Catatan Redaksi: Pada 11-19 Maret 2010 silam, kami—bekerjasama dengan Naladwipa–mengadakan kegiatan pelatihan menulis untuk aktivis muda. Kegiatan ini bertujuan mempelajari secara reflektif proses perubahan sosial budaya dan ekonomi politik di Kalimantan Timur. Pelatihan digelar di Guest House Universitas Mulawarman, Samarinda diikuti oleh 15 peserta.
Kami akan menampilkan tulisan-tulisan para peserta workshop tersebut di situs ini. Di bawah ini adalah salah satu tulisan tersebut.
Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
Oleh: Galeh Akbar Tanjung
Samarinda merupakan salah satu kota kosmopolitan yang di dalamnya tumbuh berbagai macam suku, adat dan agama. Berbaurnya masyarakat dari penjuru nusantara yang dikemas dengan kerukunan dan saling toleransi membuat kota ini menjadi kota yang penuh kedamaian. Sebagai ibu kota provinsi kalimantan timur, Samarinda menjadi sentral berkutatnya perekonomia yang ada di Kalimantan Timur, kemolekan sumberdaya alam serta banyaknya lowongan kerja yang bisa diciptakan menimbulkan migrasi ke kota Samarinda semakin meningkat dalam tiap tahunnya.
Samarinda menyimpan ciri khas sebagai kota amplang dan sarung tenun. Sarung tenun Samarinda merupakan identitas kota yang mampu menarik para wisatawan untuk dijadikan oleh-oleh atau cinderamata sebagai bukti mereka pernah datang ke Samarinda. Kesederhanaan sarung tenun Samarinda yang mempunyai motif kotak-kotak berwarna hitam dan merah menjadi daya tarik tersendiri bagi para pembeli.
Kehalusan sarung tenun Samarinda bukan hanya terbuat dari benang sutra atau katun, melainkan dari sentuhan kreativitas para kaum perempuan yang memproduksi sarung tenun tersebut, keuletan serta ketelitian para perempuan penenun sarung menjadikan sarung tesebut sebagai sarung yang berkualitas tinggi.
Semangat para perempuan paruh baya untuk terus melestarikan budaya menenun sarung merupakan bentuk kongkrit pelestarian khasanah budaya negeri yang tidak hangus terbakar modernitas mesin produksi yang serba canggih. Kemampuan mengolah motif yang dilakukan oleh para perempuan penenun sehigga mampu menempatkan sarung tenun sebagai sarung yang mempunyai kebanggaan tersendiri bagi para pemakainya.
Deskripsi Geografis dan Demografis
Kampung Pamanah,[1] yang terletak di Samarinda sebrang, dua puluh menit dari kota Samarinda, menyimpan khasanah budaya berupa sarung tenun. Sebuah gang kecil, ketika dilihat dari poros jalan tidak tampak aktivitas atau kesibukan masyarakat dan terkesan gang pertenuan hanya merupakan gang yang sebatas nama belaka. Ketika memasuki gang tersebut maka kita akan melihat kesibukan masyarakat di Gg. Pertenunan jl. Pang Bendahara[2] yang di barengi nyaring bunyi benturan kayu, yang bersal dari suara mesin manual tenun yang dialunkan oleh para perempuan yang ada di sana, dalam rumah panggung yang berdesakan dan mayoritas terbuat dari kayu, menjadikan suasana damai tertuang dalam kehidupan bertetangga.
Suku bugis yang menghuni Samarinda seberang tidak hanya terdiri satu rumpun, tetapi terdiri dari beberapa rumpun keluarga yang dalam bahasa bugis disebut“kasumpololo” sama juga pengertiannya dengan alas, marga, dan pam. Masumpololo atau keluarga yang terdiri dari suku wajo, bone, pare-pare, makassar dan mandar. Di samping suku bugis tersebut juga terdapat suku lainnya seperti suku banjar, kutai dan jawa..[3]
Kala menyusuri gang-gang pertenunan, tampak mesin pintal dan tenun menghiasi halaman depan rumah penduduk, binyi “jig jig jig” yang keluar dari alat tenun menunjukkan bahwa proses produksi pembuatan tenun sedang diakukan oleh para perempuan penenun. Sementara di samping dan emperan rumah, dijemur sarung yang masih basah oleh kanji. “Biar awet dan tampak baru,”
Kaum pria yang ada di daerah pertenunan mempunyai mata pencarian bervariasi mulai dari pekerja batubara, penyebrangan sungai, buruh pelabuhan dll. Kesederhanaan hidup tercermin dalam masyarakat tersebut sehigga mereka hidup saling toleransi.
