Malam mulai larut. Kerumunan orang masih saja memadati halaman depan salah satu rumah warga kampung Benteng, Sidrap. Malam itu Laha, Lihi dan Lahadu, tiga seniman kecapi tunggal ini sedang memperlihatkan kelebihannya. Mereka tengah manggung dalam acara aqiqah dan syukuran masuk rumah baru warga setempat.
Dentingan dan irama yang keluar dari petikan kecapi itu memang serasa membius. Terdengar indah. Nyaring. Dan kadang mendayu-dayu diiringi lantunan lagu-lagu Bugis yang aduhai. Tak selang beberapa lama, lagu-lagu berganti cerita.
Mulai dari kisah kepahlawanan sampai cerita sehari-hari yang kerap mengundang gelak tawa. Semuanya dimainkan secara apik, menawan dan sempurna. Tak terlihat kesan bahwa Laha, Lihi dan Lahadu sebenarnya tak memiliki penglihatan sempurna, laiknya orang normal. Kedua mata mereka buta. Namun begitu, ketrampilannya memainkan kecapi sungguh tak meragukan. Benar-benar mengundang decak kagum penonton.
Seperti terlihat pada malam itu. Usai menyanyikan beberapa lagu. Tiba-tiba Lahadu mengambil pengeras suara. Dengan mimik muka yang jelas tak menandakan keseriusan apapun, ia berujar. “Kami sebenarnya bukan hanya pemain kecapi, tapi juga bisa menjadi seorang ustad yang mampu membawakan lagu-lagu barzanji”. Sejurus kemudian sebait dua bait barzanji pun ia suguhkan, yang tentu saja tak sefasih para ustad.
Fenomena kecapi yang dimainkan dengan lagu-lagu barzanji seperti yang disuguhkan Lahadu macam ini sebenarnya belum begitu lama terdengar. Biasanya kecapi hanya diiringi cerita-cerita perjuangan dan kepahlawanan. Itu pun sudah jarang terdengar. Karena kecapi tunggal semakin marginal seiring dengan menjamurnya berbagai jenis musik yang diproduksi berbagai industri musik modern.
Tapi malam itu suasananya sungguh berbeda. Laha, Lihi dan Lahadu manggung di dekat sebuah pesantren dengan penuh percaya diri. Al Urwatul Wutsqa, nama pesantren itu. Pesantren besar dan tergolong cukup terkenal di Sidrap, bahkan di wilayah Sulawesi. Rupanya Lahadu paham benar, dimana ia sedang pentas. Ia tahu audiens di hadapannya sebagian adalah para santri dan pengurus pesantren. Sehingga demi menarik pendengar dan memuaskan mereka, perlu membawakan irama-irama dan lagu-lagu “Islami” semacam itus.
Lahadu jelas bukan seorang ustad. Melihat kadar kefasihan Lahadu, penonton pun tahu alunan barzanji itu bukan ritual mengaji atau puji-pujian sakral yang dibawakan pada momen-momen atau hari-hari tertentu. Dan memang benar, karena tiba-tiba penonton dibuat terpingkal-pingkal oleh lagu-lagu plesetan yang mengundang gelak tawa dibawakan dalam irama barzanji itu. “Decenna na bosi-bosi, na nasornia barazanji, punna bolae” (Untung saja hujan turun, ketika yang punya rumah menyodorkan barzanji untuk dibaca). Tawa dan tepuk tangan penonton pun riuh rendah, memberi applaus ketiga seniman itu.
Laha, Lihi dan Lahadu adalah beberapa saja seniman yang hingga kini terus hidup dan menghidupi kecapi tunggal dari panggung ke panggung. Dari beberapa catatan literatur, kesenian musik rakyat yang bentuk alatnya menyerupai perahu itu –konon katanya kecapi memang hasil inspirasi para nelayan-, memang awalnya sekadar pengisi hiburan di kala senggang. Tapi lama kelamaan kecapi bukan sekadar alat hiburan. Ia kerap ditampilkan dalam acara formal keluarga, seperti: a’mata-mata benteng (ritual mendirikan rumah baru), aqiqah dan perayaan penganten.
