Perawakannya agak kurus dengan postur lumayan tinggi. Nampak peluh masih belum kering membasahi sekujur tubuhnya.Meski wajah terlihat lelah, Pak Poyo, begitu orang memanggilnya, tersenyum lebar saat Desantara menghampirinya. Pria berumur 70 tahunan itu adalah seniman jaranan yang sehari-hari bekerja mengayuh becak dan mengangkut sampah malam harinya. Siang itu, dia memang baru saja mengantar penumpang yang menjadi langganannya demi upah untuk menyambung hidup keluarganya.
Hidup Pak Poyo barangkali menjadi salah satu potret nasib seniman jaranan di Kediri belakangan ini. Karena berkesenian hidup pas-pasan, ia harus banting tulang mencari kerja sampingan. Memang benar Dinas Pariwisata sering memanggil mereka untuk tampil di taman wisata Selomangleng. Tapi perhatian pemerintah terhadap kesenian dan seniman sendiri rupanya masih minim. Di samping upah yang mereka terima amat kecil, mereka rupanya hanya dijadikan sarana meramaikan tempat-tempat wisata saja.
Biar begitu, berkesenian bagi bapak beranak 5 dan 6 orang cucu ini adalah jalan hidup, dunia yang tidak bisa ditinggalkan. “Walau sampai tua nanti saya akan terus berkesenian,” tutur Pak Poyo yang memandang jaranan sebagai tuntunan yang harus dilestarikan. Jaranan, bagi dia, berarti pesan agar kita belajar dengan sungguh-sungguh, belajaro sing tenanan. Maksudnya dalam menjadi seniman harus punya tekad, tidak ragu dalam belajar.
Dengan filosofi ini, tak heran kalau hidup Pak Poyo boleh dibilang sepenuhnya demi eksistensi jaranan. Terbukti meski pahit getir menimpa hidup komunitasnya, ia tetap teguh bertahan dan mengembangkan kesenian yang pernah sangat populer di zaman Orde Lama itu.
Pak Poyo memang menjadi saksi sejarah terang dan redupnya nasib kesenian dan para seniman jaranan di Kota Tahu ini. Ia pun mengenang.
“Dulu sekitar tahun 63-64-an, jaranan sangat populer di Kediri. LKN, LEKRA, dan Lesbumi, semuanya memiliki kesenian jaranan. Waktu itu para seniman bisa hidup rukun, berdampingan satu sama lain. Ketiga ormas itu bersaing dalam menciptakan kesenian, dan mengembangkan kesenian sesuai dengan misinya masing-masing,” ujar Pak Poyo bercerita.
“Tapi sejak 1965 keadaannya sangat menyedihkan. Jaranan dianggap miliknya PKI. Semua seniman yang dianggap komunis dibunuh. Punden-punden seperti di Selomangleng dirusak. Sepertinya seniman pada waktu itu tidak ada yang hidup tenang. Kemanapun kami melangkah, selalu dihantui rasa takut dan was-was.”
“Dari 1965 sampai awal 1970-an kesenian jaranan lumpuh total. Kecuali jaranan yang ikut LKN atau Lesbumi. Itupun hanya beberapa jaranan saja,” katanya lagi.
Di tengah belum hilangnya rasa was-was ini, baru tahun 70-an Pak Poyo dan teman-temannya menghidupkan kembali jaranan. Dan sejak 1977 setelah berdirinya Samboyo Putro, jaranan mulai mendapat pengakuan pemerintah. Itu pun karena Samboyo Putro didirikan oleh mantan Polwil Kediri, setelah di sana sini dipaksa berubah dengan tampilan yang lebih sopan, kalem, sumeh dan guyup, tidak liar seperti sebelumnya.
Kini, setelah hampir empat dekade, zaman sudah berubah. Pak Poyo tidak lagi menghadapi tekanan militer dan tuduhan komunisme. Tapi ia harus bersaing dengan industri hiburan modern yang makin hingar bingar. Belum lagi, upaya pemda Kota Kediri belakangan ini untuk membangun simbol identitas diri dengan menciptakan pakem tunggal-seragam. Apakah semua itu masih menyisakan ruang hidup dan perbaikan nasib komunitas seniman jaranan seperti dia?
Barangkali Pak Poyo, sambil mengayuh becak kesayangannya, kini tengah berharap-harap cemas. Desantara / Edi Purwanto