Wilayah yang luasnya mencapai hampir 7 hektar yang terbagi menjadi dua RT 01 dan RT 02, dipadati oleh rumah panggung yang terbuat dari kayu tersebut tersusun dalam lorong-lorong gang yang ramai anak kecil bermain di sekitarnya, jalan sempit yang terbuat dari kayu dan sebagian sudah di beton tidak menyurutkan masyarakat di sana untuk terus beraktivitas, sesekali tampak para perempuan yang mandi di samping rumah dengan berbalut sarung di tubuhnya menjadikan suasana pemandangan menjadi sejuk, kebiasaan memakai bedak dingin di sekujur tubuh juga banyak di jumpai di masyarakat gang pertenunan khususnya perempuan, kebersamaan dan kerukunan bertetangga tercermin dengan gurauan antar tetangga yang dibalut dengan canda tawa dan menepis adanya konflik antar warga.
Para penenun kebanyakan berada di RT 02 dari pengakuan Badaruddin selaku ketua RT, jumlah penenun saat ini kurang lebih 48 orang. Jumlah penduduk yang wajib ber-KTP 409 orang di RT 02. Perempuan bukan hanya melakukan aktivitas membuat sarung tenun, para perempuan di sana juga membuat kerajinan dari manik-manik yang juga identik dengan kalimantan timur.
Lokasi pusat tenun ikat sarung Samarinda di Kelurahan Baka dan Kelurahan masjid Kecamatan Samarinda Seberang. Jumlahnya mencapai lebih kurang 159 usaha dengan hasil produksi sebulan 5.774 lembar, bahan bakunya dari sutera, sutera sun silk bahan baku sutera yang didatangkan dari RRC.
Ihwal Komunitas
Lorong-lorong gang yang dihuni hampir mayoritas bugis nampak dalam kehidupan keseharian ketika mereka saling berinteraksi satu sama lainnya dengan menggunakan bahasa bugis. Keberadaan orang bugis di daerah Samarinda seberang tidak lepas dari sejarah kota Samarinda yang bermula dari kedatangan Orang-orang Bugis Wajo dan bermukim di Samarinda pada permulaan tahun 1668 atau tepatnya pada bulan Januari 1668.
Pada saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut Kompeni menyerang Makassar dari laut, sedangkan Arung Palakka menyerang dari daratan. Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667.
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Sebelum diterima oleh kerajaan Kutai. Dewan kerajaan Wajo mengambil keputusan agar putra Pette Cakurdi (Mentri Luar Negeri) yang bernama La Madukkelleng beserta putranya masing-masing Pette Siengkang si sertai delapan bangsawan menengah, Lamahang Daeng Mankona, La Pallawa Daeng Karowa, Puanna Dekka, La Siraje Daeng Menambong, La Menja Daeng Debbi, La Swedi Daeng Penggawe, La Runrapi Segala, Puanna Tereng, dengan disertai dua puluh orang pengiring berangkat meninggalkan wajo, tujuan awal menuju Kutai, karena kehabisan bekal khususnya air tawar, perahu mereka terpaksa berlabu di muara pasir, dan untuk sementara mereka membuat kampung. Dengan cara berusaha menangkap ikan sebagai keperluan hidup, kurang lebih sebulan lamanya mereka di kabupaten Pasir, datanglah orang-orang Wajo dan Sopeng dalam jumlah ribuan jiwa karena tidak sudi untuk takluk pada kerajaan Bone.
Dengan bertambahnya pengungsi ke Pasir, La Madukkelleng mengadakan musyawarah besar yang disebut “Adupparappang”[4]. Mereka musyawarah mencari jalan keluar dari kesulitan hidup dengan bertambahnya jumlah warga, sedangkan usaha pada waktu itu belum banyak berhasil, tidak cukup untuk kehidupan bersama. Salah satu keputusan musyawarah tersebut ialah, La Mahang Daeng Mangkona disuruh ke Kutai untukberusaha di sana.[5]
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Poea Adi bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Pilipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua “sama” derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau “rendah”. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda.
Sedang Poea Adi diberi gelar Panglima Sepangan Pantai. Ia bertanggungjawab terhadap keamanan rakyat dan kampung-kampung sekitar sampai ke bagian Muara Badak, Muara Pantuan dan sekitarnya. Keputusan sidang kerajaan membuka Desa Sama Rendah memang jitu. Sejak saat itu, keamanan di sepanjang pantai dan jalur Mahakam menjadi kondusif. Tidak ada lagi bajak laut yang berani beraksi. Dengan demikian, kapal-kapal dagang yang berlayar, baik dari Jawa maupun daerah lainnya bisa dengan aman memasuki Mahakam. Termasuk kapal-kapal pedagang Belanda dan Inggris. Mereka berlayar hingga ke pusat Kerajaan, di Tepian Pandan. Dengan demikian roda pemerintahan berjalan dengan baik serta kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat.
Sejarah terbukanya sebuah kampung yang menjadi kota besar, dikutip dari buku berbahasa Belanda dengan judul “Geschiedenis van Indonesie“ karangan de Graaf. Buku yang diterbitkan NV.Uitg.W.V.Hoeve, Den Haag, tahun 1949 ini juga menceritakan keberadaan Kota Samarinda yang diawali pembukaan perkampungan di Samarinda Seberang yang dipimpin oleh Poea Adi. Belanda yang mengikat perjanjian dengan kesultanan Kutai kian lama kian bertumbuh. Bahkan, secara perlahan Belanda menguasai perekonomian di daerah ini. Untuk mengembangkan kegiatan perdagangannya, maka Belanda membuka perkampungan di Samarinda Seberang pada tahun 1730 atau 62 tahun setelah Poea Adi membangun Samarinda Seberang. Di situlah Belanda memusatkan perdagangannya.[6]
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.[7]
Sejarah Sarung Tenun Samarinda
Sejarah sarung ini bermula suku bugis yang ada di sulawesi[8] selatan yang datang ke Samarinda pada abad 17. Kampung Pamanah di Gang Pertenunan Samarinda Sebrang tempat para perantau bugis tinggal. Jauh dari tanah leluhur, tak membuat perempuan bugis meninggalkan tradisi. Ketika menunggu suami pulang bekerja, sembari mengasuh anak, mereka menenun sarung untuk dipakai sendiri. Sarung bermotif kota-kotak menyala ini rupanya menarik minat orang untuk membeli. Karena masih tinggal di kota yang sama, meski terpisah oleh Sungai Mahakam, maka sarungnya pun disebut sarung Samarinda.
Perkembangan serta motif sarung tenun Samarinda tidak lepas dari bangsawan tiongkok yang pada waktu itu ramai-ramai mendatangi kerajaan kutai karta Negara dengan misi perdagangan, dan para pedagang tersebut memperkenalkan benang sutra jenis “spoon silk” yaitu bahan berupa benang berwarna yang di produksi oleh orang cina, hingga sekarang sarung tenun Samarinda menggunakan jenis benang spoon silk serta memiliki cirikhas tersendiri baik dalam corak komposisi dari warna hingga bahan bakunya.
“Lebba Suasa” merupakan salah satu corak atau motif awal sarung ini, namun sekarang motif ini tidak lagi di produksi karena corak serta warna yang didominasi hitam dan putih serta pada tepi sisi saraing berwarna merah, kurang menarik dan di gemari masyarakat.
Sesuai dengan perkembangan jaman maka corak sarung Samarinda juga mengalami perkembangan, corak saung Samarinda saat ini berjumlah 13 macam corak atau motif (lebba suasa, kamummu, anyam palupuh “tabba”, assepulu bolong, rawa-rawa masak, coka manippi, billa takkoja, garanso, burica, siparepe, kudara, sabbi, pucuk.
