Pandangan “Orang Asli” Depok tentang Perubahan Sosial di Depok

Muhammad Zuhri

Siang itu terik benar. Dengan kaos dalam yang warnanya mulai kecoklatan, Buang Jayadi, duduk-duduk santai di teras rumah di kampung Beji, Depok.Usianya hampir memasuki 60 tahun, kantung matanya hitam menggantung, dan suara yang keluar dari rongga mulut terasa berat dan capai. Saya duduk tepat di kursi sebelahnya, sesekali bertanya dan mendengarkan ia bercerita.Sejak lahir ia telah hidup di tanah ini. Kakek, bapak, dan saudara-saudaranya lahir, tinggal, dan mati di tanah ini. Tanah yang ia tempati saat ini merupakan tanah yang diwariskan secara turun temurun oleh keluarga. Di depan dan samping rumahnya masih berdiri rumah saudaranya yang telah tiada dan kini ditempati oleh anak-anaknya. Tanah yang dulunya merupakan kebun pepaya sekarang sudah habis dibagi, ada yang di jual untuk biaya sekolah anak, dan sebagian besar dipakai untuk tempat tinggal.

Kelima anaknya kini tak bisa lagi ditampung di rumahnya. Tiga yang sudah menikah memilih mengontrak rumah di tempat lain, sedangkan dua lagi masih tinggal bersamanya. Buang Jayadi tak bisa lagi membagi tanah dengan anak-anaknya, ia hanya berpesan, kelak sepeninggalnya janganlah tanah ini di jual. Sebab, ia ingin kelak cucu-cunya masih bisa mengenangnya dengan bersinggah di tanah miliknya sendiri.

“Menurut saya, orang asli Depok itu ya orang yang lahir dan telah tinggal lama di Depok. Dulu, kakek, ayah, dan saudara-saudaranya tinggal di sini semua. Mereka membangun rumah berdampingan. Tradisi itu terjaga sampai sekarang, meskipun sekarang tidak semua keluarga berkumpul di sini.”1

Gambar Rahman Seblat

Orang Betawi Depok membangun rumah berdampingan dengan saudara-saudara kandungnya. Mereka secara turun-temurun menempati tanah warisan dari nenek moyangnya. Tidak diketahui betul bagaimana cara nenek moyang mereka mendapatkan tanah, namun mereka mengira dulu tanah di Depok ini awalnya adalah hutan belantara, nenek moyang mereka datang dan menebang pohon untuk lahan pertanian dan rumah hunian. Tanah yang didapat diolah dan dikembangkan hingga sekarang. Mereka membangun rumah dan berkebun buah-buhan, seperti rambutan, pepaya, dan belimbing. Meski pada akhirnya kebun buah harus tersingkir bangunan rumah yang semakin banyak dan rapat. Anaknya perlu tempat tinggal, dibangun lah rumah di sebelah rumahnya, saudara lelakinya juga demikian, membangun rumah untuk anaknya. Kini, tidak ada tanah yang tersisisa untuk bisa di tempati, sebagian anak Buang Jayadi memilih mencari rumah di tempat lain.

Rumah yang saling berdekatan dalam sebuah keluarga menjadi ciri khusus masyarakat Betawi Depok. Mereka membangun rumah secara berkelompok sesuai dengan keturunan keluarga. Ini dikarenakan tanah yang mereka warisi hanyalah tanah tersebut, tidak ada lagi di tempat lain. Pertumbuhan sanak saudara yang semakin banyak, sedangkan tanah warisan yang tidak bisa lagi bertambah, menyebabkan beberapa anak Betawi Depok, baik lajang maupun yang berkeluarga masih tinggal satu atap bersama dengan orang tuanya. Kadang, butuh waktu beberapa tahun bagi yang sudah berkeluarga untuk bisa membeli tanah sendiri dan membangun rumah.

Adung misalnya, ia dan anak serta cucunya masih tinggal dalam satu atap. Seorang anaknya yang sudah berkeluarga ia beri tanah dan bangunkan rumah dengan tembok menempel rumahnya. Ia mengaku tak punya tanah untuk dibagikan kepada anak-anaknya. Tanah yang ia miliki hanyalah tanah di mana rumahnya berdiri. “Di kampung-kampung, khususnya Depok, itu hampir merata orang pribumi cuma punya tanah lima meter,” akunya2.

