Penyerangan Naqsabandiyah Oleh Sekelompok Orang Bercadar

desantara-default

Desantara.or.id

Setelah peristiwa penyerangan dan penutupan mesjid Ahmadiyah serta pengusiran Timoty seorang antropolog dari Amerika awal 2006 yang lalu oleh beberapa kelompok dan organisasi keagamaan, baru-baru ini tepatnya tanggal 20-11-2007 peristiwa yang sama kembali terjadi di Bulukumba. Kali ini yang menjadi sasaran adalah kelompok aliran tarekat/Hakikat Naqsabandiyah yang menjadi korban. Aliran tarekat yang melaksanakan kegiatannya di desa Sapolohe Tanah Beru kecamatan Bontobahari, diserang oleh sekolompok orang yang mengatas namakan warga Tanah Beru. Satu lagi peristiwa memilukan berkaitan dengan kebebasanberagama dan menjalankan ajarannya terjadi di Negeri kita. Kali ini di Kabupaten Bulukumba, daerah yang selama ini dikenal getol memperjuangkan penegakan “Syariat”.

Peristiwa penyerangan itu terjadi sekitar jam 21.00, dibeberapa media disebut terjadi pada pukul 22.30 Wita (Fajar, 21-11-2007). Sekitar 300-an orang mendatangi satu tempat yang selama ini dikenal sebagai tempat orang-orang dari Naqsabandiayah melakukan ritual zikir kepada Allah.

Tak diketahui pasti dari mana datangnya orang-orang itu, tiba-tiba saja sudah menyemut dan berdatangan dari beberapa arah menuju ke lokasi tersebut. Rata-rata mereka membawa pentungan dan batu. Wajah mereka rata-rata ditutupi dengan cadar atau kain sarung. Beberapa orang nampak berambut panjang (gondrong). Mereka membawa Pentungan dan batu-batu. Sampai dilokasi,penyerang memutus aliran listrik. Kedaan menjadi gelap. Beberapa jamaah Naqsabandiayah yang masih ada di lokasi (saat itu sekitar tujuh orang masih di bangunan itu, yang lainnya sudah pulang, karena acara zikir telah selesai), kelagapan. Dai atau penganjur Naqsabandiyah di daerah ini, Muh Ridwan tersandung dan terjatuh, membuat keningnya, tepatnya sébelah kanan mata kanan sampai kebawah mata berdarah. Sementara massa yang menyerang mulai melempari bangunan tempat jamaah Naqsabandiyah selama ini berjamaah. Beberapa diantaranya menggunakan pentungan yang dibawahnya, mereka memukul bangunan tersebut.

Jamaah Naqsabandiyah yang ada di lokasi, tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa diam menyaksikan bangunan yang selama ini mereka tempati beribadah dihancurkan massa. Untung saja massa saat itu tidak menyerang kearah jamaah Naqsabandiyah sehingga tidak ada korban dari jamaah ini.Namun kerugian materil diperkirakan sekitar 20 jutaan .

Tidak berapa lama kemudian, kepolisian dari Kapolsek Bontobahari ditambah personil dari Kapolres Bulukumba datang. Mereka segera mengevakuasi jamah Naqsabandiyah yang ada disekitar lokasi. Jamaah ini dibawah ke kapolsek Bontobahari. Bahkan selanjutnya beberapa orang dari jamaah ini malah dibawah ke kapolres untuk dimintai keterangan.
Soal pengrusakan bangunan, Tak ada tindakan berarti dari kepolisian untuk mencegah nya , kecuali berusaha menenangkan massa. Salah seorang polisi menjelaskan bahwa mereka tidak sanggup berbuat banyak, soalnya massa banyak, sekitar 300 orang. Salah-salah menurutnya polisi juga bisa diserang.

Kenapa Warga Tanah Beru Menyerang Naqsabandiyah ?

Peristiwa penyerangan Naqsabandiyah di daerah Tanah Beru ini jauh hari sudah di prediksi oleh Mardianto, pimpinan Naqsabandiyah di Bulukumba, yang juga dosen di STAI Al-Gazali. Pimpinan Naqsabandiyah kemudian memperingatkan agar, Naqsabandiyah di Tanah Beru untuk sementara menghentikan aktivitasnya.

Mardianto memprediksi demikian, karena dia mendapatkan informasi, mengenai pandangan masyarakat Tanah Beru terhadap Naqsabandiyah, yang intinya melihat kelompok tarekat ini secara negative. Di masyarakat Tanah Beru beredar informasi bahwa, Naqsabandiyah ini sesat, setiap merekrut anggota harus bayar, jamaah naqsabandiyah sudah tidak mau ikut shalat jumat, tidak mau lagi naik haji dan proses perekrutan anggotanya dimulai dengan satu ujian yang aneh. Dimana, orang yang mau masuk naqsabandiyah harus terlebih dahulu masuk kekamar tertentu secara berpasangan dan berlainan jenis, di kamar itu mereka telanjang. Yang bisa bertahan tidak melakukan apa-apa sampai pagi, merekalah yang resmi menjadi jamaah Naqsabandiyah.