“Kamummu” merupakan salah satu motif sarung yang sangat monumental, mitif ini yang akhirnya lebih dikenal dengan motif Hatta. Timbulnya istilah Hatta bermula dari datangnya Wakil PresidenRI pertama Dr. Moh. Hatta, melakuka kunjungan kerja ke Samarinda, oleh Koperasi RUWI (Rukun Wanita Indonesia) cabang Samarinda menyerahkan kenang-kenangan sarung Samarinda corak kamummu. Sejak itu istilah Hatta sering di pergunakan.[9]
Hampir mayoritas keluarga yang mempunyai leluhur sebagai penenun, maka anak cucunya yang perempuan bisa melakukan aktivitas pertenunan, karena keahlian menenun merupakan keahlian yang selalu diturunkan oleh orang tua terhadap anaknya. Evi[10], merupakan salah satu remaja putri yang tinggal di gang pertenunan yang mahir menggunakan alat tenun, meskipun orang tuanya tidak bisa mengoperasikan alat pembuat sarung tersebut, niat Evi untuk bisa melestarikan budaya menjadi motifasi Evi untk bisa mengoperasikan alat tenun. Tapi sayangnya setelah Evi bisa menguasai alat tenun sarung, Evi tidak lagi bekerja menjadi seorang penenun, alasan yang dikemukakan kepada penulis, bahwa banyaknya peluang kerja yang ada di tempat lain menjadikan remaja putri tersebut tertarik, di tunjang dengan gaji yang lebih besar menjadikan Evi lebih tertarik bekerja di tempat tesebut. Hal serupa juga di alami oleh keponakan ibu Marwiah, dengan alasan ingin bekerja di tempat lain yang lebih baik dari pada menenun, remaja putri dengan nama Misnar lalu memilih bekerja menjadi pramuniaga di salah satu toko di Samarinda Sebrang.
Komunitas penenun yang berada di kelurahan Baqa dan kelurahan Masjid semakin hari mengalami penurunan dari jumlah 718 penenun pada tahun 1984[11] dan menjadi 159 pada tahun 2010[12], menunjukkan bahwa penurunan tersebut di akibatkan oleh banyaknya para penenun yang meninggal dunia serta kuragnya minat para remaja putri untuk melakukan aktivitas pertenuan, jangan heran kalau nanti sarung Samarinda akan menjadi punah, ujar Hj. Sy. Misyaroh Ariyani Assegaf.
Nadira sebagai penenun juga menyayangkan pergeseran kebiasaan para remaja sekarang yang lebih terperangkap dengan “hedonisme modernisasi”, para remaja putri lebih senang bekerja di mall, pasar pagi dan pertokoan lainnya dari pada menenun sarung, para pengerajin sarung yang ada saat ini kebanyakan di dominasi oleh para perempuan yang sudah berkeluarga. hal yang serupa juga di ungkapkan oleh Hj. Sy. Misyaroh Ariyani Assegaf salah satu ketua kelompok pengerajin sarung tenun Samarinda.
Sarung Samarinda yang semula merupakan sarung dari komunitas bugis mempunyai corak yang monoton “kotak-kotak berwarnah hitam dan merah tua”, seiring dengan perkembangan jaman maka pengerajin sarung melakukan evolusi dan semakin berani memadukan motif dan warna yang keluar dari pakemnya, bahkan kelompok pengerajin berdikari behasil memadukan motif sarung Samarinda yang dikombinasi dengan batik dayak pada sisi sarung, selain membatasi jumlah produksi dalam tiap motifnya mereka juga mampu menciptakan motif yang kaya akan perpaduan budaya di Kalimantan Timur.
Peranan Perempuan Dalam Produksi Sarung
Kebiasaan menenun mulanya menjadi kebiasaan yang muncul di kampung pamanah, aktivitas ini dilakukan oleh para remaja putri untuk mengisi waktu luangnya. Dalam pembuatan sarung tenun mayoritas di dominasi oleh kaum perempuan, dulunya pernah ada lelaki yang juga bekerja sebagai penenun sarung, dari stigma yang muncul di masyarakat bahwa laki-laki yang bekerja sebagai penenun sarung merupakan salah satu laki-laki yang menyerupai perempuan dalam perilaku sosialnya “banci”, kualitas hasil tenunan perempuan yang lebih halus di bandingkan laki-laki, menjadikan para penenun laki-laki mengalami pergeseran dan akhirnya musnah.
dalam pembuatan satu sarung tenun yag membutuhkan waktu 3-4 hari bukanlah waktu yang sebentar, tapi dalam mengerjakan prduksinya para perempuan penenun bisa menyesuaikan sendiri waktu pengerjannya. Dalam mengerjakan sarung tenun para perempuan tidak terikat dengan aturan baku, tidak adanya aturan mengikat antara pemilik modal atau juragan yang menyediakan bahan baku (benang, pewarna dan alat tenun), membuat para penenun bisa dengan leluasa meluangkan waktunya selain mengurusi rumah tangga mereka juga melakukan aktivitas penenunan.