Menurut Adung, Depok pada awalnya hanyalah kampung kecil, selebihnya adalah hutan. Desa di sekitarnya seperti, kampung beji, Cikumpak, Cipayung, Pasung Serab, dan Pancoran Mas sudah banyak dihuni oleh penduduk, salah satunya adalah nenek moyangnya. Keberadaan perkampungan tersebut awalnya tidak berada pada wilayah Depok. Namun, semenjak perubahan administrasi kecamatan Depok menjadi Kota Depok, kampung di sekitarnya kemudian masuk dalam peta administrasi Kota Depok.

Sejak dulu orang Depok memanglah orang Betawi, Betawi pinggiran. Disebut pinggiran karena letak geografisnya ada di pinggiran Jakarta, di mana Betawi tengah tinggal. Untuk yang lain, seperti tradisi, keyakinan, dan agama, hampir sepenuhnya sama. Ada perbedaan, mungkin hanya sebatas bahasa sehari-hari. Seperti, untuk menyebut aku, orang Betawi Depok memakai “Gua”, sedangkan Betawi Kota memakai “Gue”. Ciri lain Betawi Depok terdapat pada penggunaan kata “kagak”, pada kaliamat; kagak ada, kagak tau. Selain itu, dalam setiap perkataan sering mucul bunyi “ya”. Semisal, “La iya ya”, “La emang ya”.

Dalam penyebutan nama urutan keluarga, Betawi Depok juga memilki ciri khusus, meski ini tidak terlalu banyak. Sebab, kebanyakan dari orang Betawi Depok lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam pemilihan kata panggilan. “Ngkong” untuk kakek, “uwak” untuk nenek, ayah ada yang menggunakan bapak, ada pula yang memakai “baba”, ibu biasa di panggil dengan “emak”. Untuk panggilan kesayangan mereka memanggilnya dengan “entong”. Mereka memakai istilah tersebut secara turun temurun.

Jadi, identitas Betawi Depok telah ada sejak dulu. Mereka hanya memahami bahwa sejak lahir dan beranak pinak hingga sekarang, mereka tinggal di Depok. Jika kemudian ada yang menyebut mereka adalah orang Betawi Pinggiran, itu hanyalah persoalan teritorial saja. Bahwa yang disebut Betawi Tengah adalah orang Betawi yang tinggal di Jakarta, dan Betawi pinggiran tinggal di luar pusat Jakarta, termasuk Depok. Warga Betawi Depok tidak beranggapan bahwa identitas ke-Betawi-an sangat cair, ini ditandai dengan semakin banyaknya pendatang yang menikah dengan orang asli Betawi yang kemudian mengaku Betawi, atau pendatang yang telah lama bermukim di lingkungan Betawi dan dijidatnya tertulis “gua betawi”.

Kehidupan Betawi Depok Dulu dan Sekarang

Nenek dan kakek moyang orang Betawi Depok sudah menempati wilayah Depok sejak lama, bahkan sebelum Belanda-Depok datang. Mereka menetap di kampung Beji, Cikumpak, Cipayung, Parung Serab, dan Pancoran Mas. Kemudian orang Belanda datang dan daerah tersebut dinamakan Depok.3

Pada masa penjajahan Belanda, kehidupan orang Betawi Depok sangat memprihatinkan. Mereka bekerja pada tuan tanah dan tidak pernah mengenyam pendidikan. Pada abad ke-17, sebelum kedatangan Cornelis Chastelein, mantan pejabat VOC, banyak masyarakat Betawi Depok yang menjadi buruh tani pada tuan tanah Cina di daerah yang sekarang menjadi Pondok Cina. Mereka bekerja dengan bayaran murah.

Ketika Cornelis Chastelein membeli tanah seluas ±1200ha di kawasan yang sekarang menjadi Depok Lama, masyarakat Betawi Depok mulai bekerja juga padanya. Luas tanah yang dimiliki oleh Chastelein kemudian dikelola oleh budak-budak ahli pertanian yang ia datangkan dari Bali, Ambon, Bugis, dan lain-lain. Budak-budak itu kemudian dibebaskan sepeninggal Chastelein, dan mereka mendapat warisan dan diharuskan menjaga tanah warisan tersebut. Lalu, orang Betawi Depok bekerja sebagai buruh pada orang sebangsa sendiri yang kaya, orang Belanda Depok.

