Pesantren Kecapi dan Kecapi Pesantren

Pada malam itu, alunan kecapi menggoncangkan pesantren Urwatul Wusqa, Sidrap. Bukan apa-apa, karena letak konser kecapi itu tepat berada di seberang pesantren. Blocking-nya seperti dua santri yang saling menyimak di masjid pesantren. Saling berhadapan, saling belajar. Pimpinan dan ustad pesantren-pun ikut hadir merayakan dan bergembira bersama warga Benteng. Malam itu, santri Urwatul Wusqa yang merupakan diantara pesantren terdepan di Sulawesi Selatan, terhibur. Kiai Imran, sang pimpinan pesantren, Sidrap, mengajak Desantara, memburu arah hentakan-hentakan kecapi itu. Walau usianya yang masih muda, Kiai Imran adalah pemimpin pesantren yang ulet, dinamis, visioner dan berwawasan luas
Karena itu tidak aneh, bila beberapa waktu lalu di bulan Ramadlan, di pesantren ini berlangsung halaqah kebudayaan. Namanya saja halaqah kebudayaan tentu saja bukan halaqah biasa. Halaqah kebudayaan adalah bentuk revitalisasi halaqah, tradisi diskusi pesantren yang pada awalnya hanya membicarakan masalah hukum-hukum dari perspektif fiqih semata. Halaqah kebudayaan juga bentuk respon pesantren dengan perubahan sosial dan lingkungannya, membicarakan masalah-masalah sosial dengan perspektif yang lebih luas. Hadir diantaranya pelaku kesenian, diantaranya pemain kecapi tunggal, kecapi simponi, orkes dan juga komunitas lain yang menonjol di Sidrap seperti Tolotang. Mereka membicarakan—secara umum– problem sosial, problem kebudayaan, problem keagamaan di Sidrap dan –secara khusus– problem yang dihadapi oleh para pekerja seni kecapi di kabupaten yang kaya ayam petelur/pedaging itu.
Tidak Latah
Yang menarik adalah ketidaklatahan pesantren, sebagai tuan rumah dan fasilitator halaqah itu, dalam mendekati problem kebudayaan. Trend Sulawesi Selatan saat ini bisa diringkas dalam dua istilah ‘penegakan syari’at Islam’ dan ‘islamisasi’. Banyak politisi, agamawan dan cendekiawan ramai-ramai menanam saham dalam industri besar itu. Baik di tingkat pusat maupun propinsi. Yang tidak ikut dalam trend ini seolah kurang modern atau kurang Islami. Boleh dikata, demam syari’at sama seperti demam hape berfitur 3G. Heboh. Gegap gempita. Namun Urwatul Wusqa tidak latah. Ketertarikannya pada kesenian di Sulsel bukan untuk proyek ‘islamisasi’ kesenian dan kebudayaan, melainkan adalah dialog produktif antara pesantren, kesenian dan pekerja seni. Untuk saling belajar. Saling membantu. Saling menguatkan. Apalagi pesantren adalah salah satu komunitas budaya, bahkan juga salah satu pilar kebudayaan Bugis kontemporer.
Ustad Wahidin, salah satu pengasuh pesantren, mengatakan bahwa sejatinya kesenian dan agama tidaklah musti saling dipertentangkan. Bahkan bisa saling belajar. Menurutnya kesenian yang Islami bukanlah kesenian yang berasal dari Timur Tengah atau dilagukan dengan bahasa arab. Kesenian Islami adalah kesenian apa saja yang dapat memperkaya batin dan rohani manusia yang bisa menguatkannya pada kebaikan. Karakter inilah yang ada pada kecapi tunggal. Dari kecapi tunggal-lah, masyarakat Sidrap, Pinrang, Enrekang dan sekitarnya mendengar cerita tentang kepahlawanan, kejujuran, keberanian, keadilan dan kerja keras yang merupakan nilai-nilai yang selalu didakwahkan para gurutta dan anre-gurutta di tanah Sulawesi ini. Singkatnya, melalui kecapi tunggal masyarakat Sidrap mengenal diri mereka sendiri.
Oleh karena itu, Ustad Wahidin dan Ustad Imran tidak tertarik dengan upaya islamisasi. Yang bentuknya dalam kesenian biasanya termanifestasi dengan memakaikan jilbab pada pemainnya atau menggunakan ayat-ayat dalam lagunya. Ustad Wahidin dan Ustad Imran lebih menekankan substansi. Bukan kulit. Kedua ustad ini tidak sendiri. Bukan pula yang pertama. Karena walaupun bukan pemain gitar, atau penabuh drum, pendahulunya, yang juga gurunya sekaligus pendiri Urwatul Wusqa, yaitu Anre Gurutta Muin Yusuf adalah ulama kharismatik yang cinta kesenian dan kebudayaan. Demikian halnya dengan ulama kharismatik lainnya di Sulsel yaitu, Anre Gurutta Ambo Dalle, sebagaimana dituturkan para muridnya.
Bagi Anre Gurutta Muin Yusuf, olah raga dan olah jiwa adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan. Oleh karena itu walaupun bukan atlet binaraga dan bukan pula penyanyi, Anre Gurutta mensyaratkan adanya olah raga dan kesenian dalam pesantren sebagai bagian pendidikan di pesantren. Dari olah badan dan olah seni, jiwa dan raga manusia Sulawesi Selatan akan kuat memajukan bangsa dan daerahnya. Kecintaannya pada kebudayaan Bugis diwujudkannya dalam 11 jilid tafsir al-Qur’an berbahasa Bugis yang syarat dengan gaya, bahasa dan budaya Sulawesi Selatan.
Orang mungkin bilang halus orang Sidrap sama dengan marahnya orang Bone, namun dalam hal ceramah agama, Urwatul Wusqa adalah rujukan belajar berceramah agama secara lembut, baik dalam metode maupun materi. Dalam sebuah kesempatan, Gurutta Muin Yusuf, pernah berkata pada santrinya; ‘perbaikilah budi bahasamu agar orang menyukaimu dan pidatomu.’ Kelembutan inilah yang bisa dipelajari dari kesenian. Kelembutan seperti itulah yang bisa dipelajari dari para pekerja seni. Kelembutan itulah yang bisa dipelajari dari kecapi dan dari orang yang menghidupi kecapi serta problem yang mereka hadapi. Dari sana santri bisa belajar bukan hanya dari kitab yang cenderung statis, tapi juga kehidupan yang terus bergerak.
Dalam halaqah Ramadlan itu diusulkan agar kecapi tunggal yang berakar kuat dalam tradisi Sidrap, namun mulai marginal itu diberdayakan. Agar kecapi tunggal –bersama dengan kekayaan tradisinya, lagunya, sejarahnya—sebagai sumbangan besar masyarakat Sulawesi Selatan pada Indonesia, pada dunia, dan pada kesenian tidak hilang. Pesantren Urwatul Wusqa akan membuktikan dan meneruskan cita-cita Kiai Muin Yusuf, yang sudah memberi landasan yang kuat. Tentu saja tujuannya bukan mengislamkan kecapi, bukan pula menggunakan kecapi sebagai media da’wah, melainkan untuk kehidupan manusia dan kecapi itu sendiri. Yasir Alimi/Desantara

BAGIKAN: