Sirna sudah harapan dan keinginan para jemaat Gekindo Getsemane Jatimulya untuk bisa mencecap keadilan di negeri yang penuh dengan keragaman ini. Pertengahan bulan Juni 2008 lalu, pihak Kecamatan Tambun Selatan bekerjasama dengan aparat kepolisian dan Trantib membongkar gereja mereka. Kini, tak ada lagi rumah ibadah, tak ada pula kepastian nasib bagi mereka.
Mereka pun kini menempuh cara hidup layaknya masyarakat nomaden. Untuk sekadar menunaikan ibadah, harus rela berpindah-pindah tempat dari rumah jemaat satu ke rumah jemaat lainnya.
Pembongkaran gereja itu adalah puncak dari penderitaan dan cerita pahit mereka. Tahun 2005 lalu, jalan utama menuju gereja dibloklir oleh sekelompok massa yang mengatasnamakan agama tertentu dengan alasan tak punya izin dan mengganggu warga setempat. Sejak saat itu pula, jemaat Gekindo terpaksa harus beribadah di jalan selama berbulan-bulan.
Ironis memang. Negara yang mustinya menjamin serta melindungi hak kebebasan beragama mereka justru berubah menjadi monster ganas yang mencabik-cabik hak itu, terhadap kelompok agama yang nota bene sudah diakuinya secara resmi pula.
Tapi itulah kenyataannya. Negara lebih melayani dan tunduk pada kepentingan kelompok-kelompok bringas yang jauh dari rasa toleran