Posisi Chastelein dalam ruang sejarah Depok tak dibantah oleh warga Betawi Depok, terutama Buang, Adung, Zainal, Supandi, dan Ratna, selaku orang-orang yang penulis temui. Menurut mereka, istilah Belanda Depok baru muncul setelah revolusi kemerdekaan, sebagai bahan olok-olokan indo yang gaya hidupnya ke Belanda-belanda-an. Buang mengisahkan bahwa gaya hidup orang Belanda Depok sangat berbeda dengan orang Betawi dan secara ekonomi berlebihan. Mereka menguasai lahan pertanian luas yang diwarisi dari Chastelein dan menimbun banyak sekali bahan pangan.

Tingkat kesenjangan saat itu sangat mencolok. Komunitas Belanda Depok dengan gaya hidup kebarat-baratan hidup serba berkecukupan dan terdidik. Anak-anak mereka setiap pagi ke sekolah, yang mereka bangun di dalam komunitas. Minggu pagi di isi dengan pergi ke gereja, dan setiap akhir tahun mengadakan pesta meriah. Yang jelas, gaya hidup dan cara berpakaian mereka sangat berbeda dengan warga Betawi Depok di sekitarnya.

Karena kesenjangan kehidupan dan perbedaan gaya hidup antara Belanda Depok dan Betawi Depok, maka orang Betawi Depok tidak menyukai mereka. Maka ketika pecahnya revolusi kemerdekaan, perkampungan Belanda Depok dibakar dan barang-barang berhaganya dijarah. Peristiwa ini disebut dengan Gedoran Depok. Orang Belanda Depok melarikan diri dan mengungsi ke luar Depok. Mereka baru kembali setelah suasana tenang, kurang lebih lima tahun kemudian. Sekembalinya ke Depok, tanah persawahan dan perkebunan yang luas milik Belanda Depok diberikan kepada pemerintah republik, kecuali tanah yang berada di dalam permukiman komunitas Belanda Depok.

Salah satu pemuda Betawi Depok saat itu, Adung Sakan, bertutur bahwa Gedoran Depok merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajah. Ia pada waktu itu ikut menggedor rumah-rumah mewah khas Eropa milik komunitas Chastelein. Mereka menjarah harta benda dan membakar rumah. Kondisi saat itu bisa dikata chaos. Komunitas Chastelein menolak mengibarkan bendera merah putih dan turut serta merayakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, secara ekonomi, pada saat itu kehidupan mereka sangat bercukupan. Persediaan pangan menumpuk di lumbung-lumbung padi. Inilah yang menjadi salah satu alasan pecahnya Gedoran Depok.

Supandi menambahkan bahwa kebanyakan warga masyarakat yang terlibat dalam Gedoran Depok adalah buruh tani dan perkebunan milik Belanda Depok. Mereka seperti tersulut api amarah ketika gedoran, dengan menjarah bahan pangan dan membakar rumah, bahkan ada pula yang memperkosa noni Belanda di sekitar sungai Ciliwung. Amarah yang memuncak warga Betawi Depok yang paling utama adalah faktor kesenjangan ekonomi. Ketika kesenjangan ekonomi yang semakin lebar ini bertemu dengan momentum revolusi kemerdekaan, pecahlah peristiwa Gedoran Depok.

Pasca kemerdekaan lantas tak mengubah kehidupan Betawi Depok secara serta-merta. Jika dulu mereka bekerja pada tuan tanah Cina dan Belanda Depok. Pasca kemerdekaan, mereka masih bekerja sebagai buruh di tanah-tanah milik pemerintah. Tanah pemerintah ini kebanyakan merupakan tanah yang diambil dari orang Belanda Depok.

Saat masa awal kemerdekaan, sekitar tahun 1950-an, Buang Jayadi sempat merasakan sekolah, yakni sekolah rakyat (SR). Saat itu bisa bersekolah rasanya seperti mendapatkan uang setumpuk, berbunga-bunga. Pendidikan memang sangat sulit dan mahal. Jika ingin bersekolah dengan fasilitas yang bagus haruslah dengan biaya yang besar. Di Depok juga terdapat sekolah bergengsi, tapi sekolah tersebut hanya khusus bagi komunitas orang Kristen Belanda Depok. Pada tahun-tahun tersebut orang Kristen Belanda Depok telah membangun kembali perkampungannya. Mereka menata kembali rumah dan memulai hidup baru berdampingan dengan Betawi Depok.

Perubahan mulai terasa ketika memasuki jaman pemerintahan Presiden Soeharto. Menurut Adung Sakan, pola pertanian yang dicanangkan oleh Soeharto telah merusak siklus pertanian tradisional. Pertanian mulai mengenal pupuk kimia dan meninggalkan pupuk kandang. Sawah sudah tak lagi di bajak oleh sapi dan kerbau, tapi oleh traktor. Petani mulai tergantung dengan bibit dan pupuk dari pemerintah. Ketergantungan tersebut menyebabkan petani kehilangan kedaulatannya dalam urusan pangan. Jika sebelumnya selain bertani mereka juga memiliki sapi, kerbau, dan bebek, semenjak pupuk kimia dan traktor masuk semua hilang.

“Warga di sini dulu adalah petani. Sebelum Perumahan Nasional (PERUMNAS) dibangun, semua orang menjadi petani. Dari mulai tahun ‘65 – sampai saat Soeharto menjadi presiden, Baba berani mengatakan Pak Harto merugikan masyarakat. Memang benar hasil pertanian ditingkatkan, kalau dulu sebelum ada pupuk 1 hektar bisa dapat 50 ton, setelah ada pupuk 1 hektar bisa dapat 80 ton, itu bisa saya terima. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya, petani malah rugi, punya hutang. Karena dasarnya, yang dulu ia makan ikan diambil dari sawah, makan telur ngambil milik sendiri, makan daging hasil menyembelih sapi atau kerbau sendiri. Setelah adanya traktor, habis semua sapi dan kerbau. Setelah pupuk kimia meracuni sawah, habis semua ikannya. Padahal dulu, traktor itu sewanya ke siapa, bibit pun beli ke siapa. Apa tidak rugi kalau begini petani. Petani sudah girang dibawakan TV ke sawah, petani dikadalin. Dulu petani padahal tidak pernah punya hutang. Sekarang mana yang disebut peningkatan pertanian, beras aja kita beli dari luar4.

Ketergantungan petani dengan pemerintah telah merusak kemandirian petani. Memang benar pemakaian pupuk kimia bisa meningkatkan hasil produksi petani, tapi pola pembeliaan yang pada saat itu menggunakan sistem hutang dan bayar setelah panen, menyebabkan petani tersandera oleh kebijakan pemerintah. Yang kemudian banyak petani yang malah merugi karena biaya produksi tak bisa tertutupi dengan hasil yang diperoleh setelah panen. Meskipun hasil pertanian meningkat, biaya produksi ternyata juga lebih besar, karena semua harus beli, mulai dari bibit, pupuk, dan sewa traktor. Pemerintah saat itu menghibur warga dengan membawakan televisi di gubuk tempat mereka beristirahat untuk makan siang.

Selain jeratan hutang dan ketergantungan produksi. Pemerintah juga secara pelan-pelan memusnahkan potensi produksi petani lainnya, seperti daging dan susu sapi/kerbau yang mereka peroleh jika mengolah tanah dengan membajak. Memanen ikan dan belut yang hidup di area persawahan, dan ternak unggas petelur. Potensi produksi ini sebelum munculnya pupuk kimia dan traktor banyak membantu petani dalam mencukupi kebutuhuan pangan sehari-hari. Kehadiran traktor mengakibatkan kerbau dan sapi tersingkir. Penggunaan bahan kimia menyebabkan ikan dan belut semakin jarang dan cenderung hilang dari sawah. Dan ternak unggas juga mulai ditinggalkan karena masa tanam sawah yang berdekatan. Seperti kita ketahui, unggas banyak di ternak di area persawahan usai masa panen. Dengan sistem pupuk kimia, masa tanam berlangsung sangat cepat dan tanpa jeda. Sehingga menyebabkan unggas tidak punya lahan berkembang biak.

Kerugian petani mulai saat itu berlipat ganda. Selain rugi karena menanggung hutang akibat sistem pembelian pupuk dan bibit. Petani juga merugi karena kehilangan sumber pendapatan lain di luar sektor pertanian, yakni ternak. Kerugian ganda ini lah yang kemudian menimbulkan efek domino hingga sekarang.

