Pada pertengahan tahun 2004, saya menghadiri seminar “Identitas, Status, dan Hak Anak Menjadi Warganegara Dalam Pandangan Islam”. Seminar terbatas ini diselenggarakan Konsorsiun Catatan Sipil, GANDI, dan UNICEF. Narasumbernya, Rumadi, KH. Masdar F. Mas’udi, dan Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA.
Seminar ini sebenarnya hendak mencari strategi sosialisasi pencatatan akta kelahiran anak di kalangan umat Islam. Karena pada kenyataannya banyak warga masyarakat dan orang tua yang tidak mencatatkan kelahiran anaknya, sehingga akibatnya hak-hak yang dimiliki si anak, tidak terpenuhi. seperti sekolah, mendapat pekerjaan, dan sebagainya.
Dari diskusi ini saya mulai berpikir, serentak dalam dua tingkatan sekaligus. Siapa sebenarnya yang tidak beri’tikad baik untuk memenuhi hak anak untuk dicatatkan: masyarakatkah, dalam hal ini “rakyat”, atau para pejabat publik yang berkewajiban mencatat itu. Secara beruntun pula lalu bisa dicari tahu benarkah masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk melindungi anaknya, atau rakyat kepepet tidak mampu membayar ongkos pencatatan anak yang melangit itu. Seorang teman dari Unicef menyatakan bahwa di Eropa akta kelahiran itu diberikan dan dikirim oleh pemerintah langsung melalui pos sehari atau beberapa hari saja setelah kelahiran sang anak. Tapi sebaliknya di Indonesia akta kelahiran itu harus dimohonkan oleh orang tua. Itupun bila permohonan itu dikabulkan. Toh banyak anak yang belum dicatatkan karena ditolak.
Kedua, apakah menjadi warganegara yang sah mesti harus sah juga dipandang dari segi agama tertentu, atau dari sudut agama resmi, misalnya, Islam yang seringkali dijadikan bahan pendekatan. Cita-citanya Islam itu membahas segala hal. Tapi jangan-jangan Islam malah tidak bicara apapun tentang pencatatan nikah, seperti dikatakan Rumadi. Pencatatan nikah adalah sesuatu yang profane, soal dunia, “barang sekuler”. Karenanya dia tidak perlu dicarikan legitimasi pada teks agama. Seperti kata Nabi, “antum a’lamu bi umuri dunyakum”. Ini juga dikutip Masdar F. Mas’udi, yang kalau diterjemahkan kira-kira artinya begini: dalam urusan dunia, termasuk pencatatan anak, kita semua ini lebih tahu dari Nabi. Dan mengembalikan segala persoalan ini kepada kemaslahatan bersama atau kepentingan publik (public good). Toh kalau dicari-cari dalam agama akhirnya ketemu juga dalam lima dasar kemaslahatan itu: hifd al-hayat, hifdz an-nasl, hifdz ‘irdh, dan sebagainya.
Saya tidak tahu alasan yang masuk akal mengapa persoalan-persoalan kebangsaan dan kewarganegaraan, seperti pencatatan nikah, pencatatan akta kelahiran, dan lain-lain selalu diukur keabsahannya dari sudut agama. Padahal religiusitas itu tidak hanya ada dalam agama. Dan mengapa untuk menjadi warganegara harus religius. Padahal untuk menjadi hamba Tuhan saja, Tuhan tidak pernah memaksa kita mesti religius (beragama).
Tetapi fakta ini sebenarnya sudah menunjukkan bahwa sejarah kita, sejarah keindonesiaan, dan konstruksi nalar pikir kebangsaan kita adalah hasil bentukan historiografi “resmi”. Historiografi “resmi” ini adalah produk dari para pejuang yang mampu merebut kemerdekaan. Mereka umumnya menyebut dirinya kaum “nasionalis”. Dan kebanyakan memeluk salah satu dari lima agama itu. Dan karenanya seluruh kebijakan politik mesti memeroleh legitimasinya dari agama-agama ini. Belum lagi klaim mayoritas-minoritas semakin mengerucutkan historiografi resmi ini.
