Persoalannya Hukum, Tafsirnya Teologi

Muski kelahirannya jauh sebelum bangsa ini merdeka, namun keberadaan Ahmadiyah di Indonesia terus dipersoalkan. Bahkan eksistensinya kini terancam ditamatkan. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya Rabu, 16 April 2008, Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) mengeluarkan rekomendasi agar organisasi yang pernah difatwa sesat MUI itu dibubarkan.
Berkaitan dengan putusannya, Bakor Pakem kemudian merekomendasikan agar tiga pucuk pimpinan institusi terkait, yakni Kejagung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri, membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk menyatakan JAI sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran pokok suatu agama tertentu di Indonesia. Adapun ketentuan dan prosedur penerbitan SKB tersebut akan merujuk UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.Inkonstitusional
Terlepas dari maksud dan tujuan di balik itu semua, menurut hemat penulis, keputusan Bakor Pakem yang melarang Ahmadiyah itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. UUD 1945 sudah dengan jelas menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk menjalankan agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing.
Tak hanya UUD 1945, keputusan itu juga menabrak Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No.12/2005. Di dalam Kovenan tersebut, tepatnya pada Pasal 18, kebebasan berfikir, beragama, dan berkeyakinan di jamin sepenuhnya. Lebih gamblangnya, tafsiran terhadap pasal tersebut tertuang dalam General Comment no.22 tahun 1993.
Sebagai konsekuensi juga atas ratifikasi tersebut, jika ada hukum atau kebijakan apa pun yang bertentangan dengan nilai kebebasan, maka negara bertugas pula untuk mengubah atau menghapuskannya.
Dengan demikian, apapun alasan dan rujukannya, jika hal itu mencederai konstitusi kita tentu tidak bisa dibenarkan. Apa yang dilakukan Bakor Pakem justru semakin meneguhkan sikap negara yang inkonstitusional. Apalagi jika nanti SKB itu benar-benar jadi dikeluarkan.
Tafsir Teologis dan Jebakan Pasal Karet
Sesungguhnya, pangkal persoalan kenapa Bakor Pakem sampai menabrak konstitusi dan hukum –baik nasional maupun internasional– adalah karena dia menggunakan tafsir teologi dalam penyelesaian masalah tersebut.
Coba cermati dari salah satu hasil rapat yang menyatakan, “JAI telah melakukan kegiatan dan penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yang dianut di Indonesia, menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat sehingga mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.”
Dengan menggiring ke persoalan “ketentraman dan ketertiban umum”, Bakor Pakem tampaknya sudah menyiapkan langkah ke depannya untuk menutup hak kebebasan beragama Ahmadiyah dan sekaligus mengakhiri eksistensinya di Indonesia dengan menggunakan jerat KUHP pasal 156a. Pendek kata, persoalan ini akan ditarik ke ruang pidana.
Padahal selama ini, pasal tersebut banyak mendapat kritikan karena dianggap terlalu sumir dan lunak sehingga sangat menguntungkan kelompok maenstream dalam memenangkan pertarungan doktrinal.
Dalam praktiknya, dengan atas nama “ketertiban umum”, delik agama tersebut sudah memakan tumbal berkali-kali, antara lain: Kasus cerpen Ki Panji Kusmin dengan tersangka H.B. Yassin, kasus Tabloid Monitor dengan tersangka Arswendo Atmowiloto, kasus Lia Eden dengan tersangka Lia Aminuddin, kasus YKNCA dengan tersangka M Hussen.
Delik agama –di negara-negara di Eropa, seperti Inggris misalnya, lebih dikenal dengan istilah “blasphemy”—menjadi perdebatan klasik yang sulit dicari titik temunya, sebab norma hukumnya cenderung bersifat kabur karena terkait dengan suatu proses penilaian mengenai sifat, perasaan atas agama, kehidupan beragama, dan beribadah yang sifatnya subyektif. Kendala lain yang lebih besar adalah terkait dengan pembuktian unsur-unsur kesalahan. Seperti diketahui, unsur-unsur kesalahan yang harus dibuktikan adalah bersifat abtraks, karena berkaitan dengan ”alam pikiran” (mind). Karena kesulitan itu, penuntutan kasus-kasus “blasphemy” di Inggris sangat jarang terjadi.
Sementara kata “menimbulkan keresahan dan pertentang” akan menarik persoalan ini masuk ke ranah doktrinal/teologis. Padahal maksud keresahan yang dituduhkan itu menurut saya sangatlah absurd. Sebab Bakor Pakem sendiri belum memperlihatkan indikator-indikator konkret sebagai pembuktian unsur-unsur kesalahan dalam konteks hukum.
Apakah selama ini dalam menjalakankan ibadahnya Ahmadiyah meresahkan umum? Sejauh ini saya belum menemukan sama sekali. Namun lantaran adanya sejumlah kelompok tertentu yang menganggap Ahmadiyah sesat dan menyesatkan sehingga terjadi gejolak protes di masyarakat, maka hal itu dianggap menimbulkan keresahan.
Yang harusnya diperhatikan Bakor Pakem, adakah kegiatan-kegiatan Ahmadiyah yang menyimpang dan berupa bentuk kejahatan? Atau adakah ajarannya yang menyerukan untuk merebut hak orang lain, agar menyerang dan membunuh pengikut orang? Jika ada, maka Ahmadiyah memang layak dibubarkan.
Tapi fakta di lapangan tidak demikian. Justru Ahmadiyahlah yang selalu mendapat gangguan dan kekerasan dari kelompok-kelompok yang selama ini menuduh Ahmadiyah sesat dan meresahkan. Jemaat Ahmadiyah kerap mendapatkan terror, intimidasi, bahkan serangan fisik. Sudah tak terhitung pula rumah ibadahnya disegel, dirusak, dibakar, dan diporak-porandakan. Pun juga keyakinannya yang sering dicemooh, dihujat, dan dihina secara terang-terangan di muka umum.
Kalau demikian, siapakah sebenarnya yang meresahkan dan membuat pertentangan itu? Siapa pula yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum? Dan siapa menodai siapa?
Semuanya menjadi serba kabur. Sebab, persoalan hukum yang semestinya menggunakan ukuran-ukuran hukum ternyata memakai tafsir teologis. Padahal sudah nyata bahwa negara kita bukanlah teokrasi, tapi negara hukum. Muhammad Kodim

BAGIKAN: