Hidup survive dan menjadi diri sendiri ternyata tidak gampang. Lebih-lebih ketika pergaulan menjadi sangat terbuka dan komunikasi makin menembus ke segala arah. Itulah paling tidak yang dialami oleh komunitas seperti Tengger di lereng Bromo. Orang-orang Tengger awal, yang hijrah dari pusat kekuasaan Majapahit ini bisa dipastikan ingin hidup tetap menjadi dirinya sendiri. Karena desakan perubahan struktural dan kultural di era Brawijaya V tak memungkinkan mereka bertahan sebagai dirinya. Perubahan besar-besaran sehubungan kekalahan Majapahit oleh Demak di bawah pimpinan Raden Fatah itu memang tidak hanya menyangkut struktural kerajaan (menjadi pupus), tetapi juga derap Islamisasi oleh para wali yang berlangsung dramatis.
Banyak orang mengira, mungkin karena mengungsi dari Majapahit, orang Tengger sebagai penganut Hindu atau Budha (atau Hindu-Budha). Tetapi sampai kini pun ternyata, di sana, tak ada Pemangku, dan tak ada pula biksu sebagai pemimpin Hindu atau Budha. Yang ada di sana hanyalah dukun. Tetapi dukun Tengger dipastikan tak bisa memijit, menyuwuk, atau mengobati kesambet, menggendam perempuan, menyantet, dan semacamnya seperti keterampilan para dukun di luar Tengger. Ia hanya bisa dan terbiasa memimpin upacara ritual, membimbing umat, memberi nasihat, dan melindungi mereka dari gangguan manusia maupun alam. Dus, seorang dukun di Tengger tak berbeda dengan kiai, ……, biksu, romo, pastur, dan pemimpin agama lain.
Tetapi, agama Tengger tak termaktub dalam “kamus” politik Indonesia. Maka Tengger pun lalu menjadi lahan menarik bagi kaum agama resmi untuk diperebutkan, agar mereka masuk ke dalam “kamus” politik Indonesia; bisa bikin KTP, paspor, dicatat statistik, dan tidak masuk daftar “atheis”, hantu yang paling menakutkan di Indonesia hingga sekarang.
Dan kenyataannya, sejak tahun 1968, orang-orang Tengger memang harus menghadapi gesekan agama resmi secara bertubi-tubi. Mula-mula Budha yang bukan saja berhasil mendirikan OABT dan melantik sejumlah dukun menjadi biksu, tetapi juga memasukkan orang-orang Tengger menjadi penganut Budha Mahayana melalui SK No. 00/PHB Jatim/Kept/III/73. Hindu pun tak mau ketinggalan. Melalui seorang tokoh Hindu Surabaya, sejak tahun 1969, sejumlah orang Tengger menjadi Hindu dan banyak dukun, sebagian telah dilantik menjadi biksu, dilantik menjadi Pamangku.
Bahkan Islam sebenarnya telah melenggang di Tengger jauh sebelum itu. Legenda Tengger tentang Ajisaka-Nabi Muhammad yang direkam sebelum abad 20 ini menunjukkan Islam masuk secara kultural sangat lama. Legenda yang beredar luas di kalangan orang Tengger dan bercerita bahwa Ajisaka, salah satu asal-usul orang Tengger, telah belajar agama kepada dan menjadi sahabat Nabi Muhammad ini sekaligus menjustifikasi Islam diterima oleh komunitas Tengger. Dan, mungkin, justifikasi ini pula yang mengilhami Robert W. Hefner untuk membangun tesis: sejawa-jawanya orang Tengger tetap Islam. Sebuah tesis yang berlawanan dengan yang digulirkan Geertz bahwa se-Islam-Islamnya orang Jawa tetap Jawa.
Sungguhkah orang Tengger telah menjadi Budha, Hindu, atau Muslim? Rupannya mereka tetap bernyanyi, melantunkan ke-Tenggeran, meski suara mereka makin lirih. Ayu Sutarto menyaksikan mereka tetap memegang teguh ajaran dan adat Tengger, meski dihimpit masjid, pura, dan wihara. Data Statistik yang memperlihatkan urutan terbanyak: Islam, Hindu, Budha, Katolik, dan Protestan hanya mungkin dapat ditelusur dari membanjirnya para migran terutama Madura, di samping dominasi penduduk ngare atas wong gunung.
Haruskah mereka dikamuskan? Benarkah “kamus” itu satu-satunya jalan selamat? Jawabnya hanya kearifan, bukan apa yang kita konstruksi sebagai kebenaran. Kamus adalah urusan kita, disini, di dunia fana. Sementara keselamatan seratus persen urusan Tuhan. Bukankah selamat atau celaka sepenuhnya tergantung pada-Nya. Apakah kita masih akan mengoper-alih otoritas Tuhan? Silakan.
Benar-benar sulit menjadi diri sendiri.
Desantara / Bisri Effendy