Lalu, memasuki tahun 1970-an, pemerintah membangun percontohan perumahan nasional (Perumnas) pertamanya di Depok, di kawasan kelurahan Beji. 25 tahun kemudian, tepatnya mulai tahun 2000-an, hampir semua tanah di kawasan kota Depok beralih fungsi menjadi perumahan dan pusat perbelanjaan. Perubahan Depok yang awalnya sebuah kecamatan dari kabupaten Bogor menjadi kota madya sendiri, menjadi salah satu pemicu alih fungsi lahan ini. Mak tak heran jika tanah pertanian habis, dan nasib petani tak menentu.

Petani yang kebanyakan sekolah rendahan dengan ketrampilan sangat spesifik di bidang pertanian saja kemudian tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah menjual tanahnya kepada pengembang dan memilih kerja sebagai buruh serampangan. Tanah dijual untuk meyekolahkan anak, membangun rumah, dan sebagai modal usaha. Ada yang usaha warung makan, warung klontongan, berjualan buah-buhan, dan menjadi sopir angkot.

Meski begitu, lebih banyak lagi dari mereka yang menganggur dan menunggu panggilan kerja sebagai buruh bangunan, yang kadang tak kunjung datang. Pemerintah daerah seperti menutup mata dengan kenyataan bahwa masyarakat lokal Betawi Depok masih banyak yang mengalami kesulitan dengan perubahan alih fungsi tanah di depok. Keahlian bertani sudah tak lagi di butuhkan karena lahan pertanian sudah habis. Sedangkan mereka tak pernah dibekali keahlian lain untuk turut bersaing di sektor pekerjaan lain.

Di bidang pendidikan memang terjadi perubahan. Anak-anak orang Betawi Depok sudah banyak yang mengenyam pendidikan tinggi, minimal setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Meski harus menjual sebagian tanah warisan keluarga, mereka rela melakukannya. Karena hidup telah berubah, dan ijazah menjadi sangat penting untuk bisa bersaing mendapatkan pekerjaan. Banyak dari orang tua Betawi Depok yang dulunya tidak bisa bersekolah sangat ingin anaknya sekolah setinggi-tingginya. Mereka tak ingin anaknya bernasib sama seperti mereka, kesulitan mencari kerja. Tanah rela digadaikan, asal anak sampai pada tujuan.

Untuk kehidupan keagamaan, ada tradisi yang terus berlanjut, misalnya pengajian Yasin dan tahlil. Setiap minggu warga Betawi Depok biasanya menyelenggarakan pengajian Yasin dan tahlil untuk mendoakan leluhur. Tradisi ini sudah ada sejak lama. Dulu, menurut Buang Jayadi, selain membaca yasin dan tahlil, warga juga membakar menyan atau dupa. Ini dimaksudkan untuk mengundang dewa dan leluhur. Tradisi ini mulai hilang sekitar tahun 90-an. Karena warga yang tinggal dan ikut pengajian banyak yang datang dari luar Betawi Depok, mereka menganggap tradisi membakar dupa bukanlah tradisi Islam. Buang sebenarnya masih ingin tetap mempertahankan tradisi tersebut, tapi karena menghormati orang lain, kini ia hanya membakar menyan di rumahnya saja. Itu pun secara tertutup, ia melakukannya di dalam kamar sesaat sebelum pengajian yasin dan tahlil dimulai.

“Acara pengajian rutin setiap minggu. Kalo majlis taklim biasanya membahas fiqih, dan dalam sebulan sekali mengundang ustadz dari luar. Selain warga lokal juga warga pendatang ikut serta. Miftahul Salam adalah nama perkumpulan pengajian bagi pemuda. Pengajian ini berfungsi sebagai sarana informasi, dan selain itu kami khawatir dengan jaman sekarang ini, banyak anak muda yang suka nongkrong-nongkrong. Sekarang kami bisa mengontrol perilaku pemuda warga kami. Selain juga mengajari pemuda syariat agama dan mencegah kenakalan remaja”5.