Hitam pekat tampak pada alat penenun (bolo-bolo) menunjukkan bahwa alat tersebut terbuat dari kayu ulin yang sangat kuat sekali, alat tenun yang jumlahnya semakin hari semakin menurun, tidak menunjukkan perubahan sedikitpun pada alat tersebut, terbukti bahwa alat tenun yang ada di Samarinda sama persis dengan alat tenun yang ada di Sulawesi pada umumnya.
Adapun proses pembuatan sarungnya masih menggunakan alat yang disebut Gedogan atau Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Hasil tenunan yang menggunakan gedokan lebih bagus kualitasnya di bandingkan dengan ATBM, selain membutuhkan waktu yang lama 5-7 hari, pembuatan sarung tenun dengan menggunakan gedogan juga mengunakan tenaga ekstra karena hanya menggunakan tangan, di bandingkan dengan menggunakan ATBM yang di kolaborasikan dengan menggunakan kaki. Penenunan dengan menggunakan gedokan memiliki kerapatan yang lebih dari pada menggunakan ATBM yang terkesan lebih renggang serta memiliki kualitas yang kurang baik di bandingkan menenun dengan menggunakan gedokan.
Sarung tenun yang dibuat oleh para perempuan untuk kebutuhan sandang keluarganya menjadi tersebar luas dengan banyaknya pesanan dari tetangga dan masyarakat umum, dengan harga yang mahal menjadikan sarung ini menjadi sarung yang mempunyai strata social tersendiri bagi pemakainya, kebanyakan sarung Samarinda ini di miliki oleh masyarkat kelas menengah ke atas, selain sebagai perlengkapan beribadah sarung Samarinda dengan motif yang khas menjadikan si pemakai menjadi indah dan menarik. Khusus bagi kaum yang menengah kebawah sarung Samarinda biasanya di pakai hanya pada acara khusus (Pengantin atau acara adat) atau ibadah khusus (shalat jum’at dan hari raya).[13]
Para penun paruh baya kebanyakan mereka memiliki pendidikan yang rendah “tamatan SD” bahkan ada juga penenun yang buta huruf, tapi dengan keuletan dan ketelatenan mereka memiliki keahlian yang lebih di bendingkan penenun-penenun sekarang. Terbukti, bahwa pengguna alat tenun yang dari gedogan hanya para nenek-nenek yang lanjut usia, selain membutuhkan keahlian yang khusus untuk bisa mengoperasikan alat tenun gedogan para perempuan juga membutuhkan waktu serta keuletan dan ketelatenan.
Pendidikan yang rendah tidak menjadi penghambat para perempuan untuk bisa menjalankan bisnis sarung tenun Samarinda dari hulu sampai ilir, terlihat dari proses prodiksi yang di dominasi oleh para perempuan dan proses pemasaran juga di dominasi oleh perempuan, dari agen atau juragan sarung yang ada sebagian di dominsai oleh para perempuan yang mampu membaca peluang pasar sehingga mampu memasarkan sarung tenun Samarinda sampai ke manca Negara.
Proses produksi sarung tenun yang semuanya dilakukan oleh perempuan mulai dari merendam benang sutra[14] salama tiga hari tiga malam dengan menggunakan air sabun, guna menghilangkan getah atau zat minyak yang ada di benang sutra menjadi luntur, kemudaian benang direbus agar benang sutra menjadi lebih lembut dan mudah untuk di warnai, proses pewarnaan sesuai dengan kebutuhan menjadi prosesi berikutnya, setelah proses pewarnaan selesai maka benang akan di jemur sampai kering, kemudian benang di pintal atau di susun dalam bahasa bugisnya “massau”, sebelum benang disau terlebih dahulu giri-giri sisir dihitung untuk disesuaikan dengan besar sarung yang dikehendaki dan proses penenunan dimulai, setelah selesai di tenun kain sarung masih berbentk segi empat, kemudian kain di jahit dengan menggunakan tangan oleh para perempuan, dan setelah berbentuk sarung maka maka barang sudah siap di pasarkan, prosesi panjang produksi yang didominasi perempuan menunjukkan bahwa menenun sarung identik dengan pekerjaan kaum hawa.
