Betulkah agama adalah sumber konflik? Atau jangan-jangan memang faktor non-agamalah yang selama ini memicu konflik dan agama menjadi topeng saja untuk memperluas dan membangun solidaritas kelompok berkonflik. Banyak kasus non-agama yang jika tidak diantisipasi sejak dini akan menimbulkan konflik agama atau bisa menimbulkan kebencian, perlakuan diskriminasi, dan ketidakadilan. Persoalan ini begitu kompleks sehingga harus diselesaikan secara hati-hati dan bijaksana. Misalnya soal pembangunan pemakaman Kristen (yang memang mendesak diperlukan) oleh Yayasan Sasono Mulyo (disingkat saja: YSM) di kawasan Kedung Menjangan, Argasunya, Cirebon, berikut ini. YSM melalui dana swadaya membeli lahan di kawasan tersebut sesuai dengan aturan legal dan di bawah koordinasi Pemerintah Kota (Pemkot).
Tetapi persoalan muncul, manakala beberapa elemen masyarakat sekitar menolak rencana pembangun pemakaman tersebut di wilayah mereka. Ada perbedaan pendapat antara sebagian masyarakat yang menolak kehadiran pemakaman itu dan pihak YSM yang merasa telah menempuh jalur sah. Bahkan menariknya, YSM telah mengeluarkan dana sebesar 10 juta rupiah kepada para pemuda lewat RW yang dialokasikan untuk pembangunan lapangan Volly Ball dan peralatan olahraga. Pemberian bantuan ini oleh pihak YSM dianggap sebagai uang konspensasi. Namun masyarakat lain menilainya sebagai “penyuapan”.
Menurut Kyai Solehuddin, pemuka agama yang mengelola lembaga pendidikan di kawasan tersebut menyatakan, mayoritas warga menolak pemakaman Kristen itu. Alasan penolakan antara lain: pihak pengelola pesantren khawatir pembangunan pemakaman akan semakin mengisolasi pesantren/lembaga pendidikan Islam dan membuat santri maupun calon santri takut belajar di sana. Kedua, para petani khawatir pembangunan makam itu berpotensi mengurangi jumlah lahan pertanian yang bisa digarap. Ketiga, para pemilik rumah lahan di sekitar makam khawatir pembangunan pemakaman itu akan menurunkan nilai jual aset mereka, karena kawasan itu akan menjadi kawasan yang “mati dan susah dijual”. Keempat, warga setempat khawatir makam yang dibangun kelak menjadi tak terurus dan tidak jelas lagi batasnya hingga mengambil lahan penduduk (sebagaimana pemakaman Tionghoa di Kedung Menjangan). Dan kelima, masyarakat khawatir pembangunan pemakaman tersebut akan makin mengisolasi mereka dan membuat daerah mereka makin terkucil. Sebab dengan pemakaman baru itu, semakin bertambah pula jumlah pemakaman yang mengitari kawasan itu. Padahal, keterkucilan dan isolasi inilah yang dipandang menjadi akar rendahnya kesejahteraan masyarakat secara khusus maupun masyarakat Argasunya secara umum.
Permasalahan ini menjadi kompleks tatkala dalam pembangunannya tidak semua pekerja adalah warga setempat. Padahal warga setempat sangat membutuhkan pekerjaan. Namun, pihak YSM berdalih pihak warga setempat meminta harga yang terlalu tinggi/di atas harga pasar.
Proyeksi perluasan persoalan
Polemik antara YSM dan masyarakat Kedung Menjangan yang terus terjadi saat ini -sekalipun tidak meletup di permukaan- sangat potensial menciptakan konflik horizontal yang berbau agama yang berujung pada disharmoni sosial yang merugikan masyarakat Cirebon umumnya. Sebab akar polemik non-agama ini sangat mungkin dimainkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membenturkan dua kelompok umat beragama yang ‘kebetulan’ memiliki kepentingan berbeda. Hal ini kiranya bisa kita lihat dari berbagai kasus konflik antar umat beragama di beberapa tempat di Indonesia.
Dan di sisi lain, polemik yang meluas akan mengaburkan persoalan sesungguhnya. Yaitu, umat Kristen membutuhkan lahan pemakaman, dan masyarakat Argasunya sendiri yang tengah menghadapi berbagai persoalan sosial di kawasan tersebut, berupa kemiskinan dan rendahnya angka partisipasi pendidikan.
Analisa Persoalan
Jika kita membaca secara jernih, kita akan menemukan bahwa argumentasi kedua belah pihak sama-sama bisa dipahami. Sehingga keduanya tidak bisa disalahkan mentah-mentah. Kalaupun diidentifikasi letak kekeliruannya, agaknya ada pada proses yang dijalani oleh pihak YSM yang lebih berorientasi pada pendekatan struktural. Pihak YSM mengklaim memiliki persyaratan formal dari Pemkot Cirebon, namun tanpa terlebih dulu melakukan pendekatan secara kultural kepada masyarakat sekitar. Sehingga ada semacam ketersinggungan di kalangan mereka: merasa dilangkahi dan dikalahkan oleh pendekatan kekuasaan, dan seterusnya
Jadi, yang perlu dicermati dalam kasus ini adalah kurang siapnya Pemkot mengantisipasi persoalan. Rekomendasi yang diberikan kepada pihak YSM sekalipun mungkin bisa dibenarkan dari sudut rencana tata ruang dan wilayah, tetapi pada saat yang sama berpotensi memunculkan konflik sosial. Dan ketika hal itu terjadi, tampaknya Pemkot tak terlalu siap untuk memediasi dan memfasilitasi terjadinya titik temu antara kedua belah pihak yang berpolemik.
Kedua, tampak jelas bahwa kasus penolakan pemakaman Kristen tersebut menggambarkan akumulasi kekesalan warga Kedung Menjangan yang selama ini merasa diperlakukan tidak adil. Padahal, mereka selama ini mendambakan perbaikan kesejahteraan melalui pembangunan berbagai infrastruktur seperti: jalan raya, sekolah, pasar dan lainnya. Bisa dikatakan, mereka sesungguhnya marah dan kesal kepada pemerintah. Dan kini memperoleh pelampiasan kemarahan atau obyek pengkambinghitaman, yaitu: Yayasan Sasono Mulyo.
Rekomendasi Pemecahan Persoalan
Dari sejumlah fakta tersebut dapat tarik benang merah akar permasalahan tersebut. Yaitu, nihilnya jaminan negara terhadap hak-hak warga. Negara tidak memberikan pelayanan yang memadai kepada warga dan khususnya umat beragama, berupa tempat pemakaman sebagai salah satu infrastruktur sosial yang mesti dipenuhi oleh pemerintah yang secara formal menguasai berbagai sumber daya daerah. Kedua, aspirasi masyarakat Kedung Menjangan secara khusus dan warga Argasunya secara umum sering diabaikan. Terutama mereka dipinggirkan dalam proses pembangunan kota. Mereka cenderung “dianaktirikan”, tidak mendapatkan layanan publik dan ketersediaan infrastruktur yang memadai sebagaimana masyarakat yang lain.
Oleh karena itu, ada beberapa alternatif pemecahan masalah yang bisa diajukan. Pertama, pemerintah seharusnya mengambil alih tugas menyediakan lahan pemakaman Kristen yang selama ini justru menjadi beban YSM. Pemerintah bisa mengganti lahan di Kedung Menjangan dengan lahan di kawasan lain di wilayah Kota tanpa memberi beban tambahan YSM dan tanpa memunculkan persoalan baru. Kedua, jika hal di atas tak bisa dilaksanakan dan pemakaman Kristen mau tak mau mesti dibangun di Kedung Menjangan, maka perlu ada kompensasi bagi masyarakat sekitar. Pembangunan pemakaman tersebut mesti dibarengi dengan pembangunan berbagai infrastuktur yang membuka isolasi masyarakat sekitar dan sekaligus untuk mendorong perbaikan kesejahteraan mereka.
Dengan kedua langkah tersebut, kedua belah pihak dapat memperoleh apa yang mereka butuhkan. Kepentingan keduanya akan terakomodasi, meski kurang maksimal. Dan demi kemaslahatan bagi kedua pihak, maka perlu diadakan dialog secara intensif yang melibatkan semua tokoh dan warga masyarakat. Desantara-(Paparan hasil investigasi Tim Fahmina Institute: Obeng, Rosyidin, dan Setyo Hajar Dewantoro)