Masih ingatkah Anda dengan istilah “pribumisasi Islam” yang pada tahun 1980-an dinubuatkan oleh GusDur–panggilan akrab Abdurahman Wahid? Barang kali memori otak kita masih segar untuk mengingat betapa wacana yang digulirkan Sang mantan presiden kabinet gotong royong itu menghentak kesadaran keberagamaan umat Islam ketika itu. Reaksi pro dan kontra pun tak dapat dielakan. Makhluk yang bernama “pribumisasi” ini menawarkan cara baca baru bagi kehidupan beragama. Ia mengoyak dan kelaziman konstruk beragama yang — dianggap–otentik oleh para “pencari dan penganut Islam murni”. mainstream Buku “Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam” tampaknya ingin meramaikan kembali isu tesebut. Buku ini mengambil “ilham” dari kegiatan diskusi serial bertema besar “Pribumisasi Islam” yang digelar Desantara – sebuah institusi kebudayaan yang rajin mengamalkan “ajaran” Cultural Studies – sebanyak empat kali putaran selama tahun 2002.
Ahmad Baso, penulis Buku ini, membasahi dan melumuri gaya analisisnya dengan perangkat yang akhir-akhir ini digandrungi banyak peneliti, untuk memetakan relasi dominasi-subordinsi maupun upaya resistensi. Ia membaca bagaimana kebudayaan menjadi medan bekerjanya dominasi sekaligus sebagai alat untuk memainkan negosiasi dan resistensi. Lalu makhluk sejenis apakah pribumisasi itu? Bagaimana berbicara pribumisasi dalam konteks Islam? Cultural Studies,
Baso menegaskan bahwa pribumisasi berbeda dengan istilah-istilah akulturasi, konvergensi, inkulturasi, kontekstualisasi, yang lebih berupa penyesuaian diri yang sifatnya pasif, tunggal, searah dan monolitik. Pribumisasi merupakan proses timbal-balik yang produktif dan kreatif yang melibatkan subyek-subyek yang aktif melakukan akomodasi, dialog, negosiasi maupun resistensi. Pribumisasi merupakan arena kontestasi, tempat dipertarungkannya makna dan digugatnya ideologi dominan (Hlm. 7). Dalam konvergensi, akulturasi atau inkulturasi, yang dominan adalah bagaimana unsur luar menyesuaikan diri dengan kebudayaan lokal. Sedangkan dalam konteks pribumisasi persoalannya terletak pada bagaimana subyek yang berbicara itu menyesuaikan, menyiasati dan memaknai unsur-unsur luar (Hal. 5).
Pribumisasi muncul ke permukaan akibat adanya desakan-desakan energi yang kuat untuk menyuarakan kalangan yang selama ini terpinggirkan, tidak mendapat ruang dan dibungkam suaranya, kaum marjinal. Melalui upaya pribumisasi, masyarakat dapat mencipta dan menghayati kebudayaannya..Dalam konteks Islam, pribumisasi dapat mengambil bentuk siasat-siasat untuk membuka ruang kemungkinan-kemungkinan dalam ber Islam dengan mengapresiasi kreatifitas kultur lokal. Narasi ini menggugat model (ber)agama “murni” dan berpolitik yang dikonstruk oleh kaum puritan, modernis dan lembaga-lembaga resmi agama maupun negara.
Walaupun inspirasi buku ini diambil dari serangkaian diskusi, tapi buku ini–sebagaimana diakui penulisnya–tidak merepresentasikan semua pandangan yang dikedepankan oleh nara sumber.maupun peserta. Di bagian akhir buku ini, penulis mencantumkan apendiks berupa tiga makalah yang diambil dari kegiatan Pengajian Agama dan Budaya. Alasan penulis buku ini memilih ketiga makalah tersebut semata-mata karena keruntutan argumen yang diangkat buku ini.
Sebagai buku yang menawarkan cara pandang baru terhadap relasi agama dan budaya lewat kacamata cultural studies, kehadiran buku ini patut mendapatkan sambutan dengan harapan terciptanya rekonsiliasi kultural. Akhirnya selamat memaknai dan menafsirkan.
ISBN : 979-96461-4-6
Jumlah Halaman : 260
Penulis : Ahmad Baso
Penerbit : Desantara
Tahun Terbit : 2003