Inilah alasan mengapa warga Tanah beru melakaukan penyerangan itu. Jelas menurut Mardianto informasi tentang naqsabandiya ini keliru. Apa yang diasumsikan masyarakat tentang Naqsabandiyah berbeda 180 derajat dari kenyataannya.
Pertanyaannya siapa yang mengedarkan informasi keliru tersebut ?
Beberapa informasi yang diperoleh dari lapangan menyebutkan bahwa informasi semacam itu muncul dari kalangan jamaah Naqsabandiyah sendiri. Mereka yang bicara bahwa lebih nikmat berzikir ala Naqsabandiyah daripada naik haji atau tidak usah shalat jumat,bila sudah ikut Naqsabandiyah.

Betulkah demikian ? Menurut Mardianto, memang ada jamaah mereka yang menjelaskan naqsabandiyah kurang tepat, tapi tidak sejauh itu. Menurutnya ini bukan persoalan Naqsabandiyah, tapi soal penolakan terhadap tarekat dan Tasawwuf, oleh beberapa kelompok di masyarakat yang kemudian mengatas namakan warga Tanah Beru secara keseluruhan. Terbukti setelah MUI Bulukumba lewat ketuanya Kyai Mahdi mengeluarkan pernyataan bahwa Naqsabandiyah, tidak sesat dan merupakan tarekat mu’tabarah di Indonesia, kelompok yang mengatas namakan masyarakat Bontobahari masih menolaknya.

Alasan penolakan ini akhirnya terungkap pada saat dialog Pemerintah, tokoh masyarakat, pihakNaqsabandiyah dan beberapa organisasi Islam. Saat itu pihak Naqsabandiyah membantah semua asumsi tentang mereka yang beredar di masyarakat dan menjelaskan apa sesungguhnya Naqsabandiyah itu. Namun beberapa masyarakat tetap menolak. Saat itu diwakili oleh orang-orang yang berasal dari jaringan Wahdah Islamiyah menyatakan tidak bisa menerima Naqsabandiyah,karena masyarakat di daerah itu belum siap memahami tarekat dan tasawwuf.

Celakanya, penolakan dari beberapa kelompok masyarakat itu justru didukung oleh pemerintah setempat. Baik lurah maupun camat menegaskan karena masyarakat masih sulit menerima aliran naqsabandiyah, maka pemerintah juga tidak bisa memeberikan izin. Pihak kapolsek juga dengan tegas menyatakan tidak bisa memberi jaminan perlindungan terhadap kelompok naqsabandiyah bila masih tetap menjalankan aktivitasnya di Tanah Beru, Bonto Bahari.

Agak aneh pernyataan tersebut bahwa masyarakat Tanah Beru masih sulit menerima Tarekat dan Tasawwuf ? Bukankah daerah Tanah Beru terkenal sebagai tempat masyarakat Islam kultural . Dimana hal-hal yang bersifat mistik dan ritual local bukanlah sesuatu yang aneh. Tanah Beru ini pula terkenal sebagai temapt pembuatan perahu pinisi. Dimana mulai dari proses awal pembuatannya sampai siap untuk berlayar selalu disertai dengan ritual-ritual khas local.

Bulukumba, awalnya adalah Islam Tarekat dan Islam Kultural
Kabupaten Bulukumba adalah salah satu kabupaten Propinsi Sulawesi Selatan yang terletak pada posisi jalur kepariwisataan dan jalur perdagangan antara pulau yang terletak pada jasirah selatan Sulawesi Selatan 153 km arah selatan Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan (makassar) dengan luas wilayah 1.154.67 km.

Kabupaten Bulukumba secara historis sejak dahulu dikenal sebagai daerah pusat kegiatan penyebaran agama Islam, Ekonomi, Pendidikan dan pertahanan.Penduduk Bulukumba saat ini sekitar 347.338 jiwa. Mayoritas masyarakatnya etnis bugis, juga memiliki sub-etnis Kajang dengan bahasanya sendiri serta pada bagian timur dikenal bahasa Bugis-Makassar dialek Konjo. Berlatar belakang atas pengaruh dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yakni Bone dan Gowa maka kondisi sosial masyarakatnya juga hingga kini wewarisi beberapa kebudayaan dari kedua kerajaan tersebut. Meskipun demikian, oleh masyarakat setempat, seperti masyarakat adat Kajang justru menganggap bahwaEtnis Konjo dan bahasa konjo adalah bahasa asli didaerah Bulukumba dan bukan merupakan sub dari etnis tertentu di sul-sel.