Pengajian yasin dan tahlil bagi Zainal Abidin hanyalah bagian dari rutinitas warga di kampungnya. Sejak kecil ia sudah sering ikut bapaknya menghadiri pengajian, memang saat itu ia belum bisa mengaji. Justru dengan itu ia bisa puas bermain-main dengan anak sebayanya. Dan bila waktu makan tiba, ia dan kawan-kawannya pun ikut antri mengambil bagian. Ingatan itu ia bawa hingga kini. Perubahan jaman dan semakin maraknya tawuran antar pemuda di kota, membuat Zainal dan sesama bapak yang lain menggagas pengajian untuk pemuda. Ia menilai jaman sudah tidak seperti saat ia masih kecil. Anak-anak muda sekarang lebih suka berkumpul dengan teman sebayanya dan nongkrong-nongkrong. Pasti akan sulit mengajak mereka untuk ikut pengajian dengan orang-orang tua. Akhirnya ia menemukan solusi dengan membuatkan pengajian khusus bagi pemuda dengan tema yang menarik bagi usia mereka. Pengajian pemuda di adakan setiap malam rabu. Tempatnya berpindah-pindah. Pengajian diisi dengan yasin-tahlil, istighosah, dan setiap sebulan sekali mengundang ustadz dari luar kampung untuk mengisi ceramah.

Pengajian kini menjadi media kontrol bagi generasi muda Betawi Depok. Penguatan basis keagamaan memang menjadi ciri khas dalam mendidik anak pada keluarga Betawi Depok. Seorang anak haruslah bisa mengaji dan paham agama. Ini dikarenakan mereka berkeyakinan bahwa hanya agama lah yang bisa membawa kebaikan dan menuntun mereka kepada kebahagiaan hidup.

Setiap pengajian yang diselenggarakan oleh warga selalu melibatkan seluruh warga, baik warga Betawi Depok maupun pendatang. Warga pendatang bahkan sekarang ada yang menjadi ketua RT 3. Dengan menjadi ketua RT, tanggungjawab koordinasi pengajian ada di pundaknya. Pendatang sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat. Ini dikarenakan, banyak dari pendatang yang sekolahnya tinggi, selain itu juga mereka kebanyakan kerja di Jakarta. Kedudukan dan kemampuan warga pendatang tersebut diharapkan oleh warga Betawi Depok dapat memberi nilai lebih pada penduduk asli.

Posisi pendatang yang cenderung lebih dominan tampak juga dalam bidang pemerintahan. Wali Kota Depok saat ini bukanlah orang asli Depok. Hal ini disadari betul oleh Buang Jayadi. Ketika kekuasaan dipegang oleh bukan orang asli Depok, banyak kebijakan yang tidak pro kepada warga Betawi Depok. Misalnya kesenian Gong Sibolong yang merupakan kesenian asli Depok yang dikelola Buang Jayadi, tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah Depok. Sampai saat ini ia mendanai sendiri kelangsungan Gong Sibolong dari bayaran setiap kali manggung, itu pun tidak setiap bulan ada yang memakai. Kesenian musik ini terdiri dari gong, gamelan, slendro, dan lain-lain. Alat – alat musik tersebut kini telah usang dan berkarat di makan usia. Pernah suatu kali ia mengajukan proposal ke pemerintah kota Depok untuk biaya perawatan dan latihan, tapi hingga kini tak pernah ada kejelasan. Ia menyadari betul bahwa sudah semakin sulit mengumpulkan dana hanya dari manggung. Meskipun ada yang meminta Gong Sibolong tampil, bayarannya sering habis untuk biaya akomodasi dan gaji pemain.

Imajinasi tentang Masa Depan

Jaman telah berubah, tanpa sekolah masa depan akan suram. Begitulah Buang Jayadi mengandaikan. Ia menilai bahwa sekolah merupakan bekal masa depan anak-anaknya. Tidak seperti ia dulu yang hanya lulusan SR. Ia menginginkan anaknya sekolah setinggi yang bisa dicapai, persoalan biaya ia tidak peduli, asal masa depan anaknya menjadi lebih baik. Masa depan seperti kebanyakan masyarakat perkotaan, bekerja di kantor, memiliki gaji tetap, dan bahagia dengan keluarganya. Istrinya, Ibu Ratna, mengaku bangga dengan apa yang telah dicapai oleh anak-anaknya saat ini. Meski tanah yang tertinggal hanya seluas ukuran rumah yang sekarang ia tinggali, karena habis untuk biaya sekolah, ia mengaku puas dan lega.

