Gendang dipukul bertalu-talu. Irama gendang tunrung pakanjara yang cepat itu mengiringi langkah tenang dan gemulai penari Pakarena ke panggung. Dengan tatapan mata tajam ke depan, gerakan tangan dan badan nampak teratur mengikuti arah empat mata angin. Tampaknya para penari ini tahu betul pakem tarian sehingga tak perlu penari lain menjadi patokan. Sesayup terdengar pula lantunan Bunganna Ilalang Kebo mengiringi, lagu Makassar yang lazim dan mudah dipelajari.
Itulah tari Pakarena yang sering kita tonton. Dari dulu sampai sekarang tarian ini menggoda perhatian banyak orang. Ia pernah tampil di Istana Negara saat 17-an tahun 1953 dan ikut dalam misi kesenian ke luar negeri. Sejak saat itu Pakarena mulai dikenal orang-orang luar, kerap dikontrak untuk mengisi panggung hiburan, baik resmi maupun acara komersial. Maklum, semenjak itu Pakarena dianggap sudah memenuhi unsur-unsur estetis, enak ditonton, tertib, memenuhi selera pasar dan cocok di hati para pejabat hingga layak dikonsumsi di acara-acara resmi macam 17-an.
Pada awal 50-an itu Pakarena kembali muncul dan dikembangkan dalam panggung pertunjukan. Di tangan tokoh-tokoh seniman seperti Nani Sapada, Fachruddin dg Romo, Mappaselleng dg Maggau dan Abd Madjid dg Siala, Pakarena disulap dari seni ritual menjadi tontonan di panggung hiburan. Seperti yang ditulis Nani Sapada dalam bukunya Nuansa Pelangi, perubahan tari Pakarena dimaksudkan untuk mengikuti ”perkembangan masyarakat” dan disesuaikan dengan standar ”estetika dan mutu seni”. Karenanya bila sewaktu-waktu kita menikmati Pakarena di hotel-hotel, di arena macam 17-an atau di acara-acara pariwisata sekarang ini, hampir bisa dipastikan mengikuti pakem hasil kreasi Nani Sapada cs ini. Di tangan merekalah tarian rakyat Gowa ini “naik kelas”.
Seni ritual yang banyak versi
Soalnya kalangan komunitas seniman kini banyak bertanya-tanya, Pakarena yang “naik kelas” itu ditujukan untuk memenuhi “perkembangan masyarakat” yang mana, serta selera dan kepentingan “estetika dan mutu” seninya siapa? Karena toh pada kenyataannya selera estetis orang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, politik dan budaya.
Seperti yang dituturkan Dg Mile yang seniman Pakarena dari kampung Kalase’rena. Katanya, Pakarena sebenarnya punya banyak versi tarian yang bernuansa adat dan ritual dengan versi tunrung dan Pakarenanya sendiri, tapi versi-versi ini diabaikan pemerintah karena tak bernilai hiburan atau tak berkenan di hati pejabat. Misalnya Anrong guru ini pernah kecewa karena pejabat pariwisata memintanya memainkan tunrung pabballe sumange’ pada acara kenegaraan. Padahal tunrung pabballe sumange’ hanya bisa dimainkan di acara-acara ritual seperti upacara adat, sunatan atau perkawinan. Itupun tidak berurusan dengan standar estetika seperti yang dituntut para seniman kota atau birokrat pariwisata.
Dalam acara ritual rutin semacam itu, Pakarena memang tidak terikat dengan keharusan estetis apapun. Gerak tari antara satu dengan yang lain kadang tak bersesuaian, kadang juga tidak seirama dengan tabuhan gendang. Demikian pula tatapan mata mereka mengarah ke lantai seolah tengah bermunajat dengan khusuk.
Mungkin tarian ini juga tidak butuh estetika. Atau lebih tepatnya memiliki imajinasi estetiknya sendiri bagi kehidupan komunitasnya. Sebab, Pakarena bagi mereka bukan sekadar objek estetis sebagaimana lazim dipahami, tapi sebagai ritual rakyat demi memuja Yang Kuasa sebagai ungkapan rasa syukur.
Kepentingan Estetika Wisata
Ternyata soal kriteria estetik yang berbeda-beda ini punya asal-usul. Seperti diakui Nani Sapada yang pernah kena tegur kepala negara, karena teknik Pakarena yang ditampilkan ”kurang af”. Segera kemudian perempuan ini bersama koleganya mengkreasi ulang agar bisa lebih ”af”. Demikian pula saat mengubahnya agar serasi, lebih harmonis, tertib dan lebih indah. Rupanya ini ditujukan untuk menandingi kesenian dengan tema-tema kerakyatan yang bernuansa konflik seperti paggalung dan pattennung yang banyak dibawakan para seniman Lekra zaman 50-60an.