Bulukumba memiliki sembilan kecamatan antara lain Kecamatan Kajang, Herlang, Bontotiro, Bontobahari,Kecamatan Ujungbulu, Ujung Loe, Bulukumpa, Gangking dan Kindang. Meskipun masyarakat di daerah ini hampir 99 persen beragama Islam, namun Bulukumba tidak bisa dikategorikan sebagai daerah yang homegen. Hal ini disebabkan karena letak kabupaten Bulukumba yang merupakan jalur lalu lintas antara kabupaten lainnya termasuk jalur lalu lintas ke Kabupaten Selayar sehingga terjadi pembauran kebudayaan dan mengakibatkan terbentuk masyarakat yang heterogen.Pluralitas masyarakat Bulukumba bisa dilihat dari eksistensi beberapa etnis sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, juga terdapat beberapa pemeluk agama yang berbeda, mulai dari pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan yang lain (Konghucu). Dari data statistik yang diperoleh dari Depag khususnya tahun 2003, tercatat jumlah masing-masing pemeluk agama di atas antara lain; pemeluk agama Islam berjumlah 359. 949 orang, pemeluk Kristen berjumlah 287 orang, pemeluk Katolik berjumlah 40 orang, pemeluk Hindu berjumlah 42 orang, pemeluk Budha berjumlah 55 orang, dan pemeluk agama yang lainnya (konghuchu) berjumlah 23 orang.

Pluralitas itu juga ditandai dari pemaknaan dan praktikIslam di daerah ini sangat plural. Sejakdulu daerah Bulukumba dikenal dengan beberapa aliran tarekatnya sepeti Khalwatiah, Qadariyah dan Naqsabandiyah disamping organisasi Islam lain sepertu NU dan Muhammadiyyah dan Darul Istiqamah Di samping itu di daerah ini juga dikenal komunitas-komunitas lokal seperti komunitas Haji Bawakaraeng, Komunitas Ara dan Komunitas Tanah Toa Kajang. Komunitas-komunitas lokal semacam ini meskipun secara resminya digolongkan kedalam agama Islam tetapi dalam praktek keagamaan dan ritual mereka sehari-hari, kepercayaan lama mereka tetap nampak mewarnai. Bagi komunitas lokal ini, beragama Islam tidak berartiIslamnyapersis sama dengan yang berasal dari tradisi Arab. Bagi komunitas lokal , praktek ke-Islaman tidak lain seperti yang telah dilakukan selama ini yaitu memadukan antara ajaran Islam dengan keyakinan lokal.

Cara berislam yang dilakukan oleh komunitas lokal ini justru yang sebenarnya dominan di kabupaten Bulukumba. Termasuk di Tanah Beru. Saya sendiri (kebetulan orang Bulukumba)tiap pulang kampung menyaksikan praktik-praktik keberagamaan semacam ini. Hal ini bisa terjadi karena penyebaran islam awal yang dilakukan oleh Datuk di tiro, memang melalui cara-cara seperti ini. Datuk di tiro juga lebih mengandalkan hakikat dan hal-hal yang besifat mistik daripada Syariat. Oleh beberapa budayawan seperti Mattulada,cara beragama seperti ini adalah manifestasi dari Panggederren , yaitu azas orang bugis-makassar dalam menjalankan aktifitaskehidupannya. Ini sejalan dengan pandangan Jack Goody ketika dengan tegas memeprtanyakan dimana sebenranya pengalaman relegius didapatkan ?. Menurutnya Relegiusitas itu bukan pada teks tapi pada pengalaman penganutnya, dan disitu berkelindang antara hasil apresiasi teks dengan kebudayaannya. (Goody, 1977: 101).

Menariknya bagi orang Bulukumba parktik-praktik yang dilakukannya itu sudah mencerminkan dari kesungguhan mereka menjalankan syariat. Sejak dari dulu kalau ada kalangandari aliran tertentu dalamIslam yang berusaha merubah pemahaman dan praktik keberagaman yang semacam ini, masyarakat Bulukumba akan melakukan resitensi-resistensi tertentu. Karena bagi masyarakat Bulukumba pemahaman Islam yang satu tidak harus dipaksakan kepada yang lain. Dan inilah yang kemudian berlangsung sejak dari dulu samapai sekarang. Maka bila anda menengok kondisi di kampung-kampung dan pelosok-pelosok desa di Bulukumba, akan tampak beberapa paham keagamaan hidup bersama tanpa saling menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Sayangnya, situasi seperti ini semakin terusik, karena semakin banyaknya kelompok Islam yang saat ini sering memaksakan pandangan keagamaannya ke orang lain. Salah satunya kini terjadi dalam kasus penyerangan ini.Ada apa dengan Sulawesi Selatan? Desantara / Samsyurijal Adhan

BAGIKAN: