Fiter mengalun pelan ditingkahi slender dan gender. Irama yang demikian ritmik pada tukikan irama pertama terdengar bunyi gong yang membahana di seluruh ruangan. Tidak berapa lama berselang, layar yang berwarna kuning keemasan terangkat perlahan-lahan, sampai kemudian panggung terlihat penuh.Di antara irama gending, berdiri tegak seorang penari dengan dandanan bercorak merah lengkap dengan pernik-pernik keemasan siap membuka pertunjukan. Di kepalanya, untuk menyempurnakan rambutnya yang rapuh terurai, ia menggunakan mahkota yang gemerlap terutama ketika tertimpa lampu panggung yang berputar-putar. Ia pun segera menari; gerak tubuh yang lemah gemulai, gerak kaki yang lincah, dan bola mata yang berbinar. Itulah awal pembuka sebuah pergelaran wayang orang Ngesti Pandhawa.
Perempuan penari Ngesti Pandhawa adalah sebuah kegairahan. Betapa tidak. Tarian itu kadang berjalan lebih dari seperempat jam. Sejak mula sampai paripurna, tarian itu tetap dengan kaki lincah ibarat batang padi yang tertiup angin ke kanan dan ke kiri. Bayangkan kalau tidak didukung stamina bagus dan kemampuan yang mumpuni, rasanya ungkapan selamat datang tidak seperti yang diharapkan.
Menurut pengamatan DESANTARA, selama satu bulan berturut-turut pada Januari 2002, ungkapan selamat datang kebanyakan melalui seorang perempuan penari. Menurut Sulimah, perempuan paruh baya yang mengajak kelima anaknya menonton, membenarkan pengamatan tersebut. “Saya tidak pernah menonton laki-laki penari yang tampil pertama kali selama bertahun-tahun menonton Ngesti,” tutur perempuan yang tinggal di kawasan Lamper Sari, Semarang. Ditambahkan, menampilkan perempuan untuk menari pembukaan terasa lebih pas ketimbang penari laki-laki. Tetapi lain lagi menurut Cicuk, pimpinan harian Ngesti Pandhawa. “Tidak selalu perempuan yang tampil di muka. Kadang-kadang kami juga menampilkan laki-laki penari sebagai pembuka,” tutur lelaki subur ini.
Ungkapan pembuka itu sendiri, menurutnya, tidak harus dianggap sebagai peristiwa yang utama. Sebab selama ini muncul anggapan bahwa tokoh pembuka sebuah pertunjukan adalah yang paling penting. Menurutnya, perempuan tidak selalu menjadi unggulan dalam dunia tontonan. Masalahnya, tutur lelaki yang tinggal dengan keluarga di kawasan Arya Mukti ini, perempuan penari ini nyata harus belajar banyak kepada sutradara yang notabene adalah seorang laki-laki. “Jadi secara kasar kalau Ngesti mau menampilkan yang terbaik adalah menampilkan laki laki, karena memang merekalah yang membentuk corak Ngesti Pandhawa dari awal,” ujarnya. Dan pengalaman Ngesti sendiri menjadi jelas bahwa laki-lakilah yang mbabat alas. Jadi, para perempuan penari ini, kalau boleh dikatakan, menjadi pelengkap bagi keberadaan kesenian tradisi.
Memang, peran laki-laki yang mengatur pertunjukan itu tampak menonjol ketika kita mengamati gladi resik yang digelar satu jam sebelum pertunjukan. Para perempuan yang berperan di panggung sebagai pembuka, dayang, atau bahkan tokoh utama secara bergantian mendapatkan bimbingan dari sang sutradara. Suatu ketika salah seorang pemeran dayang untuk Srikandi menanyakan bagaimana berjalan mengikuti ndoro dari belakang. Kali yang lain pemeran Arjuna, yang juga perempuan, menanyakan kepada sutradara bagaimana melaksanakan perang tanding dengan para buto. Kali yang beda lagi, bahkan salah seorang pemeran yang sudah lama berkecimpung di Ngesti harus mencatat tetek-bengek acting yang mesti dilakukan di panggung.
“Kami memang banyak belajar kepada para pendahulu di Ngesti ini. Masalahnya, kita juga mesti tahu karakter apa yang sungguh tepat kita perankan. Jadi bisa tampil pas di mata penonton,” tutur salah seorang pemain yang sering berperan sebagai dayang. Pertanyaan sering ditujukan kepada laki-laki karena memang para pendahulu kebanyakan laki-laki. “Kalau tidak konsultasi, bagaimana bisa tahu penampilannya kurang pas”, tambahnya.
Pernyataan itu mendapat tanggapan dari pihak perempuan sendiri. Konsultasi atau permintaan untuk mengoreksi penampilan di atas altar merupakan satu strategi untuk mendapatkan hasil yang bagus di hadapan penonton. “Boleh dibilang, dunia tontonan adalah dunia yang harus serba luks, serba sempurna. Karena itulah kami tidak ingin main-main dengan dunia hiburan ini,” komentar Sumarwiwik yang sudah enam tahun menjadi anggota Ngesti. “Kendati hanya hiburan, tetapi proses untuk menghasilkan sebuah hiburan yang layak bukan proses yang gampang”, tandasnya. “Kalau masalah konsultasi, kami tidak hanya kepada para tetua di dalam Ngesti sendiri, tetap juga kepada penonton laki-laki maupun perempuan. Bahkan tak jarang tetangga sendiri,” akunya berapi-api.
Wiwik yang sering mendapatkan peran utama ini menceritakan bagaimana seorang penari perempuan bisa sampai di panggung dan menunjukkan kebolehannya. Selain berkonsultasi, mereka tidak jemu-jemu untuk melakukan latihan di rumah atau di sanggar. Bahkan kemudian sampai menjelang pentas, diperlukan sebuah usaha koreksi dari beberapa pihak yang dianggap mampu. Ujung-ujungnya memang pentas di panggung. Setelah itu, semuanya diserahkan kepada penonton.
Parto Dhegleng seorang penonton, melihat justru para perempuan di Ngesti Pandhawa ini menjadi bagian sangat penting. Dia mengibaratkannya dengan kembang-kembang yang ada dalam junia pencak sebelum melakukan pertandingan. “Kembang-kembang mencerminkan sebuah gerakan silat selanjutnya. Kembangan yang bagus akan memperlihatkan gerakan selanjutnya dengan bagus,” tutur lelaki yang memimpin olahraga bela diri di kawasan Peterongan.
Bahkan Sumilah, perempuan yang sehari-hari bakul pecel, melihat para perempuan pemain ini sebagai seorang pejuang seni. “Mereka kok masih saja mau ngurusi wayang orang. Padahal di rumah dia memiliki anak dan suami,” tuturnya. Dia sendiri menonton wayang orang hanya untuk hiburan bagi kelima anaknya yang semuanya berusia di bawah sepuluh tahun. Daripada di rumah sumpek, lebih baik mengajak mereka menikmati hiburan yang murah-meriah.
Pentas: Sebuah Perlawanan
Pada satu waktu, Ngesti Pandhawa mementaskan lakon Srikandi Ngedan. Lakon ini menceritakan tokoh perempuan panglima yang gila lantaran kutukan Dewa. Kondisi sakit jiwa ini membuat perilakunya lepas tanpa kendalai. Dia menari di hadapan raja, mengajak dayang-dayang untuk memainkan dolanan anak, atau bahkan minum-minuman sampai mabuk. Satu adegan yang menonjol adalah “kekuasaan” Srikandi yang memerintah para punggawa, tumenggung, dan patih untuk menari. Bila membangkang, maka para perwira tinggi ini dihajar oleh Srikandi.
Dengan keterpaksaan, mereka mengikuti gerakan Srikandi. Dengan muka yang konyol, lebih sering tertawa sendiri, Srikandi mengajak para tumenggung berjalan mengangkang berputar di depan istana. Setelah puas, Srikandi mengajak dia tiduran di lantai, menyanyikan lagu-lagu pop, sampai bermain jaran kepang. “Mengapa tidak ada bantahan dari tumenggung, barangkali itu tuntutan cenita. Tetapi lebih dari itu, paling tidak hal itu merupakan simbol keperkasaan perempuan di satu sisi,” tutur Sumarwiwik, perempuan yang malam itu berperan sebagai Srikandi. “Gambaran tentang kekuasaan Srikandi ini bisa dilihat sebagai sebuah usaha rnenguasai laki-laki dalam batas-batas tertentu”, lanjutnya. Dengan kegilaan, tambahnya, pria yang berperan sangat perkasa dan bertingkah gagah tiba-tiba menjadi penurut kepada Srikandi.
“Di sinilah kita bisa memerintah. Kita akui kalau selama ini kita belajar melalui dia, bahkan dalam lingkungan kami mereka lebih menentukan berbagai kebijakan, tetapi dalam lakon barangkali perempuan akan lebih menentukan,” selorohnya. Memang di sana perempuan bisa memerintah seenak perutnya sambil tertawa sekeras-kerasnya. Bahkan terkadang bisa membentak.
