Liburan musim dingin kali ini saya nikmati sambil bekerja. Kebetulan Hankuk University of Foreigh Studies (HUFS) Korea sedang membuka kelas khusus, Global Business Comunication. Kelas yang mengajarkan bahasa asing untuk karyawan perusahaan atau orang umum yang ingin mengisi liburan mereka dengan belajar bahasa asing. Dan saya diminta untuk mengajar Bahasa Indonesia di sana, dari tanggal desember 2008 sampai Februari 2009.
Saya menikmati pekerjaan sampingan itu dengan santai. Mengajar 3 jam sehari bukan sesuatu yang berat atau melelahkan. Apa lagi ini kerja budaya, mengajarkan orang untuk kenal bahasa dan budaya Indonesia. Menyadari hal itu, kadang kala saya merasa gagah dan menjadi bersemangat.
Ada empat orang karyawan dari PT. Samsung, perusahaan eletronik terbesar di Korea, yang belajar di kelas saya. Mereka mengenal Indonesia tetapi sama sekali tidak tahu bahasa Indonesia. Agak sedikit sulit mengajar mereka pada permulaan, tetapi semangat belajar mereka sangat tinggi. Hanya dalam waktu satu minggu kami sudah mulai bisa berdialog dalam bahasa Indonesia secara perlahan.
Kemaren saya mendapatkan wajah-wajah murung di kelas. Seperti biasa saya memulai pelajaran dengan bertanya, “Apa kabar Anda hari ini?”
Dan secara serentak mereka menjawab lambat, “Tidak baik…”
Seperti biasa juga, saya selalu memulai kelas dengan senyum, tapi kali itu saya terpaksa mengurungkan niat tersenyum. “Ada sesuatu yang buruk terjadi dengan Anda semua?”
“Ya. PT. Samsung mungkin tidak jadi memberangkatkan kami ke Indonesia. Perusahaan mengalami krisis ekonomi,” jawab salah seorang dari mereka.
Saya sebenarnya tidak harus kaget mendengar pernyataan seperti itu. Saya tahu krisis ekonomi global yang hebat sedang melanda Korea. Karena itu, sewaktu memulai kelas seminggu yang lalu saya bertanya tentang hal tersebut. Kenapa perusahaan mereka mengirim banyak orang untuk belajar ke luar negeri. Apakah mereka tidak mengalami kesulitan keuangan akibat krisis ekonomi?
Saya tahu ada sekitar seratus orang lebih karyawan PT. Samsung yang mengikuti kursus bahasa dalam program Global Business Comunication HUFS kali itu. Dan mereka akan dikirim untuk belajar keberbagai Negara yang menjadi daerah pasar produk PT. Samsung. Saya lihat daftar negara tersebut berdasarkan kelas-kelas yang dibuka yaitu: Kelas bahasa Indonesia, bahasa Malaysia,bahasa Vietnam,bahasa Bulgaria,bahasa bahasa Sudan,bahasa Arab,bahasa Iran,bahasa Itali,bahasa Spanyol,bahasa Ceko,bahasa Kroasia, bahasa Portugal,bahasa Phinlandia,bahasa Hungaria,bahasa Turki dan bahasa Rumania.
Tentu saja Samsung, memerlukan biaya besar untuk semuanya. Tetapi para pelajar di kelas sayatersebut menjawab dengan pasti,”Banyak perusahaan mengalami krisis di Korea. Tapi Samsung tidak.”
Tapi saya tidak yakin. Yang saya yakini adalah, jawaban mereka bukti sikap optimis orang Korea saja. Karena itu saya tidak begitu kaget ketika kemudian mendengar cerita mereka tentang krisis yang dialami Samsung.
Para murid bahasa saya itu terlihat sangat kecewa. Mereka kehilangan semangat belajar. Dan saya tentu saja tidak bisa memaksa mereka untuk terus belajar. Jadinya, hari itu kami hanya ngobrol-ngobrol saja.
Dari obrolan itu saya tahu betapa beratnya menjadi pekerja di Korea. Mereka bekerja keras dan harus. Kim yang bekerja sebagai manajer tingkat menengah harus menghabiskan waktunya selama 14 jam sehari di kantor. Untuk itu dia hanya mendapatkan gaji sekitar 3500 won per jam. Karena itu insinyur listrik tersebut mengaku tak pernah kaya. Bahkan, karena posisinya yang sudah baik,hari Sabtupun dia harus tetap masuk kantor dan tentu saja mendapatkan bonus tambahan untuk itu.
“Kapan anda berkumpul dengan keluarga?” Tanya saya. Bukankah keluarga sesuatu yang penting?
“Malam hari. Kadang kala saya hanya bisa melihat wajah anak yang sudah tertidur,’ ujar ayah dua orang anak tersebut.
“Negara Korea memang lebih kaya. Tetapi kami miskin. Kami harus bekerja dengan cepat dan hasil yang baik. Tetapi uang kami sedikit. Banyak hal terasa mahal,” tutur Alex, murid yang lain.
“Bagaimana dengan bos anda. Apa mereka bisa jauh lebih kaya?”
“Tentu. Mereka kaya sekali,” semua menjawab serentak.
“Kenapa Anda tidak menuntut kenaikan gaji dan sebagainya?”
Di Korea dan di PT Samsung kami tidak boleh demonstrasi.” Jawab mereka.
Waduh. Ini namanya bukan demokrasi, batin saya.
Karena beratnya tuntutan kerja, maka menurut mereka banyak orang Korea yang mengalami stress bahkan bunuh diri. Menurut saya, hal itu juga karena agama bukan sesuatu yang penting bagi mereka. Jadi mereka tak punya sandaran spiritual yang kuat. Erik tidak beragama. Sekitar lima puluh persen penduduk Korea memang memilih tidak beragama. Alex seorang cristianis tetapi katanya dia tak memahami agamanya dengan baik. Tepatnya tidak sempat.
Di halte atau stasiun saya selalu mendengar orang berkata; Pali-pali (cepat-cepat). Saya bertanya tentang hal ini,”Apa yang membuat Anda selalu harus bergegas?”
“Kalau tidak begitu kami akan tertinggal,” ujar mereka dengan nada hampir-hampir putus asa. Dan mereka tidak mau tertinggal. Tepatnya, system tidak memberi ruang untuk mereka tertinggal.
Tentu saja bagi saya yang punya slogan ; Slowly but sure, ini sungguh di luar akal sehat.
“Manusia bukan mesin,” kata saya.
“Ya kami bukan mesin. Tapi sudah menjadi seperti mesin.”
Lalu kami sama-sama terdiam. Di luar salju terlihat turun, semakin lama semakin semakin deras. Tepat jam 4.30 sore saya harus mengakhiri kelas hari itu.
Bus ke Gwangju akan datang dalam sepuluh menit. Saya harus berlari menuruni bukit menuju halte. Dan tiba-tiba saya mendapati diri sebagai bagian dari warga Korea, bergegas agar tidak ketinggalan. Kabati adalah kontributor Desantara, mengajar di Hankuk University of Foreigh Studies (HUFS) Korea Selatan