“Pujan dan Tanah Untuk Kehidupan Kami”
“Saya lahir di tanah Tengger. Pada 1955 pertama kalinya saya menerima tanggung jawab sebagai dukun di Ngadas Tengger. Sejak saat itu pula saya bertanggung jawab melestarikan dan menjaga adat masyarakat Tengger. Karena bagi kami, ketaatan pada adat adalah segala-galanya,” tutur Ngatrulin. Duduk di sebuah kursi di bilik depan rumahnya, laki-laki tua ini memulai pembicaraannya.
“Menurut ajaran adat kami, tanah ini adalah unsur terpenting bagi hidup kami. Misalnya, bagaimana memperlakukan tanah, menjaga lingkungan dan melestarikan alam, serta bergaul dengan sesama manusia. Semua itu sudah termaktub dalam aturan adat.
Bahkan hampir seluruh upacara atau pujan adat Tengger berhubungan dengan tanah. Misalnya upacara karo,” ujarnya.
Bagi masyarakat Tengger, karo adalah upacara yang dilaksanakan untuk menghormati seluruh leluhur yang ada di daerah Tengger. “Ada empat unsur yang tidak boleh ditinggalkan dalam mantra persembahan, yakni Bopo Kuoso, ibu pertiwi, pedanyangan dan sumber air,” tuturnya. Menurut Ngatrulin, hal ini sekaligus menunjukkan ketakterpisahan ritual yang mereka lakukan dengan penghormatannya terhadap bumi tempatnya berpijak.
Selain karo, ritual lain yang melibatkan seluruh warga masyarakat Tengger adalah pujan kapat, pujan kawolu, pujan kasongo dan pujan kasada. Jika sudah genap satu windu dilakukan upacara unan-unanredi-redi berapi (gunung-gunung berapi) agar tidak memuntahkan laharnya. yang bertujuan untuk menyelamati “Bagi kami, segala sesuatu selalu ada aturannya. Hal-hal yang terkecil seperti menebang pohon pun ada aturannya. Misalnya, menebang kayu yang masih hidup harus menggunakan mantra tersendiri. Kami berkeyakinan bahwa seluruh isi alam ini sama-sama memiliki hak untuk hidup, maka untuk membunuh barang hidup yang lainya kami harus permisi dulu,” papar Ngatrulin.Selain tetumbuhan, perlakuan masyarakat Tengger terhadap hewan juga tidak berbeda. Bahkan mereka memberikan ritual khusus terhadap segala jenis binatang ini. “Kami melakukan ritual mukakat roan untuk menghormati binatang dan rojo koyo yang berada di hutan sana,” jelasnya. Ritual mukakat roankaro yang dilaksanakan setahun sekali. adalah rangkaian dari upacara Selama berpuluh-puluh tahun, tradisi ini dijalankan oleh masyarakat Tengger. Keharmonisan warga dengan alam sekitarnya membuat kehidupan di Tengger berjalan tentram dan damai, jauh dari bencana. Masyarakat selalu merawat dan memelihara lingkungannya, karena mereka merasa hidup dan justru dihidupi oleh kehidupan Tengger sendiri.Keadaan mulai berubah, ketika pemerintah berusaha memperluas otoritasnya dan menguasai semuanya. Ini bermula ketika kawasan Tengger dijadikan Taman Nasional. Masyarakat Tengger dilarang membuka dan menanami hutan dengan aneka tanaman produktif sehingga banyak warga yang menjadi pengangguran atau menjadi buruh tani.“Tapi sekarang setelah tanah dan hutan di sekeliling desa saya dikuasai Taman Nasional, keadaan mulai berubah. Saya dan masyarakat desa Ngadas tidak diperbolehkan membuka hutan dan menggarap tanahnya. Bahkan mencari rumput dan kayu saja di larang,” ungkap Ngatrulin mengenang pahit getir masyarakat Tengger untuk memperoleh penghidupan di tanah kelahirannya sendiri.Ngatrulin punmulai mengingat, saat beberapa tahun yang lalu ketika hutan di Tengger mulai dikelola pemerintah dan dijadikan Taman Nasional. Masyarakat di sekitar Tengger bukan sekadar tak bisa lagi mengelola dan memanfaatkan tanah dan hasil hutan. Tapi juga tidak diberi kesempatan ikut mengelola keutuhan lingkungan dan keseimbangan alamnya. Padahal tanah dan hutan di sekitar Tengger yang membentang luas itu sudah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan warga. Akibat arogansi pemerintah tersebut, kekhawatiran itupun terjadi. Hutan-hutan menjadi gundul, erosi dan banjir pun mengancam daerah bawah.“Beberapa tahun yang lalu memang diadakan penghijauan oleh pihak Taman Nasional, tapi tidak ada yang berhasil sama sekali karena tidak dirawat. Misalnya, daerah Pusung Gedhe. Daerah ini gundul dan tidak ada pohonnya sama sekali sehingga menjadi salah satu tempat berlangsungnya penghijauan. Namun upaya itu gagal dan sekarang Pusung Gedhe dalam keadaan gundul,” tutur Ngatrulin. Warga Ngadas pun mulai gelisah. Menurut Ngatrulin, karena khawatir kondisi hutan yang gundul itu bisa melahirkan erosi dan banjir menimpa masyarakat daerah bawah maka warga desa pun berusaha menghijaukan kembali lahan gundul itu. Meski memang pemerintah tampaknya mulai acuh.