Lamanya waktu pengerjaan sarung membuat jumlah produksi sarung sangat terbatas, hampir bisa dipastikan bahwa semua juragan sarung tidak memiliki stock barang yang cukup banyak, setiap bulan ramadhan datang permintaan pasar yang sangat banyak menajdikan stock yang ada selalu kurang, bahkan menurut ketua kelompok tenun sarung karya mandiri “kalau ada yang bilang mempunyai stock sarung Samarinda dengan jumlah besar itu bohong” dengan asumsi jumlah penenun yang sedikit dan lama waktu pengerjaan menjadikan hasil produksi sarung Samarinda terbatas. Permintaan pasar yang cukup banyak menjadikan produk ini banyak di tiru oleh pabrik sarung yanga ada di jawa, dengan harga yang murah banyak orang lebih tertarik dengan barang aspal (asli tapi palsu) tersebut.
Implikasi Ekonomi Produksi Sarung
Para penenun sarung kebayakan wanita yang dalam keluarganya menduduki kelas menengah kebawah pada umumnya. Sebagai seorang perempuan yang sudah memiliiki keahlian menenun “Nadira” bisa membantu keluarga dalam penghasilan kesehariannya, sebelum melakukan aktivitas pertenunan Nadira adalah ibu rumah tangga biasa, karena dalam kehidupan seharinya selalu mengalami kekurangan dan kerap meminjam uang kepada tetangga bahkan orang tuanya, untuk makan sehari-hari, Nadira berinisaiatif untuk mulai menenun sarung Samarinda, dan ternyata bisa meningkatkan penghasilan keluarga sekarang Nadira tidak lagi berhutang kesana kemari, penghasilan membuat sarung Rp 10.000,- persarung yang diselesaikan selama 2 hari membuat nadira merasa terbantu dari segi perekonomiannya.
Dilihat dari segi bisnis ternyata para perempuan penenun yang mempunyai keahlian menenun mendapatkan penghasilan yang minim di bandingkan para juragan, bahan baku berupa benang sutra putih yang disediakan oleh juragan yang kemudian diolah oleh penenun yang membutuhkan kurang lebih 3 hari dan bisa di tenun merupakan proses yang sangat panjang, dan dari proses yang panjang ternyata penenun di hargai Rp 10.000,- dalam tiap lembar yang selesai dei kerjakan selama 2-3 hari.
Para pengerajin diberikan kebebasan memasarkan hasil sarung tenunannya kepada konsumen, dengan memasarkan secara langsung kepada konsumen maka pengerajin akan mendapatkan penghasilan tambahan Rp 20.000,- perlembarnya. Sirkulasi produksi dan distribusi yang longgar serta toleran inilah yang selama ini bisa di pertahankan oleh para penenun sarung untuk bisa eksis melestarikan kretifitas warisan budaya leluhur.
Harga sarung-sarung khas Samarinda dijual dengan harga relatif mahal. Corak Hatta diberi harga Rp200 ribu/lembar, bermotif dibandrol dengan harga Rp250 ribu sementara sarung Samarinda dengan corak Ayam Palupu dijual dengan harga Rp300 ribu. Sarung pasangan (laki-perempuan) harga yang dipatok adalah Rp600 ribu/lembar.
Penutup
Dalam pembuatan sarung samaarinda tidak lepas dari sentuhan halus para perempuan di Gg. Pertennan di Jalan Pang Bendahara di Samarinda sebrang, secara tidak langsung para perempuan di sana memberikan sumbangsih yang besar terhadap pembentukan identitas kota Samarinda sebagai salah satu kota yang mampu menghasilkan sarung tenun yang berkualitas tinggi. Selain sumbangsih terhadap publik para perempuan dengan melakukan produksi sarung tenun mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan untuk keberlangsunga hidup kesehariannya.
Iriansyah yacob, IPDN Samarinda 1984)