Apa yang terjadi kalau kebebasan mendasar warga negara dalam menganut agama dan menjalankan keyakinan diganggu oleh surat keputusan dari pusat? Itulah yang dialami oleh komunitas adat dan kepercayaan Tolotang di Sulawesi Selatan. Mereka dipaksa menjadi penganut Hindu melaui SK dari Departemen Agama.
Dalam sejarah, I Pa Bere, nenek moyang masyarakat Tolotang menerima ajaran dan menyebarluaskan di daerah Wajo. Komunitas ini menggunakan bahasa Bugis sehari-hari dengan dialek Sidenreng-Rappang. Tradisi mereka adalah tradisi yang berasal dari latar belakang Bugis Wajo. Dalam perkembangan berikutnya situasi berubah. Mereka dipinggirkan dan memperoleh perlakuan tak mengenakkan setelah raja-raja Islam Wajo berkuasa. Mereka disingkirkan. Pun bermigrasi ke daerah Sidenreng Rappang (Sidrap), dan daerah sekitarnya. Sisanya ada yang menetap di Wajo. Di Sidrap mereka dianggap sebagai komunitas kelas paling bawah, sekelas hamba sahaya. Dalam konteks ini menarik kita simak cerita penamaan ”Tolotang” bagi komunitas ini dan penyebutan “Uwa” bagi tokoh-tokoh Tolotang.
Sesungguhnya nama komunitas ini adalah Towani (artinya: orang berani). Namun ketika migrasi ke Sidrap (sebelah selatan pasar Pangkajene), Raja Pangkajene selalu menyebut mereka dengan Tolotang (To: selatan) yang berarti: orang yang berdiam di sebelah Selatan. Menurut La Unge Setti, salah seorang pemuka adat komunitas ini, pihak penguasa selalu memanggil mereka To Lotang, bukan To Wani. Yang kedua adalah sebutan “Uwa” bagi tokoh-tokoh Tolotan. Dalam tradisi Bugis, Uwa adalah sebutan bagi orang-orang tua dari kelas rendah, dan panggilan inilah yang dilekatkan justru pada tokoh-tokoh Tolotan. Penghinaan dan penyingkiran ini mereka terima karena budaya dan keyakinan mereka dianggap menyimpang, sesat, dan seterusnya.
Komunitas Tolotang dikenal memiliki tradisi dan keyakinan yang banyak berbeda dengan ajaran agama resmi, khususnya Islam yang dianut mayoritas masyarakat Bugis. Alih-alih eksistensi adat, tradisi dan kepercayaan mereka diakui, melalui Surat Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali/Buddha Departemen Agama No. 6 Tahun 1966, masyarakat Tolotang justeru dipaksa-masukkan ke dalam salah satu agama resmi, yaitu Hindu. SK ini adalah penyempurnaan Surat Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Buddha No. 2 Tahun 1966.
Rupanya memang sejak Orde Lama keberadaan komunitas Tolotang ini selalu diawasi. Menurut tokoh masyarakat Tolotang, La Unga Setti, pasca 1965 kalangan militer pernah melakukan sweeping yang dikenal oleh masyarakat sebagai “mappakenga” (pengingat), terhadap orang-orang yang berbeda praktek ritualnya dengan agama resmi. Aksi kontrol dan sweeping ini dilakukan oleh Kodim setempat disertai dengan pemaksaan otoritas “tafsir tunggal” Pancasila.
Dalam Surat Keputusan tertanggal 16 Desember 1966 yang ditandatangani oleh B.P. Mastra, selaku Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Buddha saat itu, disebutkan, berdasarkan SK No 2 Tahun 1966 pemerintah menugaskan Sdr. Makkatungeng untuk menjalankan tugas pengawasan, pengontrolan, dan penilaian terhadap komunitas Tolotang. Hasil pengawasan dan penilaian inilah tampaknya yang dijadikan landasan penerbitan SK baru No 6 Tahun 1966 yang menyebutkan: “menunjuk Sdr. Makkatungeng untuk atas nama Direkstur Djendral Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu dan Buddha melakukan pembinaan serta penyuluhan terhadap umat Hindu Tolotang”. Dalam menjalankan tugas ini Makkatungeng diwajibkan untuk “melakukan kerjasama sebaik-baiknya dengan pemerintah setempat”, dan lalu “secara periodik menjampaikan laporan-laporan sebagai progress report yang ditjapai dalam penugasan itu”.
Dengan SK ini pula komunitas Tolotang dipaksakan menjadi Hindu seperti halnya penganut Hindu di Bali. Seperti harus beribadah di pura. Sampai pernah pejabat Departemen Agama daerah Sulawesi Selatan mendatangi pemukiman masyarakat adat Tolotang dan mengajarkan cara bagaimana menjadi Hindu yang baik, termasuk cara mendirikan pura. “Kami diharuskan beribadah di pura, padahal apa yang disebut pura itu tidak dikenal dalam adat dan tradisi kami,” ujar Settiang Unga, putra La Unga Setti, yang sempat hadir sebagai partisipan dalam Pelatihan Advokasi ME di Malino, Agustus 2003 lalu.
Hadirnya SK No. 2 tahun 1966 yang berisi pemberian tugas “bimbingan” terhadap masyarakat Tolotang dan SK No 6 Tahun 1966 yang memaksa masyarakat Tolotang beragama Hindu-Bali jelas telah melanggarkan hak-hak kultural masyarakat Tolotang sebagai warga negara. Negara telah semena-mena memaksakan keyakinan tertentu kepada warganya.
Padahal kebebasan beragama dan berekspresi telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu, masyarakat adat dan penganut kepercayaan dilindungi oleh konvensi internasional HAM tentang hak-hak sipil dan politik serta konvensi Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dan khususnya, melalui Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 (Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965) yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 29 Tahun 1999. Oleh karena itu, atas nama apapun segala bentuk diskriminasi harus dihapuskan di muka bumi ini. Desantara-Mh. Nurul Huda dan Syamsurijal Adh’an