“Saya sekarang sudah bahagia. Melihat anak sudah bekerja semua, sudah bisa membantu orang tua. Hidup mandiri”6

Kemandirian dalam pemahaman Ibu Ratna adalah memiliki penghasilan sendiri dan bisa membantu orang tua dalam hal mencukupi kebutuhan ekonomi. Pekerjaan sebagai buruh kantoran yang harus berangkat subuh dan pulang malam tidak menjadi permasalahan bagi keluarga, ini lah yang kemudian disebut sebagai kerja keras, kerja yang tak kenal waktu. Ibu Ratna dan suami sudah merasa telah berhasil mengantarkan anaknya ke tempat yang sesuai, ini berkaca dari diri mereka sendiri, bahwa dulu mencari uang dengan jumlah banyak sangat sulit dan mengharuskan mereka berjalan berkilo-kilo meter. Kepayahan tersebut tidak akan dijumpai pada sang anak yang kini menggunakan pakaian rapi, berangkat pagi, kerja di kantor dengan mesin pendingin, gaji per- bulan yang sudah sangat jauh di atas pendapatan orang tuanya dulu. Ini membanggakan dan membahagiakan.

Demikian halnya dengan Zainal, bapak dengan dua anak laki-laki. Anak pertamanya yang lulusan SMK kini bekerja di kantor Bursa Efek Indonesia (BEI) di bagian perawatan gedung. Awalnya, Zainal mengingkan anak pertamanya untuk kuliah. Harapannya, ijazah kuliah bisa membuat anaknya memperoleh pekerjaan yang lebih baik dari yang didapatkan saat ini. Tapi, sang anak menolak, ia memilih bekerja saja, malas untuk sekolah lagi. Zainal menyerahkan semua keputusan kepada anak-anaknya. Kini, ia menggantungkan harapan pada anak keduanya, yang masih kelas 2 SMK. Zainal sangat berharap anaknya tersebut mau kuliah, lebih-lebih bisa masuk di Universitas Indonesia (UI). Menurutnya UI selain kampus bagus juga memiliki gengsi tersendiri di mata masyarakat.

Dengan penghasilan pas-pasan sebagai buruh outsourcing di Perusahaan Listrik Negara (PLN), Zainal mengaku tak gelisah soal biaya sekolah anak-anaknya. Ia tidak memiliki tanah untuk dijual, semua tanah warisan keluarganya sudah habis dibagi dengan saudara dan didirikan rumah. Zainal hanya mengandalkan gaji dari PLN dan beberapa kerja sambilan yang enggan ia sebutkan jenisnya. Tekadnya sudah sangat bulat untuk rencana pendidikan anak keduanya, ia sangat berharap di keluarganya yang hanya empat orang, salah satu diantaranya pernah kuliah dan bekerja di tempat yang baik dan berpenghasilan tinggi.

Supri, pemuda Betawi Depok bercerita bahwa hampir semua teman laki-laki seumurannya saat ini banyak bekerja sebagai satpam perkantoran, office boy (OB), dan karyawan Carrefour atau Indomaret/Alfamart. Ia sendiri mengaku pernah setahun bekerja sebagai karyawan Carrefour, kemudian bosan dan memilih keluar. Saat ini, Supri lebih banyak membantu di kantor kelurahan di desanya. Meski dengan gaji tak menentu, ia tak mempermasalahkan hal itu. Baginya, pengabdian di awal akan membawa kesejahteraan di kemudian hari.

Supri lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan perkantoran. Dan hampir semua teman-teman Supri di desanya lulusan SMK. Mereka bersekolah hampir dengan alasan yang sama, peluang kerja. Tanpa ijazah SMK, mereka akan sulit mencari kerja, meski akhirnya pekerjaan yang di dapat hanyalan menjadi buruh di perkantoran dan pusat perbelanjaan. Tidak ada pilihan lain, ayah Supri pun juga bekerja sebagai buruh pabrik di Tangerang, sedangkan ibunya sesekali membantu kakeknya memetik buah di kebun. Pernah suatu kali, Supri di tawari salah satu temannya menjadi sekuriti di kampus Universitas Indonesia (UI) Depok. Ia bilang pikir-pikir. Saat ini, ia memang masih ingin berkonsentrasi bekerja di kantor kelurahan. Ia sadar betul, jika bekerja di kantor kelurahan akan mempunyai pengaruh di masyarakat. Tidak seperti teman-teman lainnya yang hanya memikirkan gaji, Supri berpikir jauh ke depan, tentang menjadi PNS, tentang menjadi kepala desa, dan juga tentang pembangunan di desanya.

Bagi Supri, kedekatan dengan perangkat desa dan jaringan di sekitarnya akan banyak membantunya berkembang dan melompat lebih jauh. Keinginan untuk diangkat menjadi PNS tidak ia pungkiri. Masyarakat akan memandang berbeda jika seseorang berlabel PNS, selain tentu mendapatkan gaji tetap. Tekad kuat Supri terpancar dari kedua matanya saat kami duduk ngobrol di teras rumahnya. Ia seringkali gelisah dengan apa yang sekarang ada di diri dan keluarganya. Ia menginginkan perubahan dan lompatan sosial. Dan menjadi pegawai kelurahan merupakan salah satu ikhtiarnya.

Perbaikan ekonomi menjadi salah satu poin terpenting dalam rukun kebahagiaan yang ingin dicapai di masa mendatang. Menyekolahkan anak setinggi-tingginya dan sekuat biaya menjadi agenda besar dalam keluarga Betawi Depok. Jika itu tidak dilakukan, mereka akan tertinggal dari warga pendatang yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi.

Penutup

Menjadi “asli” bukanlah jaminan untuk sebuah keunggulan. Unggul dalam penghasilan ekonomi, unggul dalam jaminan pekerjaan, maupun unggul dalam penentuan kebijakan. Ke-asli-an yang dirasakan oleh orang Betawi Depok sebagai penduduk kota Depok, sejak dulu hingga kini tak pernah mereka rasakan sebagai sebuah nilai tambah.

Sejak masa penjajahan mereka harus bekerja sebagai buruh tani dan perkebunan milik tuan tanah. pendidikan sangat sulit di dapat. Pendapatan keluarga tak pernah menentu. Dan hidup dalam bayang-bayang ketertindasan.
Tanah yang masih tersedia dan miliki keluarga dari tahun ke tahun menyusut habis di bagi-bagi dengan sanak saudara. Ada yang membangunnya untuk rumah tinggal. Ada pula yang memilih menjualnya untuk biaya sekolah anak dan modal usaha. Tanah persawahan mulai habis sejak dipilihnya Depok sebagai wilayah percontohan perumahan nasional dan perkembangannya kemudian.

Di tahun 2000an, warga betawi depok tak lagi bisa mengelak. Sawah habis untuk perumahan dan pertokoan, pekerjaan sulit, ongkos hidup mahal, dan masa depan harus segera dipersiapkan. Anak-anak disekolahkan setinggi mungkin dengan menyesuaikan dana dari hasil menjual tanah warisan.

Sekolah merupakan salah satu alternatif jika ingin memperoleh pekerjaan yang layak. Layak dalam artian memiliki gaji yang bisa mencukupi kebutuhan makan sehari-hari. Dengan ijazah, minimal SMA, pekerjaan seperti, karyawan mall, penjaga toko, satpam, buruh pabrik, office boy, dan sales akan lebih mudah didapat.
Tidak ada pilihan lain bagi generasi mendatang Betawi Depok. Jika ingin memperoleh pekerjaan dan melangsungkan hidup, kerja sebagai ‘buruh modern’ ini harus mereka jalani. Sebenarnya ini mengulang sejarah orang tua mereka yang bekerja sebagai buruh tani dan perkebunan pada tuan tanah, hanya beda pekerjaan saja.
Jadi, hiruk pikuk perkembangan kota Depok belum sepenuhnya membawa perubahan yang mendasar bagi penduduk “asli”, yakni Betawi Depok. Kondisi mereka masih belum beranjak banyak dari kakek dan nenek moyangnya dulu. Walaupun demikian, harapan perubahan masih ada. Setidaknya mulai dari anak-anak muda Betawi Depok sendiri. []


1. Wawancara Buang Jayadi; 16 November 2011
2. Wawancara Adung Sakan; 19 November 2011
3. Ibid
4. Wawancara Adung Sakan; 19 November 2011.
5. Wawancara Zainal Abidin: 30 november 2011
6. Wawancara Ibu Ratna: 29 November 2011

BAGIKAN: