Oleh M. Holid / Desantara Pelembagaan cultural studies di Inggris berjalan pesat khususnya pada 1960-an dan sesudahnya. Dua faktor utama yang sangat berperan: pertama, berdirinya Centre for Contemporary Cultural Studies di Birmingham; kedua, berdirinya kursus-kursus dan publikasi-publikasi dari berbagai sumber dan tempat. Pada gilirannya, ada dua paradigma yang sangat mewarnai dalam mazhab pemikiran ini, yakni paradigma kulturalisme dan paradigma strukturalisme.
Kulturalisme
Paradigma kulturalisme sejatinya merujuk pada tiga serangkai Hoggart-Williams-Thompson yang membentuk pengertian dasar budaya dalam Cultural Studies. Williams mengkonseptualisasikan "budaya" dengan cara yang berbeda. Pertama, budaya didefinisikan sebagai “hal yang biasa-biasa saja” (culture is “ordinary”). Ia adalah hal-hal yang umum. Budaya adalah segala sesuatu yang berada di sekeliling kita, sesuatu yang sifatnya sehari-hari. Pengertian macam ini melawan konotasi budaya yang selama ini lebih diwarnai sebagai prestasi peradaban yang pada dasarnya mengangkat budaya tertentu sebagai beradab dan menyingkirkan budaya-budaya "lain" yang dianggap tak beradab. Sebagai contoh kecil, dalam konteks Indonesia, rezim Orde Baru menjalankan politik kebudayaan yang menganut pengertian budaya—sebagai prestasi peradaban—di atas dengan menciptakan kosakata utama, yakni puncak kebudayaan nasional dalam upayanya melakukan intervensi kebudayaan ke kebudayaan-kebudayaan lokal. Lewat Williams, konotasi ini lantas diputar-balikkan. Jadi, pengertian "budaya" yang digarap-ulang Williams ini lebih berada di ranah "gagasan".
Kedua, pengertian budaya yang mengacu pada praktik-praktik sosial. Berbeda dengan yang pertama, pengertian ini lebih bersifat antropologis. Mengingat bahwa segala praktik sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial itu kompleks dan menyeluruh maka budaya bisa diartikan berbunyi “budaya adalah seluruh cara hidup” (culture is a whole way of life). Sebagai konsep, pengertian yang kedua ini lebih bersifat deskriptif dan etnografis. Tekanannya adalah pada hubungan aktif dan tak terpisahkan antara unsur-unsur atau praktik-praktik sosial yang biasanya dipisahkan Dalam konteks inilah “teori budaya” bisa didefinisikan sebagai “kajian tentang hubungan antara unsur-unsur dalam keseluruhan cara hidup”. Karenanya, budaya bukanlah suatu praktik, juga bukan semata kesimpulan deskriptif "adat-istiadat atau pun dongeng-dongeng" masyarakat seperti yang umum dalam aliran antropologi tertentu. Tapi, budaya menyelusup ke seluruh praktik-praktik sosial, dan merupakan penjumlahan saling hubungan antara praktik-praktik sosial tersebut. Dalam definisi yang Oxford English Dictionary, budaya diberikan pengertian yang mencerminkan penjumlahan tersebut, Culture: cultivation, tending, in Christian authors, worship; the action or practice of cultivating the soil; tillage, husbandry; the cultivation or rearing of certain animals (e.g. fish); the artificial development of microscopic organisms, organisms so produced; the cultivating or development (of the mind, faculties, manners), improvement or refinement by education and training; the condition of being trained or refined; the intellectual side of civilization; the prosecution or special attention or study of any subject or pursuit.
Di sini kita lantas bersentuhan dengan pertanyaan apakah sesungguhnya yang dipelajari dalam budaya itu, bagaimanakah budaya itu dipelajari dan bagaimana ia dipecahkan atau dicarikan solusi. Pertama, yang dipelajari dalam “budaya” itu tak lain adalah pola-pola pengorganisasiannya yang memiliki identitas dan hubungan yang tak terduga selain diskontinuitas yang juga tak terduga di dalam atau yang menggarisbawahi semua praktik sosial.
