujono. Diantaranya, Misjono, seorang pemuda asli Desa Wonotoro yang berprofesi sebagai Guru Agama Hindu di beberapa sekolah di Kecamatan Sukapura. “Memang, Pak Mujo itu lebih dari sekedar pemangku adat. Dia juga guru pelajaran budaya dan adat Tengger bagi kami. Menurut saya, dia adalah seorang tokoh adat yang reformis dan punya visi mengenai kelestarian adat Tengger,” ujar Misjono. Desantara