admin | 10 – Mar – 2008
Hak kultural mungkin dalam pendengaran kita merupakan hal baru yang selama ini tidak pernah disinggung dalam pembicaraan mengenai hak-hak kultural. Bahkan dalam aturan-aturan konvensi internasional tentang hak-hak asasi manusia. Persoalan kebudayaan memang disinggung, tetapi tidak diartikan sebagai hak-hak kultural, melainkan hanya berkaitan dengan hak individu seseorang berkaitan dengan kebudayaannya. Hak-hak kultural adalah hak komunitas atau masyarakat yang bersifat komunal, dan bukan bersifat individual. Misalnya kepercayaan atau keyakinan yang diyakini secara genial oleh masyarakat itu. Misalnya komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan yang menyakini keyakinan Tolotang.
Banyak hal yang perlu dikritisi dari berbagai kebijakan negara atau pemerintah dalam memperlakukan hak-hak kultural dan kebebasan beragama. Secara faktual, kebijakan-kebijakan itu memberikan warning kepada kita bahwa banyak peraturan di satu sisi memberikan ruang kebebasan terhadap kultur dan agama untuk melakukan apa yang mereka yakini, tetapi di sisi lain memberikan batasan yang tidak bisa dilanggar oleh masyarakat adat dan agamawan. Di satu sisi, konon negara telah memberikan kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan. Tapi di sisi lain negara memberikan legitimasi hanya kepada lima agama yang (di)resmi(kan). Pemerintah tidak memberikan ruang selain kelima agama tersebut. Singkatnya, negara/pemerintah belum sepenuhnya memberikan kebebasan pada masyarakat untuk berkeyakinan tentang apa yang dianggap benar dalam hidupnya.
Beberapa contoh bisa disebutkan. Munculnya perda-perda di beberapa kabupaten seperti: Pinrang, Barru, Bulukumba, dan Sidrap. Perda-perda tersebut memberikan legitimasi negara untuk mencampuri persoalan agama. Secara spesifik, misalnya keputusan kewajiban memakai jilbab bagi siswa SMU, kewajiban memiliki sertifikat TK/TPA bagi anak yang ingin mendaftar sekolah dasar, larangan pemakaian kolam renang bagi orang yang berbeda agama, dan larangan transfusi darah bagi orang yang berbeda agama karena darah orang yang seagama dianggap kotor. Jadi orang Islam diharamkan menerima donor darah dari non-muslim.
Intervensi negara yang sedemikian dalam ini, tak pelak melahirkan ketakutan bahwa agama dan adat akan dijadikan sebagai alat politik atau bahkan pemicu konflik.
Selain itu, kondisi ini akan melahirkan distorsi keimanan religius seseorang. Ketika seseorang dipaksakan melakukan hukum agama yang diproduksi pemerintah, maka secara keimanan sesungguhnya ada degradasi di mana “ketundukan” total seorang muslim bukan kepada Tuhan, melainkan kepada institusi pemerintah.
Kita sekarang ini menemui banyak sekali peraturan adat bikinan pemerintah yang justeru menghancurkan kepercayan adat sendiri. Misalnya di Kabupaten Barru dan Sidrap. Perda-perda disusun untuk mengatur sistem adat. Jadi, alih-alih adat-istiadat itu ditetapkan oleh masyarakat adat sendiri, yang ada justeru diatur dan ditetapkan oleh negara. Bahkan ada komunitas adat yang dibentuk oleh negara dan seakan-akan menjadi tandingan komunitas adat yang sesungguhnya. Negara menciptakan sistem adat, pemimpinnya, bahkan ritual atau budayanya.
Di sini tampaklah kemudian bahwa berbagai macam perundang-undangan seperti Perda-perda ini sangat terkait dengan jaring-jaring relasi kekuasaan. Dengan lugas bisa dikatakan pemerintah menjalankan kekuasaan dengan mengontrol dan membonceng isu-isu agama. Tepatnya, agama hanyalah sebagai tunggangan politik semata.
Dari pengalaman dialog di Bulukumba, terungkap bahwa masyarakat lebih melihat munculnya “perda-perda islami” ini banyak terkait dengan persoalan politis daripada sungguh-sungguh untuk kemaslahatan umat. Kedua, dirasakan oleh masyarakat bahwa sosialisasi perda-perda itu tidak pernah ada. Jadi lugasnya, menjamurnya perda-perda itu bukan lahir dari aspirasi masyarakat daerah. Melainkan produk dari keputusan segelintir orang di parlemen dan pemerintahan.
Apa implikasinya? Jelas. Perda-perda ini menafikan fakta keragaman cara memahami agama itu sendiri. Karena praktis setelah teks-teks agama itu dibakukan, pemahaman itu menjadi baku dan penafsiran kembali atas teks-teks itu menjadi tabu.