Karena itu, kedua, sebagai upaya menyingkap cara kerja budaya adalah dengan analisis budaya yang berusaha menyingkap sifat pengorganisasiannya yang merupakan kompleks hubungan-hubungan ini. Langkah awalnya adalah berupaya menyingkap pola-pola karakteristik budaya yang khas. Kita akan mendapatkan bahwa budaya itu bukan di dalam aktivitas-aktivitas seni, produksi, perdagangan, politik, bersekolah, berolahraga dan mengasuh keluarga, yang diperlakukan secara terpisah, melainkan dengan mempelajari pengorganisasian umum (semua aktivitas) budaya itu di dalam contoh tertentu. Ketiga, Tujuan analitis atas budaya ini adalah mencerap bagaimana interaksi antara seluruh praktik dan pola ini dihayati dan dialami secara keseluruhan di dalam periode tertentu. Dalam kata lain, tujuan analitis adalah mencari apa yang disebut dengan “struktur perasaan” (structure of feeling), yakni kategori-kategori yang secara bersamaan mengorganisasi kesadaran empirik suatu kelompok sosial tertentu dan dunia imajinatif yang diciptakan oleh sang penulis. Struktur ini sudah barang tentu diciptakan secara kolektif. Tekanan yang diberikan terutama pada saling keterkaitan antara praktik, totalitas yang mendasari, dan homologi-homologi antara praktik dan totalitas.
Dari sini paradigma dominan dalam cultural studies mengkristalkan konsepnya. Budaya dikonseptualisasikan saling berkelindan dengan seluruh praktik sosial. Praktik-praktik sosial ini sebagai bentuk umum aktivitas manusia merupakan praksis inderawi manusia, aktivitas di mana laki-laki dan perempuan membentuk sejarah. Konsep semacam ini bertentangan dengan cara metafor basis-superstruktur merumuskan hubungan antara kekuatan-kekuatan ideal dan material, khususnya di mana "basis" dianggap ditentukan oleh "ekonomi" dalam pengertiannya yang sederhana. Formulasi yang ditawarkan melibatkan dialektika antara makhluk sosial dan kesadaran sosial di mana keduanya tidak bisa dipisahkan ke dalam kutub-kutub yang berbeda dengan tegas. Definisi “budaya” ini meliputi baik makna maupun nilai yang muncul di tengah-tengah kelompok dan kelas sosial yang berlainan. Makna dan nilai ini terbentuk atas dasar kondisi dan hubungan historis yang menjadi pegangan dan meliputi kondisi eksistensi kelompok-kelompok dan kelas-kelas sosial tersebut; dan sebagai tradisi dan praktek yang dihayati melalui mana “pemahaman” diungkapkan dan diwadahi.
Strukturalisme
Paradigma strukturalis merujuk terutama pada “kondisi-kondisi yang ditentukan” (determinate conditions). Paradigma ini menegaskan tentang Manusia boleh jadi sadar bahwa ia bisa merubah kondisi-kondisi sosialnya, namun bagaimanapun ia tetap terikat oleh kenyataan bahwa di dalam dunia kapitalis, ia (baik laki-laki maupun perempuan) ditempatkan dan diposisikan dalam relasi-relasi yang lantas membentuknya sebagai agen. Strukturalisme membawa kita untuk mulai memikirkan relasi-relasi dari suatu struktur atas dasar yang lain selain reduksinya pada hubungan-hubungan antara "manusia". Inilah level abstraksi Marx yang istimewa. Abstraksi yang menyanggupkannya meninggalkan titik berangkat yang jelas namun keliru dari "ekonomi politik" individu semata.
Ini berhubungan dengan kekuatan kedua strukturalisme yang mengakui bahwa bukan hanya abstraksi sebagai keharusan bagi instrumen pemikiran untuk menyesuaikan “relasi-relasi real”, tapi juga adanya gerakan yang berkelanjutan dan kompleks di antara level-level abstraksi yang berbeda. Karena level-level abstraksi yang beragam itu berasal dari berbagai praktik, maka perhatian pada aneka macam praktik itu merupakan hal yang niscaya terjadi. Ini menggiring pada pemikiran atau analisis tentang kompleksitas dari realitas demi mengungkapkan hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Titik berangkatnya terletak pada penegasan strukturalisme bahwa pikiran tidak merefleksikan realitas, melainkan mengartikulasikan dan mengapropriasi realitas itu sendiri.