Dampaknya luar biasa. Yang berbeda dan di luar agama resmi dianggap “sempalan”. Karena yang “sempalan” dianggap benalu, maka ia lalu dimatikan. Dan bila menyimpang maka “diluruskan”. Contohnya, masyarakat adat Tolotang di Sulawesi Selatan dihindukan. Yang tidak jelas agamanya, maksudnya hanya berkepercayaan, ia pun dipaksa untuk beragama. Dan lan-lain.
Dari sini lalu dampak-dampak turunannya mulai muncul, termasuk soal identitas, status, dan hak-hak anak berikut hak memperoleh perlindungannya diabaikan. Karena anak yang sah adalah yang dihasilkan dari perkawinan yang sah, maka banyak perkawinan yang dilakukan secara adat atau di luar tata cara agama resmi dianggap tidak sah. Dan karenanya mereka tidak bisa mendapatkan hak-haknya. Tidak bisa mendapatkan hak ekonomi, sosial, dan politiknya.
Secara lugas bisa dikatakan, historiografi resmi ini mengaduk-aduk dan menghancurkan yang tidak resmi dan kecil, meski barangkali ia tidak kalah otentik dan orisinal ketimbang yang “resmi” ini. Yang “resmi” ini dengan seenaknya mendefinisikan segala hal tentang dirinya dan di luar dirinya. Dirinyalah yang sah, sementara semua yang di luar dirinya adalah subversive dan karenanya harus dipinggirkan. Historiografi yang dimarginalkan oleh elit nasional(is) dan disingkirkan serta dipojokkan dari ruang publik ini sebut saja adalah “historiografi subaltern”.
Jika historiografi subaltern dianggap anak tiri –bahkan tidak diakui anak–historiografi resmi dibentuk, dianut, dan diistimewakan oleh negara, dan mempengaruhi cara berpikir dan paradigma negara-bangsa. Secara normatif, ia diterjemahkan dalam berbagai perundang-undangan. Dan secara praktis ia dijalankan dan dipertahankan oleh aparat birokratis dan pejabat publik.
Dalam seminar yang singkat itu, saya benar-benar terkejut menatap klausul Undang-Undang tentang Perlindungan Anak (UUPA) yang sudah disyahkan pada tahun 2002 lalu. Saya mengerti bahwa ini adalah konstruk lama. Tetapi yang saya ingin tunjukkan adalah bahwa dalam alam “reformasi” sekarang –ini pun katanya– toh paradigma dan cara berpikir pengelola negara dan pejabat publik negeri ini belum berubah. Pada Bab IX tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 42, jejak historiografi “resmi” ini terpampang dengan pengakuan hanya pada para pemeluk agama. Sementara penganut adat atau penghayat kepercayaan yang jumlahnya ratusan di negeri ini tidak disinggung dan tidak “diperhitungkan” sama sekali. Satu-satunya jawaban apabila mereka ditanya, barangkali ya karena penghayat dan adat itu bukan agama. Jawaban standard khas menurut historiografi resmi.
Sebagai warganegara seharusnya hak anak untuk memperoleh status dan identitas melalui pencatatan akta. Hak anak memperoleh identitas adalah the first right of the child. Hak anak ini harus dipenuhi oleh negara tanpa memandang perbedaan identitas dan status sosialnya. Termasuk identitas agama dan kepercayaannya. KH. Masdar F. Mas’udi dalam seminar itu dengan tegas menyatakan bahwa tidak dibenarkan negara memberikan definisi teologis kepada agama, karena itu sangat problematis. Negara tidak bisa menentukan aturan-aturan tentang agama karena soal agama adalah soal keyakinan dari para pemeluknya sendiri.
Tapi celakanya seperti kata Rumadi, di negeri kita ini negara lupa kewajibannya memenuhi hak warganegara. Bukan melayani, tapi hendak menguasai. Bukan menyetarakan, tapi membedakan. Desantara / Mh. Nurul Huda