Keluarga Gwi Santoso (45 th); Santoso, Lany L.W (43 th), dan Ester Morita (14 th), adalah segelintir dari sekian banyak penduduk di Surabaya yang tidak pernah memiliki status resmi sebagai warga negara Indonesia. Mereka tidak punya kelengkapan dokumen (undocumented persons) untuk membuktikan identitas kewarganegaraannya karena dokumen mereka belum diakui secara legal.
Santoso lahir di Surabaya pada tanggal 24 Pebruari 1963. Sementara istrinya, Lany, lahir tertanggal 25 Desember 1965 di Situbondo. Sejak kecil Lany bersama orang tuanya hijrah ke Surabaya. Sementara Ester Morita, anak semata wayangnya, lahir di Surabaya pada tanggal 21 April 1996.
Berkali-kali keluarga ini mencoba mengadu untung untuk memperjelas status kewarganegaraanya. Tapi hasilnya selalu gagal. Misalnya, ketika Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dan Solidaritas Korban Diskriminasi (SIKAD) membuka layanan sosial pewarganegaraan, Santoso bergegas menyerahkan berkas kewarganegaraan anaknya termasuk dirinya dan Lany. Namun berkas keluarga ini dikembalikan karena dianggap belum memiliki kelengkapan dokumen sesuai peraturan.
Regulasi kewarganegaraan diyakini mempersulit Santoso dan Lany untuk mendapatkan status kewarganegaraan Indonesian (WNI). Misalnya seperti yang pernah mereka ajukan dengan mengikuti aturan yang tertuang dalam “Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia RI, Nomor M.02-HL.05 Tahun 2006 tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Menjadi Warga Negara Indonesia”. Regulasi ini mengatur kewarganegaraan suami WNA mengikuti istri WNI atau sebaliknya, istri WNA mengikuti suami WNI. Salah satunya harus telah berstatus sebagai warganegara Indonesia (WNI). Namun begitu diproses sesuai prosedur, usaha Santoso dan Lany selalu kandas.
Jalan lain dapat ditempuh melalui prosedur yang tertuang dalam “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia”. Santoso dan Lany berdasarkan PP ini dapat mengajukan status WNI melalui “pewarganegaraan” bagi orang asing. Namun keduanya terganjal karena harus mencantumkan kewarganegaraan asal. Faktanya mereka sejak kecil tidak memiliki kewarganegaraan selain Indonesia. Selain itu, mereka juga mustahil dapat memenuhi persyaratan aturan ini karena harus menyerahkan “fotokopi kutipan akte perkawinan/buku nikah”. Padahal Santoso dan Lany hanya memiliki Piagam Pernikahan alias menikah di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Cabang Sawahan yang belum tercatat di Kantor Catatan Sipil.
Syarat lain yang tak mampu dipenuhi Santoso dan Lany adalah surat keterangan dari “perwakilan negara pemohon bahwa dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia mereka tidak menjadi berkewarganegaraan ganda”. Jelas, mereka tidak tercatat sebagai warga negara China.
Dari pada pusing memikirkan status kewarganegaraannya, Santoso dan Lany berpikir untuk mengusahakan status kewarganegaraan Ester Morita, anaknya. Bagi Santoso dan Lany, masa depan anaknya harus diselamatkan, jangan sampai tidak memiliki status kewarganegaraan seperti mereka berdua. Sampai saat ini Morita tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah karena belum punya status kewarganegaraan sah.
Namun, mengurus status kewarganegaraan Ester Morita juga sama susahnya. Azas berdasar tempat kelahiran (ius soli) dalam UU No 12 Tahun 2006 nampaknya tak dapat diterapkan dalam diri Morita, karena UU tersebut tidak berlaku surut. Untuk mengejar status WNI, Morita hanya dapat melalui “Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-HL.03.01 tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 42 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia”. Jelasnya, Morita harus mengikuti prosedur “Pewarganegaraan Anak”.
Jalan satu-satunya ini pun sulit dilewati. Berdasarkan Permenkum dan HAM diatas, Ester harus menyertakan copy akta kelahiran dan akta perkawinan orang tuanya. Padahal sudah jelas, Santoso dan Leny belum punya status kewarganegaraan. Jadilah Ester menyandang stateless sepanjang hidup seperti orang tuanya. Ironis memang.Desantara / Mashuri.