“Pihak taman Nasional tidak mengeluarkan dana sepeserpun untuk menghijaukan Pusung Gedhe itu. Seluruh biaya ditanggung oleh masyarakat Ngadas. Bibit-bibit dan pupuk pohon semuanya ditanggung masyarakat sendiri. Saya tidak tahu kenapa pihak Taman Nasional belum tergerak hatinya untuk membantu kami. Mungkin saja mereka masih sibuk dengan urusan pribadinya hingga lupa kewajibannya terhadap masyarakat. Atau mungkin mereka tidak memperhatikan kami dan menganggap kami sebagai orang yang tidak berpendidikan,” tuturnya dengan nada agak sedikit kesal.
Rasa kesal, dan mungkin juga jengkel ini barangkali juga terkait dengan pandangan orang selama ini. Yakni berkaitan dengan asumsi banyak pihak termasuk pemerintah yang meremehkan peran warga Tengger dalam menjaga kelestarian alam. Pandangan bahwa masyarakat Tengger ‘tak terdidik, bodoh dan terbelakang” dan banyak menimbulkan masalah masih terus menghantui benak para elit dan birokrasi sampai kini. Bahkan tuduhan-tuduhan pengrusakan hutan kerap kali dialamatkan pada mereka.
Baru-baru ini misalnya, tepatnya 22 Agustus lalu, saat beberapa titik api membakar kawasan padang rumput di dekat Jemplang. Pemerintah dalam hal ini pihak pengelola Taman Nasional bukannya segera mengantisipasi dan mencari penyebab kebakaran hutan, tapi justru menuduh komunitas sekitar sebagai biang keladi. “Mereka hanya mencari kambing hitam. Siapa yang membakar? Akhirnya masyarakat Ngadas yang disalahkan. Padahal masyarakat Ngadas tidak tahu menahu. Bisa jadi kebakaran itu karena saking panasnya rumput di musim kemarau,” tutur Ngatrulin dengan nada protes.
Ngatrulin dan mungkin juga warga Tengger lainnya barangkali merasa nelongso dan hanya bisa mengelus dada atas tuduhan itu. Bukan apa-apa, lantaran mereka sebenarnya hanya menginginkan kehidupan yang layak sebagaimana dulu pernah diperoleh. Mereka bebas memungut kayu-kayu kering dan memanfaatkan lahan yang ada, sambil tetap memelihara dan menjaga kelestarian hutannya. Daripada sekadar janji-janji yang dulu sempat dilontarkan namun tidak pernah menjadi kenyataan.
“Taman nasional dulu memberikan pengaring-ngaring (iming-iming) kepada kami. Bahwa besok jika sudah menjadi Taman Nasional akan banyak turis mancanegara yang datang, sehingga warga dapat memanfaatkan Bahasa Inggris untuk menjadi guide (pemandu wisata) dan penduduk dapat membuka toko-toko kecil penyedia kebutuhan turis. Tetapi sampai sekarang tidak ada. Ini kan konyol. Kami sebenarnya tidak menginginkan yang begini-begitu, kami hanya butuh makan, tidak lebih dari itu,” ujar Ngatrulin.Janji memang sekadar janji. Daerah Ngadas yang masuk wilayah probolinggo itu pun kini masih terbengkalai. Meningkatnya wisatawan ke kawasan Tengger selama ini juga tidak berpengaruh terhadap perkembangan warga desa. Lantas siapa sebenarnya yang menikmati tanah kawasan Tengger? [Pewawancara: Edi]