Kekuatan lainnya dari strukturalisme adalah tekanannya pada konsepsi “keseluruhan”. Berbeda dengan kulturalisme yang menekankan pada partikularitas radikal dari praktik-praktiknya, mode konseptualisasi strukturalisme atas "totalitas" mengandung kesederhanaan kompleks (complex simplicity) dari totalitas ekspresif di belakangnya. Kompleksitasnya dibentuk oleh kecairan yang memudahkan bagi praktik-praktik untuk keluar masuk dari satu ranah ke ranah lainnya. Tapi, kompleksitas ini bisa direduksi secara konseptual pada "kesederhanaan" praksis—yakni aktivitas manusia sendiri—di mana kontradiksi yang sama senantiasa muncul, yang secara homolog terefleksi
di dalam setiap praktik. Strukturalisme berjalan lebih jauh dengan mendirikan mesin "Struktur" yang karakteristik utamanya adalah kemampuannya untuk membiakkan-diri-sendiri, dilengkapi dengan instansi-instansi yang tersendiri. Namun, ia merepresentasikan perkembangan yang melampaui kulturalisme dalam konsepsi tentang kompleksitas niscaya dari kesatuan suatu struktur. Ringkasnya, inilah yang disebut kekuatan transformasi dari strukturalisme. Transformasi di sini bukan diartikan dengan perubahan, melainkan dengan alih-ubah. Ia adalah kemampuan konseptual untuk memikirkan suatu kesatuan yang dikonstruksi melalui perbedaan-perbedaan praktik daripada homologinya.
Dari sini mungkinlah membayangkan adanya “kesatuan” formasi sosial sebagai dikonstruksi dari perbedaan, bukan dari identitas. Ironi dan absurdnya, tekanan pada perbedaan ini bisa—dan telah—membawa strukturalisme kepada heterogenitas konseptual yang mendasar di mana justru seluruh struktur dan totalitas lenyap. Ini terlihat pada Foucault dan kaum pasca-Althusserean lain yang meradikalkan heterogenitas bukan hanya ke ranah relatif tapi sampai ke ranah mutlak. Kontradiksi-diri inilah yang dikandung oleh strukturalisme. Ia mempertahankan kesatuan-dalam-perbedaan (unity-in-difference). Di level inilah Althusser mencuatkan persoalan yang wajar untuk muncul, yakni problematika otonomi relatif, “over-determinasi” dan juga studi artikulasi. Memang, artikulasi mengandung bahaya terjerumus formalisme yang keterlaluan, namun ia memiliki keuntungan yang penting yang menyanggupkan kita memikirkan tentang bagaimana praktik-praktik spesifik—yang diartikulasikan secara kontradiktif dan tidak tampak dalam arah, titik, dan momen yang sama—bisa dipikirkan bersama-samamengkonseptualisasikan kekhususan praktik-praktik yang berbeda (yang secara analitis dipisahkan, diabstraksikan) tanpa kehilangan pegangan pada untaian yang dibentuknya. Sementara, kulturalisme yang senantiasa menandaskan kekhususan praktik-praktik yang berbeda—"budaya" jangan sampai diserap ke dalam "ekonomi", namun kehilangan cara yang pas untuk menegaskan kekhususan ini secara teoritis. sekaligus. Tegasnya, paradigma strukturalis, ketika dikembangkan dengan wajar, bisa membawa kita mulai benar-benar
Kekuatan ketiga strukturalisme terletak pada decentering “pengalaman” dan upaya menjelajahi kategori “ideologi” yang terabaikan. Aspek-aspek ini bermunculan dalam pemikiran Louis Althusser dan strukturalis-strukturalis Marxis. Tepatnya, Althusser mengkonseptualisasikan ideologi ini sebagai kategori-kategori nir-sadar yang di dalamnya kondisi-kondisi riil eksistensi direpresentasikan dan dihayati. Kondisi riil dipandang “beroperasi” di dalam relasi imajiner. Tidak heran kalau Althusser ketika “membaca” Marx dalam Reading Capital ia menyatakan bahwa mode produksi akan bisa dipahami dengan baik jika dilihat seolah-olah “terstruktur seperti bahasa”.
