Komunitas adat Padang Mandar yang saat ini menempati dua desa, desa Ongko dan desa Suruan Kecamatan Campalagian Kabupaten Polmas Sulawesi Barat, mungkin salah satu komunitas adat yang struktur adatnya masih bertahan hingga kini. Sejak lahirnya UU Pembentukan Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1979, banyak komunitas adat yang harus melebur menjadi desa. Ini berimplikasi banyak terhadap keberadaan komunitas adat itu sendiri, antara lain wilayahnya yang terbagi-bagi ke dalam beberapa desa(?) seperti yang dialami oleh komunitas Karampuang di Sinjai. Atau tanah adat mereka tiba-tiba menjadi tanah negara. Atau struktur adat yang lenyap berganti dengan pemerintahan desa.
Tapi struktur adat masyarakat Padang Mandar masih tetap eksis walaupun peran-perannya tidak seefektif dulu. Seperti yang diakui oleh Suani Parolai, Tomabubeng Buttuaor, satu dari sekian pemuka adat mengatakan bahwa tugas-tugas yang diemban oleh struktur adat masih ada meskipun ala kadarnya.
Di Padang Mandar sendiri terdapat dua struktur adat. Pertama, pemangku adat. Kedua, Tomabubeng. Pemangku adat ini dipimpin oleh satu pemangku adat utama yang bergelar Papuangan. Papuangan ini memiliki beberapa pembantu seperti Annang Guru atau penasehat, Kali atau ahli agama, Paha atau humas, So’bo atau menteri pertanian, Joa atau keamanan, Sando atau bagian kesehatan sekaligus pemimpin spiritual, Doja atau petugas pajak, Kedde/Passippi Pappuangan atau ajudan Papuangan. Mereka inilah pelaksana harian adat Padang. Selain pemangku adat, struktur adat Padang mengenal apa yang disebut dengan Tomabubeng. Tomabubeng ini bertugas mengangkat Papuangan baru dan sekaligus melantiknya. Selain bertugas sebagaimana layaknya dewan eksekutif, Tomabubeng juga bertugas sebagai kepala wilayah atau kampung. Karena itu, tomabubeng ada empat sesuai dengan wilayah kekuasaan Padang, yaitu Tomabubeng Calo, Tomabubeng Buttuaor, Tomabubeng Lembang, dan Tomabubeng Panggalo.
Sampai saat ini, struktur adat Padang masih eksis walaupun perannya tidak seperti dulu. Papuangan, misalnya, kalau dulu dia layaknya seperti pemerintah saat ini. Tapi setelah terbentuknya pemerintahan desa, maka tugas itu diambil alih. Sedangkan tugas Papuangan saat ini lebih sebagai “mitra” pemerintah, kalau tidak mau dikatakan dibawah naungan dan kontrol pemerintah. Hal ini misalnya terbukti dengan segala macam aturan yang dibebnkan pemerintah setempat pada komunitas ini bila ingin melakukan satu perayaan adat.
Perubahan ini menurut Suani mulai terjadi pada zaman pemerintahan Belanda. Saat itu, semua struktur adat yang ada di Mandar mengalami kemorosotan. Tak terkecuali adat Padang. Meskipun demikian, struktur adat Padang tidak sampai terhapus. Ia tetap diberi peran meskipun apa adanya. Setelah merdeka, mulai ada keinginan untuk menghidupkan kembali struktur adat. Sayangnya, ia terbentur dengan struktur pemerintahan negara saat ini sehingga perannya pun hanya “mitra” pemerintah seperti yang dikatakan oleh Suani di atas.
Meskipun demikian, tetap ada wilayah kerja yang tegas antara struktur adat dengan pemerintahan desa. Bahkan ketika ditanya oleh tim Ada’ta tentang keberadaan pemerintahan saat ini seperti Bupati, Camat, Desa sampai Kepala Kampung, Suani menjawab tidak apa-apa. Selama tidak mencampuri kerja-kerja adat. “Pemangku adat sendiri harus memahami dirinya bahwa dia adalah mitra pemerintah. Karena itu dia harus membantu tugas-tugas pemerintah. Yang penting jangan tabrakan antara tugas-tugas adat dan tugas pemerintahan. Apalagi ada beberapa pemangku adat yang juga menjabat sebagai kepala kampung seperti Tomabubeng Buttuaor, dia juga sebagai kepala kampung Limboro,” tambah Suani.
Yang menarik kemudian karena semua problem masyarakat Padang atau konflik-konflik di tingkatan rakyat tidak pernah diselesaikan di pemerintahan desa. Semuanya ditangani dan didamaikan oleh pemangku adat. Misalnya dalam menangani kasus kriminal dan konflik tanah, pasti selesai di tingkat adat. Bahkan ada jenjang-jenjang dalam menangani sebuah kasus. Misalnya dikenal mallassui petaeng (pengakuan kesalahan). Ini adalah pengadilan yang paling tinggi di adat Padang. Orang yang bersalah membawa keris, uang, sarung di atas baki (pamenangan) yang terbuat dari kuningan. Nah, ketika ditanya oleh tim Ada’ta, bagaimana kalau pelaku kejahatan menyogok. Daming, Tomabubeng Lembang menjawab bahwa dengan menyogok justru menunjukkan bahwa orang itu memang bersalah.
Cuma ada hal yang disesali oleh Suani. Menurutnya, BPD (Badan Perwakilan Desa) tidak memberikan ruang kepada pemangku adat untuk menempati posisi itu. “Mestinya pemangku adat yang berhak duduk di sana. Supaya dapat mengontrol kinerja pemerintahan desa,” kata Suani.
Hilangnya Sistem pemerintahan Lokal; Buah kebijakan Sentralisasi
Persoalan ini sebenarnya bukan hanya menjadi problem di komunitas Papuangan, tetapi juga terjadi di seluruh pelosok Nusantara. Di sul-sel sendiri sebelum terjadi penyeragaman administrasi kenegaraan pasca kemerdekaan dikenal sistem pemerintahan yang memaki sistem lokal. Ini misalnya dapat dilihat dari penamaan suatu tempat yang bernuansa lokal misalnya penyebutan wanua di bugis, kampong di Makassar atau Lembang di Tator untuk daerah yang setingkat desa. Dan ini menurut Prof Dr. Abu Hamid bukan hanya soal nama yang berbeda, tetapi juga menyangkut sitem yang melingkupi pemerintahan yang bernuansa lokal saat itu. Ketika itu menurut Prof Abu Hamid sistem pemerintahan dengan nuansa lokal itu telah mengikat secara kultural dengan kuat penduduk pada kampung halamannya. Di sini muncul rasa persaudaraan yang kuat dan keinginan untuk membangun kampunnya. Perasaan bersama utuk menjaga harga diri kampung yang lazim disebut dengan massiddi siri. “Pada saat itu tak perlu pengawasan untuk memantau penduduk, karena antara satu dengan yang lainnya saling mengetahui, sehingga kalau ada orang asing apalagi yang bermaksud jahat datang kekampung itu pasti diketahui oleh penduduk setempat”. Jelas Prof Abu Hamid yang juga guru besar antropologi di Unhas ini.
Perubahan ini mulai terjadi dengan kedatangan kolonial, meskipun tidak merubah nama-nama kampung dengan tetap memaki wanua, kampong maupun lembang atau kappung di daerah Mandar namun sitem mulai dirobah. Pada masa itu sudah ada satu sitem administrasi modern yang merupakan sarana untuk mengetahui keadaan penduduk. Kalau sekarang kita kenal KTP atau akte kelahiran untuk mengontrol penduduk, maka pada saat itu dikenal satu buku yang disebut dengan Memory van Over Gave (Naskah timbang terima), buku ini juga memuat data-data kelahiran, kematian, kriminalitas, perkara perdata dan struktur raja saat itu.
Setelah masa kemerdekaan khususnya ketika ORBA mulai berkuasa yang terjadi malah lebih parah lagi, demi kepentingan pegawasan maka peyeragaman sistem pemerintahan mulai diberlakukan, mulai dari penamaan sampai sistemnya birokrasinya semuanya dirubah. Hal ini membuat masyarakat satu temapt seakan tercabut dari nuansa lokalitasnya. Bukan hanya itu, nuansa persaudaraan dan rasa cinta terhadap kampung halaman pelan mulai memudar.
Di era reformasi ini, khususnya dengan munculnya Otoda dengan munculnya UU RI no 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan PP RI No.25/2000 tentang kewenangan pemerintah daerah dan kewenanagan propensi sebagai daerah otonom, terasa membawa sedikit angin segar untuk menentukan sistem pemerintahan di lokal masing-masing. namun sayangnya samapai saat ini control negara terhadap penduduk yang ingin melakukan perubahan itu masih sangat kuat. Bahkan beberapa perubahan yang terjadi di Sul-sel misalnya dengan berubahnya nama desa di Tator menjadi lembang dan kecamatan menjadi pennannia hanyalah sekedar simbol semata, tokh pada kenyataanya sistem yang dianut tidak ada bedanya dengan sistem pemerintahan desa dan kecamatan dulu.
Bahkan BPD yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintahan desa mestinya dihuni oleh para tetuah adat, nyatanya dibeberapa tempat malah sama sekali tidak mengakomodir kalangan itu. Maka jangan salahkan bila di berbagai pelososk di sul-sel ini banyak Suani-Suani yang lain yang merasakan kekesalan seperti yang diungkapkan dipertengahan tulisan tadi. Desantara