Dari situ pemain kecapi pun mulai kebanjiran order. Mereka kian menjadi idola banyak orang. Bahkan menurut Umar Sara yang salah seorang pemain kecapi tunggal, dulu pemain kecapi nyaris tak ada waktu istirahat malam. Mereka harus memenuhi undangan warga pada malah hari semalam suntuk. Sementara siang harinya baru beristirahat. Tapi karena saat itu honor main kecapi cukup memenuhi kebutuhan hidup para pemain dan keluarganya. Mereka praktis tidak membutuhkan pekerjaan lain di siang hari.
Kondisi ini jauh berbeda setelah masuknya berbagai industri musik modern. Hadirnya berbagai alat musik seperti seruling, gitar, biola dan seterusnya dalam dunia modern, tak bisa dicegah membuat kecapi tunggal harus bersaing dengan kesenian lain dalam memperebutkan hati penonton. Munculnya simfoni kecapi sekitar tahun 80-an, misalnya, yang atas inisiatif Nani Sapada dan A.S. Said dan didukung pemerintah daerah Sidrap yang menggabungkan berbagai alat musik modern dengan kecapi, menandai dominannya perkembangan baru ini.
Seperti yang dialami Ma’ruf Salim yang terpaksa meninggalkan kecapi dan beralih mendirikan kelompok elekton Irmal. “Saya bisa bangkrut, kalau masih main kecapi,” ujarnya. Ma’ruf cukup beruntung karena dia punya sedikit modal untuk beralih ke elekton. Beda halnya dengan seniman kecapi tunggal macam Umar Said dan La Condeng. Umar Said harus gulung tikar dari berkesenian dan menjadi petani. Sementara Lacondeng mensiasati hidup dengan berprofesi menjual obat sambil mementaskan kecapinya di arena tersebut.
“Islamisasi” dan siasat seniman
Apa yang di tampilkan Laha, Lihi dan Lahadu dalam pertunjukan kecapinya di awal paparan ini sungguh menjadi pemandangan menarik. Bagaimana mereka terus berusaha survive dan diminati banyak penonton dalam situasi belakangan ini.
Bila problem masa lalu para seniman adalah bagaimana mereka terus survive dalam persaingan dengan industri musik modern, kini kecapi tunggal dihadapkan pada problem yang benar-benar baru. Pemerintah Sulawesi Selatan seperti yang kita saksikan belakangan ini tengah gencar menggulirkan agenda “islamisasi” (misalnya, jilbabisasi seniman) dan “anti kemaksiatan” dalam berbagai bidang, termasuk juga dalam kebudayaan, yang didukung sebagian besar tokoh agama. Kecapi tunggal tentu saja masuk agenda ini.
Di sinilah menariknya pertunjukan kecapi Lahadu, Laha dan Lihi di atas panggung. Di tengah desakan islamisasi atau syari’atisasi, dan juga industri modern, lagu barzanji tampaknya lebih merupakan cara para seniman kecapi agar lebih diterima dan diminati oleh penonton yang ada dalam sebuah ruang tertentu. Dalam konteks waktu itu adalah para kyai pesantren al-Urwatul Wusqa. Terbukti hal yang sama ternyata juga diperagakan La Condeng, seorang seniman kecapi tunggal yang baru-baru ini kerap menyelipkan cerita-cerita Islam dalam kecapinya, dan bumbu humor dan plesetan di dalamnya.
Laha, Lihi dan Lahadu, seperti halnya La Condeng dan Umar Said, bisa dibilang prototipe seniman yang terus berusaha survive. Sekaligus memperlihatkan bagaimana mereka menciptakan cara dan strategi menghadapi modernisasi, kebijakan agama dan sikap beberapa agamawan yang seringkali tak menguntungkan mereka.
Tambahan lagi agenda islamisasi kesenian selama ini tak selalu paralel dengan upaya pemerintah menjamin eksistensi komunitas seni. Para seniman kecapi tunggal, misalnya, tidak bernasib sama dengan seniman kecapi simfoni, kecapi kitoka atau para pemilik sanggar. Yang terakhir ini selalu menikmati dana-dana rakyat untuk pengembangan seni yang harusnya dibagi adil. Sementara seniman kecapi tunggal, seperti La Condeng, Laha, Lihi, Lahadu dan Umar Said, harus gigit jari dan terus berada di garis pinggir.
Meski demikian tampaknya dari mereka, kita harus belajar mandiri tanpa intervensi apalagi dikooptasi. Desantara