Pada titik ini kita bisa memungut dari Gramsci bahwa tepat di level nir-sadar, sekaligus juga common sense, kita bisa melihat adanya formasi ideologi-ideologi yang lebih aktif dan organik. Ideologi-ideologi yang punya kemampuan merasuk di ranah common sense dan tradisi populer, dan melalui perasukan itu mengorganisir laki-laki dan perempuan.
Itulah gambaran ringkas, dua paradigma yang lazim dalam CS. Di sini kemudian perlu ditegaskan bagaimana karakter CS ini secara umum. Pertama, persoalan subjek, subjek diyakini bersifat transhistoris dan “universal”. Ini kelihatan pada pikiran-pikiran Lévi-Strauss, Freudian, Lacan dan semiotik awal.
Selanjutnya, tentang “ekonomi-politik” budaya. Ya, bau tradisi Marxis sangat jelas di sini. Di level ini perhatian pada proses ekonomi dan struktur produksi kultural lebih besar daripada kepada aspek kultural-ideologis yang berperan membentuk kesadaran palsu.
Setelah itu, tentang “perbedaan”. Perbedaan ini membawa pada heterogenitas yang hanya bisa ditelusuri lewat analisis konkret yang terarah pada formasi ideologis dan formasi diskursif. Analisis-analisis konkret ini kelihatan pada karya Foucault dan Gramsci.
Kesimpulannya, bahwa kekhususan praktek-praktek yang berbeda berhubungan untuk menjadi bentuk-bentuk kesatuan artikulasi yang bisa dikembalikan pada metafor basis/suprastruktur.
Karya Richard Hoggart Use of Literacy misalnya berupaya mendeskripsikan budaya kelas pekerja Inggris di masa kecil Hoggart sendiri—dimana ia merupakan bagiannya. Hoggart memang dibesarkan dalam kehidupan kelas bawah yang dianggap tidak berbudaya. Karya-karya Raymond Williams Culture and Society dan The Long Revolution meneruskan langkah-langkah yang dibuka Hoggart. Williams menyuarakan tentang tradisi (tradisi “masyarakat-dan-budaya”) yang bermain-main di ranah definisi dan cara hidup. Williams singkatnya ingin menegaskan bahwa budaya itu adalah hal biasa-biasa saja, yang kita alami sehari-hari (culture is ordinary). Upaya Hoggart dan Williams ini dilanjutkan oleh karya tebal Edward P. Thompson yang berjudul Making of the English Working Class. Di dalam bukunya itu Thompson menelusuri secara historis bagaimana formasi budaya kelas dan tradisi populer berjalan di Inggris. Buku-buku inilah yang cukup kuat membentuk batu awal “Cultural Studies”. Kemudian, berdirinya CCCS (Centre for Contemporary Cultural Studies) di Universitas Birmingham di samping kursus-kursus yang diselenggarakan dan publikasi-publikasi yang dilakukan semakin mengukuhkan institusionalisasi Cultural Studies.
Kembali ke Williams, baginya definisi budaya penting untuk dirumuskan ulang. Ia memberi definisi bahwa budaya adalah keseluruhan cara hidup dalam satu periode tertentu yang memiliki pola-pola dan mewujud dalam prakek-praktek. Yang mendasar dalam budaya ini adalah ‘perasaan bersama’ (structure of feeling).
Baginya, praktik-praktik sosial yang ada niscaya beragam, namun meskipun terdapat berbagai praktik yang boleh jadi tidak segaris namun perbedaan di antara praktik-praktik ini tidak mutlak dan pada dasarnya merupakan varian-varian dari praksis.