Lihatlah contoh berikut. Pada pasal 8 Perda nomor V Kabupaten Bulukumba. Peraturan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan menutup aurat bagi umat Islam adalah mulai pusar sampai mata kaki bagi laki-laki, dan menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan bagi perempuan. Nah, pertanyaannya di dalam fikih Imam Syafi’i, kategori aurat bagi laki-laki tidak harus sampai mata kaki, tapi dari pusar sampai lutut.
Singkatnya, aturan-aturan perda itu faktanya bertentangan dengan pemahaman fikih yang dianut masyarakat. Keluasan agama telah dipersempit oleh negara Perda-perda itu telah begitu membelenggu dan membatasi pemahaman plural tentang batas-batas aurat muslim.
Munculnya perda-perda ini tentu saja berdampak lebih dalam. Ketika peraturan itu dikhususkan bagi umat Islam, lantas ini juga mengganggu dan merugikan komunitas adat yang lain, yang meskipun muslim mereka memiliki hak-hak kultural dan tradisi yang sangat beragam.
Dari fenomena ini kita menyadari bahwa dalam kehidupan kenegaraaan kita begitu banyak problem. Yakni dominasi negara dan pemahaman agama mainstream yang hendak memaksakan kekuasaannya (baik politik maupun agama) melalui perundang-undangan. Akibatnya, bencana diskriminasi di mana-mana, proses eksklusi semakin masif, stigma negatif menimpa mereka yang dianggap minoritas, dan berbagai ancaman konflik sosial dengan intensitas yang beragam.
Oleh karena itu ada beberapa hal yang mesti kita pertimbangkan untuk menghindari bencana tersebut di atas.
Pertama, peran negara mestinya hanyalah sebagai fasilitator. Negara memberikan fasilitas masyarakat agar bisa menikmati hak-hak budayanya dan kebebasan untuk memeluk agamanya. Aturan-aturan yang diciptakan negara mesti dalam rangka melayani hak-hak kultural dan kebebasan beragama itu. Negara tidak boleh mencampuri terlalu jauh untuk menetapkan kebenaran tunggal, dan menyalahkan yang lain atau mengatakan ‘inilah yang benar dan yang lain keliru’. Dan karena itu dalam hal perumusan perda-perda yang berhubungan dengan masyarakat adat sebaiknya dilemparkan dulu kepada masyarakat adat dan dimusyawarahkan di kalangan mereka, sebelumnya diundangkan.
Kedua, adanya penghargaan atas pemahaman keagamaan dan keyakinan yang berbeda-beda. Ini penting agar tidak terjadi stigma-stigma seperti “penyimpangan”, “sempalan”, “kafir” dan sebagainya sebagai kategori-kategori politik dalam ruang publik. Karena persis perbedaan dan keragaman ini sudah menjadi sejarah klasik setiap agama dan sistem budaya yang berbeda. Perbedaan semacam ini diakibatkan oleh pemahaman teks-teks agama. Misalnya, dalam Islam ada aliran yang berbeda-beda yang dianggap oleh sebagian yang lain sebagai sesat. Seperti Ahmadiyah atau Bahaiyah. Padahal kategori kafir dan sesat sesungguhnya adalah kategori politis, bukan suatu kenyataan ingkar kepada Tuhan. Kategori kafir dan murtad baru menemukan maknanya ketika ia diambil alih oleh negara atau kekuasaan politik.
Dulu persoalan kafir dan murtad muncul berkaitan dengan persoalan kuasa. Misalnya ketika Khawarij mengatakan bahwa orang-orang yang mengikuti Ali atau Syiah adalah orang-orang kafir. Orang-orang yang disebut kafir itu bukan kafir karena benar-benar tidak menyakini Allah. Tetapi karena orang Syiah itu berbeda dengan orang Khawarij dan tidak berada di bawah kekuasaannya, demikian juga sebaliknya. Ini sesuatu yang lazim dalam Islam. Tapi bika persoalan agama sudah dicampuri negara, maka akan menjadi persoalan. Karena akan muncul penyisihan yang satu dan pengukuhan terhadap yang lain.
Perlu kita ketahui, bahwa para penyebar Islam yang datang pertama kali sama sekali tidak berniat untuk menghabisi tradisi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Karena persoalan kafir bukanlah urusan manusia, melainkan urusan Tuhan. Selama tradisi itu bukan sesuatu yang menduakan Tuhan, tradisi tersebut justru dijadikan media untuk mengembangkan ajaran Islam. Dalam sejarah, ada banyak tradisi yang dipinjam oleh para penyebar agama Islam untuk mengembangkan ajarannya. Misalnya kalingda’da, sebuah tradisi lisan yang ada di Mandar di Sulawesi Selatan. Sunan Kalijaga memakai atos; dan Sunan Kudus memakai kesenian musik Jawa untuk mengembangkan ajaran-ajaran Islam. Jadi, pada awal kedatangannya, mereka tidak meminggirkan tradisi masyarakat, tetapi justru mengawinkannya dengan tradisi yang ada. Desantara