Perempuan Serba Bisa
Perlawanan kaum perempuan wayang orang ini semakin mengental dengan kemampuan yang dimiliki. Paling tidak ada tiga hal yang mutlak dipegang oleh seorang penari. Dalam hal acting, pertama, para seniwati mestilah mampu membawakan sebuah karakter yang dipegangnya. “Padahal kami setiap kali lebih banyak melakukan improvisasi, sehingga kemampuan melakukan acting harus oke,” tutur salah seorang perempuan anggota Ngesti. Barangkali wajah yang tidak terlalu cantik bisa ditutupi dengan rias yang lumayan, tambahnya, tetapi bila peran yang dimainkan tidak bagus maka hal itu bakal tampak mencolok mata.
Aspek terpenting yang tidak bisa dilewatkan bagi seniwati wayang orang adalah keahlian menari. Seperti yang telah digambarkan di muka, lebih sering seniwati wayang orang ini ditampilkan lebih dulu sebagai “jamuan pembuka” bagi para penonton. Perempuan penari ini dijadikan sebagai ungkapan “selamat datang”. Tidak jarang perempuan penari ini harus menari beberapa menit lebih lama, bahkan sampai setengah jam.
“Kalau tidak mampu secara kreatif menciptakan tarian, maka akan kacau. Masalahnya, tarian kita tidak harus menganut pakem-pakem tertentu secara ketat, tetapi lebih ada pemanfatan gerak yang ritmis,” jelas salah seorang seniwati yang ikut serta dalam pentas Tjahjadadari dan Surjadadari. “Jika kesan pertama sudah buruk, maka tidak bisa mencapai apa yang ditargetkan untuk menggugah penonton,” tambahnya bersemangat.
Kecuali itu di dalam setiap adegan para penari perempuan itu juga tidak jarang mengungkapkan bentuk peran melalui sebuah tarian. Misalnya, dalam peperangan Srikandi melawan Aswatama, anak Pendeta Durna, perempuan yang berperan sebagai Srikandi itu mau tak mau melakukan gerak ekspresif melalui tangan dan kakinya yang digunakan untuk memukul dan menangkis.
Di samping keahlian menari dan berperan, seorang seniwati wayang orang perlu sebuah kemampuan vocal yang bagus. Dalam setiap pementasannya, tidak jarang mereka menyanyikan sebuah lagu untuk mengungkapkan sebuah “jiwa” adegan. Misalnya, ketika hendak berperang maka lagu megatruh mesti dinyanyikan. Saat jeda berkasih-kasihan, maka laras sinom yang digunakan untuk mengungkapkan tanda cintanya.
Berdasarkan pengamatan DESANTARA, di samping bisa berperan di panggung untuk menari, para seniwati ini juga harus menjadi sinden. Artinya, apabila salah seorang sinden berhalangan pentas, maka perempuan yang biasa bermain di pentas harus bisa berperan di balik panggung sebagai sinden.
“Kami dituntut untuk bisa memenuhi kriteria itu secara langsung, tetapi kita juga dituntut untuk bisa beralih fungsi secara dadakan setiap kali pementasan. Mesti bisa trampil,” tutur Ny. Harsono, pemimpin umum Ngesti Pandhawa. “Kami sudah terbiasa main sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sehingga kesulitan-kesulitan tersebut rasanya bisa diatasi oleh para seniwati. Kendati begitu harus diakui bahwa penguasaan tiga hal itu bukan masalah mudah. Baik dari seni vokal, seni tari, maupun seni peran memerlukan ketekunan sendiri-sendiri. Penguasaan ini tidak bisa main-main karena dipertontonkan kepada khalayak. Sebagai sebuah dunia tontonan, kesalahan sedikit saja bisa kelihatan seperti dalam kaca pembesar” lanjutnya.
Ketekunan untuk menguasai tiga hal itu, selain merupakan tuntutan profesionalitas, ternyata juga bisa dipakai untuk menohok superioritas laki-laki. “Jangan dikira kami kalah sungguh-sungguh dibandingkan dengan seniman. Kami toh sama militan dengan mereka,” tandas Sumarwiwik. Secara kuantitas, baik seniman dan seniwati sama-sama tampil pada panggung yang sama sehingga memiliki kemungkinan yang sama untuk dinilai oleh penonton. Desantara