Pada tanggal 3-4 Juli 2007 yang lalu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP (Desantara, Huma, Elsam, Aji, dan LBH APIK) mengadakan konsultasi publik tentang RUU KUHP di Hotel Santika Jakarta. Di antara tema yang dibahas dalam kegiatan tersebut adalah diskusi tentang Perkembangan Delik Pidana Agama dalam Pembaharuan KUHP. Tema tersebut dibahas dalam satu panel dengan menghadirkan beberapa narasumber, yaitu Ifdhal Kasim, Bisri Effendy, dan Musdah Mulia.
Ifdhal mencermati beberapa persoalan penting terkait dengan delik pidana gama, baik dalam KUHP maupun dalam RUU KUHP saat ini. Ia menilai bahwa KUHP, khususnya pasal 156a menjadi payung dan landasan hukum yang cukup signifikan atas tindakan-tindakan yang “ditengarai” sebagai penodaan terhadap agama. Pasal 156a KUHP ini sangat berkaitan erat dengan UU No 1/PNPS/1965 tentang pencegahan Penodaan Agama di Indonesia. Kini, pasal tersebut diperluas menjadi delapan pasal (pasal 341-348 di dalam RUU KUHP) dan ditempatkan dalam satu bab tersendiri. Dengan adanya perluasan yang dicakup dalam RUU KUHP, maka persoalan yang berhubungan dengan tindakan “penodaan” terhadap agama menjadi semakin pelik. Perluasan tersebut justru berimplikasi pada kriminalisasi yang berlebihan (over criminalization) atas tindakan keagamaan seseorang.
Di samping itu, problem lain yang muncul dalam aturan ini adalah dalam hal penegakannya ke dalam realitas di lapangan. Pembuktiannya akan mengalami kesulitan karena ia lebih banyak terkait dengan apa yang diyakini oleh seseorang, dan operasionalisasi keyakinan itu pun banyak yang terjadi dalam ranah penafsiran. Dalam hal ini, hukum pidana sulit membuktikan apakah tindakan seseorang tersebut bisa masuk ke dalam kategori “penodaan” terhadap agama atau tidak. Kesulitan untuk menentukan standar, ukuran, dan pembuktiannya akan berdampak pada kesulitan penegakan hukumnya oleh aparat.
Sementara Musdah Mulia melihat bahwa RUU KUHP seharusnya lebih menekankan pada jaminan perlindungan hukum atas kebebasan beragama dan bukan pada perilaku keagamaan seseorang yang akan menimbulkan tafsir yang beragam. Ia menegaskan bahwa kebebasan agama dalam HAM baik dalam arti freedom to be (kebebasan untuk memeuk atau tidak memeluk agama sepanjang keyakinan itu tidak mengganggu hak orang lain) maupun freedom to act (kebebasan untuk mengimplementasikan keyakinanannya dalam hidup sosial) merupakan hak dasar setiap manusia. Regulasi terhadap kebebasan itu menjadi perlu sepanjang menyangkut keselamatan publik, menjaga kesusilaan, melindungi kesehatan publik, dan tidak mengganggu orang lain.
Yang perlu dilakukan Negara dan perlu diatur dalam RUU KUHP adalah:
1. Negara harus mengakui kebebasan internal untuk memilih agama.
2. Kebebasan eksternal
3. Tidak ada paksaan
4. tidak ada diskriminasi
5. Memberi kebebasan bagi komunitas untuk membentuk organisasi agama.
6. kebebasan untuk mempelajari dan mempraktikkan agama sendiri maupun agama pihak lain.
Masih menurut Musdah, bahwa RUU KUHP, khususnya delik pidana agama sangat ambisius untuk mengatur agama, terlalu rinci tapi lentur, dan sangat potensial menimbulkan konflik horizontal.
Di sisi lain, Bisri Effendy melihat bahwa RUU KUHP itu sendiri akan mengalami kesulitan untuk menentukan siapa yang disebut sebagai pelaku penodaan karena konteks tindakan itu tergantung pada bentuk tindakannya. Perlunya relasi-relasi antar perbedaan perlu dilakukan karena pertemuan relasi itulah yang akan menjadi bagian dari cara mencari jalan keluar konflik. Untuk itu, tidak semua persoalan sosial harus diregulasi melalui aturan hukum positif karena masyarakat sendiri lebih mengetahui cara-cara mencari pemecahan masalah sosial mereka.
Di samping itu, RUU KUHP ini masih sangat berpihak pada kepentingan agama-agama besar yang “diakui” Negara dan tidak memberi jaminan perlindungan bagi komunitas agama lokal di Indonesia. Sehingga RUU KUHP itu sendiri justru melegitimasi diskriminasi di Indonesia. Dari beberapa pengamatan yang dilakukan oleh Desantara, terdapat beberapa komunitas lokal yang memiliki respon tersendiri terhadap adanya RUU KUHP; pertama, mereka sepakat bahwa kehadiran RUU KUHP akan membuat mereka semakin terpojok. Kedua, Seluruh teks RUU KUHP ini lepas dari konteks mereka karena mereka tidak masuk ke dalam aturan ini. Ketiga, ini adalah produk politik untuk semakin menguatkan Negara dan institusi agama dalam mengontrol masyarakat. Menurutnya, ini bukan kesalahan agama, tapi terkadang agama itu sendiri yang ingin digamit oleh Negara.
Untuk itu, sebagian besar peserta diskusi mengusulkan agar RUU KUHP tidak perlu mengatur tentang pidana terhadap penodaan agama karena ia justru akan melahirkan banyak persoalan baru di tingkat peradilan dan di masyarakat. Desantara