Ketika zaman berubah, motif estetika ini juga terus bergeser. Di kabupaten Gowa, pihak Parawisata merasa perubahan tampilan Pakarena sudah kebutuhan. “Agar bisa lebih enak ditonton dan berselera pasar, dan selanjutnya bisa mendongkrak pendapatan daerah,” kata Dra. Hasnah Sambolege yang menjabat Wakil Kepala Dinas Parawisata. Caranya, pemda mendirikan sanggar-sanggar seni dan melakukan pembinaan rutin agar kreasi Pakarena lebih “marketabel”. Tak peduli apakah kreasi ini meninggalkan sisi nilai-nilai ritual atau mengabaikan maknanya bagi komunitas pemiliknya.
Kecenderungan komodifikasi budaya ini nampak memang menjadi agenda pemda Gowa akhir-akhir ini, meski sebenarnya itu bukan hal baru. Tapi sekarang lebih intesif saja ketika aspek budaya dan pariwisata diintegrasikan dalam satu departemen. Menurut Drs. Abd Karim yang bekerja di birokrasi pemerintah, awalnya mengaku sering menyarankan agar kebijakan pariwisata membedakan unsur kesenian yang bisa “dijual” dan yang tidak. Tapi sayangnya suara tokoh Tolotang ini tidak didengar oleh para pejabat kepariwisataan yang terlanjur basah menikmati rejeki nomplok dari proyek ini. “Ya, saya hanya pejabat tingkat bawah sehingga suara saya kadang tidak didengar,” ujar Karim dengan nada kecewa.
Jika pejabat pemda macam Karim saja tidak didengar nyaringnya, apatah lagi suara-suara lirih di luar, seperti Sirajuddin Bantam yang seniman Gowa ini. Sudah sering ia mengritik pemda karena mementingkan sisi pertunjukan saja sambil mengabaikan nilai-nilai yang dikandungnya. Bahkan pemilik sanggar tari Sirajuddin ini meragukan kalau niat pemda ini demi kepentingan kesenian dan para senimannya. Sebab, menurutnya pemda baru peduli ketika hendak bikin festival, seperti festival keraton atau saat menjelang pilkada. Itu semua hanya untuk membangun citra diri pemda saja, setelah acara para seniman tidak memperoleh apa-apa, katanya.
Visi Keagamaan Sulsel 2020
Selain kepentingan komersial dan pertimbangan pasar, perkembangan Pakarena akhir-akhir ini juga semakin menarik. Dalam sebuah seminar yang digelar Departemen Pariwisata, Dr. Ruslan SE memaparkan visi Sul-sel 2020 yang hendak”mewujudkan Sulawesi Selatan menjadi wilayah terkemuka di Sulsel melalui kemandirian lokal yang bernafaskan keagamaan”. Misinya untuk mendorong peningkatan pendidikan dan pengetahuan nilai agama dan budaya dalam kehidupan. Menurut Kepala Bappeda Sulawesi Selatan ini, dalam pembangunan di Sul-sel persoalan agama harus menjadi patokan.
Sudah bisa diduga mulai terdengar bisik-bisik di komunitas seniman, dengan regulasi ini nanti tokoh-tokoh agama akan bermain dalam menentukan corak Pakarena. Apalagi ditambahkan bahwa nafas kebudayaan dan kesenian di Sul-sel haruslah Islam. Bahkan kini ada pejabat yang ingin mengganti pakaian Pakarena seperti baju bodo yang tipis dengan yang tebal. ”Kalau memungkinkan para penarinya menggunakan penutup kepala semacam kerudung,” ujar Drs. Suriyadi Mapangara yang Kepala Balai Kajian Sejarah Sul-sel, dan dibenarkan koleganya Dra. Hasnah yang katanya atas desakan sejumlah organisasi Islam.
Apa yang dimaksud dengan kesenian yang bernafaskan Islam ini rupanya sudah nampak saat digelarnya Tourism Indonesia Mart & Expo (TIME/Pasar Wisata Indonesia) 2006 dengan tema “Art and Cultural Entertainment” di Hotel Clarion 18-21 September lalu. Dari tujuh daerah yang menampilkan seni tradisi yaitu Pinrang, Pangkep, Bantaeng, Barru, Enrekang, Pare-pare dan Palopo, semuanya hadir dengan nuansa Islam yang kental ketimbang nuansa tradisinya. Jilbab dan cipo-cipo (penutup kepala yang biasa dikenakan oleh haji-haji perempuan di Sul-sel) telah menggantikan pakaian tradisi.
Ketika Desantara menyapa salah seorang panitia dan sekadar menanyakan perkembangan baru ini, perempuan yang ternyata asal Palopo ini menggelengkan kepala sambil berucap: ”Ini aturan baru, kebijakan kesenian mengharuskan semuanya kelihatan Islami”. Nah lho, bukankah aturan ini telah mengingkari tradisi Pakarena yang sangat beragam? Desantara/ MHN Huda / Syamsurijal Adhan