Rakyat Jawa Barat kini tengah bersiap-siap merayakan “Pesta Demokrasi” –meminjam istilahnya Sabam Sirait untuk menyebut pemilu. Bagi banyak masyarakat, Pilkada tingkat provinsi kali ini memiliki arti penting. Sebab ada setumpuk harapan yang tersandar di sana; harapan akan lahirnya sebuah perubahan sistem dan seorang pemimpin yang lebih bisa memperhatikan nasib mereka yang selama ini terabaikan.
Meskipun tidak menutup mata pula, bercermin dari sejarah yang ada, Pilkada terkadang hanya menyisakan kekecewaan bagi masyarakat yang sulit diobati
Sebab, Pilkada tidak lebih dari sekedar momen selebrasi para kontestan yang suka mengumbar janji-janji menggiurkan. Fakta demikian memang tidak bisa disangkal.
Tapi bagaimanapun juga, kita tidak bisa menghindar dari pandangan yang menjadikan pemilihan (Pilkada) sebagai parameter utama sekaligus simbol bagi demokrasi di sebuah negara. Dalam pandangan demikian, pemilihan adalah suatu konsekuensi bagi sebuah negara yang sudah menambatkan pilihannya menganut sistem demokrasi.
Masih ingat kasus Timor Timur? Setelah lepas dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang menandai kemerdekaannya sebagai sebuah negara, Timtim mengalami kendala luar biasa saat mencari dukungan pihak internasional ketika hendak melangsungkan pembangunan, baik infrastrktur maupun suprastruktur. Dunia-dunia maju bersedia mendukung proses pembangunannya dengan syarat; Timtim harus melaksanakan pemilu terlebih dahulu. Dan barangkali inilah yang membuat Xanana Gusmao berang.
Demikianlah catatan penting mengenai demokrasi yang selalu menggunakan alat ukur pemilu. Muski disana-sini muncul kritik tajam terhadap model demokrasi demikian yang dinilai hanya berat pada urusan prosedural semata dan dangkal dalam subtansinya.
Namun di luar semua itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat, dalam rapat pleno 14 Februari 2008, telah menetapkan nama tiga pasangan sebagai kandidat definitif gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat periode mendatang. Mereka adalah pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulanjana, Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim, dan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf. Semua calon dinyatakan telah memenuhi persyaratan administratif, pendidikan, dan lolos uji kesehatan.
Dengan begitu, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, kita akan dihadapkan pada tuntutan tersebut. Maka, pembicaraan tentang menolak atau mengiyakan Pilkada tidaklah terlalu memiliki makna penting. Justru yang patut dituju, dalam konteks transisi dan upaya konsolidasi demokrasi, adalah bagaimana mengisi Pilkada dengan agenda-agenda kerakyatan, bukan hanya politik kekuasaan semata.
Setumpuk Problem Kerakyatan di Jawa Barat
Sejarah pemilihan di Indonesia, baik level nasional maupun daerah, adalah sejarah bujuk rayu dan penuh kebohongan. Setiap upacara demokrasi, utamanya dalam fase kampanye, selalu diwarnai dengan janji-janji sorga, mimpi-mimpi indah tentang kemakmuran, argumen-argumen memesona dari para kontestan yang berebut simpati masyarakat. Namun setelah terpilih, semuanya hanya jadi pepesan kosong.
Mungkin yang demikian sudah menjadi rumus baku demokrasi di Indonesia. Pilkada Jawa Barat nanti juga tidak menutup kemungkinan akan mengulang sejarah yang sama; sejarah penuh kebohongan. Belajar dari sejarah buram ini, tidak mustahil masyarakat akan semakin apatis.
Muski jumlah pemilih terdaftar diperkirakan mencapai angka 29 juta orang, namun patut dicatat bahwa pilkada kali ini dibayangi kekhawatiran rendahnya partisipasi pemilih. Menanggapi hal tersebut, KPU Jabar menyandarkan argumentasinya pada persoalan teknis. KPU menyebut bahwa minim dan lambatnya pencairan dana operasi sebagai sumber persoalan, sehingga sosialisasi pilkada gagal digarap secara optimal.
Beriringan dengan soal itu, muncullah isu Golput. Jika angka Golput dalam Pilkada nanti semakin tinggi, maka fakta tersebut dengan sendirinya akan menandai kebangkrutan legitimasi pemerintah yang terpilih nantinya. Miskinnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik, baik eksekutif, birokrasi, lembaga peradilan, lembaga perwakilan maupun partai politik adalah sebuah hambatan besar bagi perkembangan demokrasi. Bagaimanapun, sebuah rezim demokrasi terkonsolidasi hanya jika mayoritas publik, meskipun dalam keadaan sulit atau krisis, tetap pada keyakinan bahwa prosedur dan lembaga demokratis merupakan jalan yang paling tepat untuk mengatur kehidupan bersama serta dukungan publik terhadap alternatif-alternatif nondemokratis sangat kecil.
Apalagi, Pilkada kali ini akan berlangsung di saat inflasi tinggi. Bukan hanya harga bahan bakar solar yang membumbung, harga beras dan minyak goreng pun terus menanjak. Sementara itu, setidaknya hingga Agustus 2007, prosentasi angka pengangguran (terhadap angkatan kerja) membumbung hingga angka 13,05%. Petani di sepanjang garis pantai Jawa Barat terus dihimpit masalah kemiskinan dan umumnya para petani meradang di negeri yang memiliki basis agraria.
Persoalan perburuhan pun begitu memprihatinkan. Jawa Barat hingga kini masih mengandalkan buruh kontrak yang dibayar murah, tanpa perlindungan dan dapat kehilangan pekerjaan kapan saja. Sementara mereka yang tak menemukan kesempatan kerja di tanah asalnya, mencari kerja di luar negeri. Situasi kesehatan dan pendidikan, bahkan yang paling dasar pun, tak kalah runyamnya. Jawa Barat memiliki rumah sakit dan sekolah internasional kelas dunia. Dan pada saat yang sama, banyak keluarga di Jawa Barat selatan tak mampu mengakses air bersih dan layanan kesehatan dasar; apalagi menyekolahkan anaknya. Sudah bertahun-tahun pula propinsi Jawa Barat tidak memiliki kerangka kerja yang meyakinkan untuk penyelamatan lingkungan hidup.
Selain berbagai problem di atas, masih ada satu lagi persoalan yang saat ini tengah menjadi fenomena yang cukup menggelisahkan dan mencoreng wajah ramah Jawa Barat; banyaknya kasus kekerasan atas nama agama. Berbagai tindak diskriminasi dan intoleransi terhadap kebebasan beragama tengah berlangsung hebat di Jawa Barat belakangan ini.
***
Demikian beragam problem kerakyatan yang muncul di dataran Jawa Barat. Suatu kenyataan pahit yang tentu melahirkan berbagai pertanyaan dan gugatan terhadap sebuah pemerintahan yang konon mengagungkan demokrasi sebagai jalan untuk menyejahterakan dan menjamin hak-hak kebebasan rakyatnya.
Kiranya, dalam Pilkada nanti, kasus-kasus kerakyatan tidak sekadar menjadi komoditas kampanye para kontestan yang dirayakan dengan aneka bahasa dan istilah dan dengan cara berbusa-busa, namun semua itu adalah persoalan yang menuntut tanggung jawab kepada siapapun yang terpilih nantinya untuk segera menyelesaikannya. Desantara / M. Kodim