(Catatan dari Lokakarya Madia-ICRP tentang Kerukunan Umat Beragama). Tampaknya, kini, masalah RUU KUB tidak lagi mungkin didekati dari cara pendekatan lama, yang berangkat dari asumsi bahwa umat beragama suka konflik sehingga diperlukan lembaga non-agama, yakni negara, untuk merukunkannya. Pola yang muncul kini adalah “mencicil” isu-isu agama yang bisa dilempar ke publik, yang rangkaiannya sebetulnya sudah dihimpun dalam Naskah Akademik RUU KUB. Dan isu-isu yang dicicil itu bukan lagi berkaitan dengan soal konflik beserta sekian argumennya, apakah itu konflik agama atau bukan. Melainkan ke soal-soal yang sebetulnya mau melindungi kepentingan ekskluksif yang namanya “muslim” itu.
Kita lihat, kini ada fatwa MUI tentang bunga bank yang “mendesak” agar pemerintah membuka bank-bank syariah di daerah-daerah, dan kalau perlu harus mengalihkan fungsi bank konvensional ke bank syariah. Dan, salah satu argumen dalam Naskah Akademik RUU KUB, menyatakan keharusan konsumsi umat Islam dipisahkan dari yang haram, misalnya dengan label halal, atau pernyataan tentang kehalalan atau keharaman suatu produk.
Yang jelas, yang perlu dicermati, meski Atho Mudzhar (Ketua Balitbang Depag RI)tampak agak mundur sedikit dengan menyatakan draft RUU KUB yang kini beredar tidak resmi, tapi isu-isu yang berkaitan dengan substansi RUU KUB tetap hidup di daerah-daerah. Dampak sosialisasi Tim Balitbang di daerah-daerah sangat mengkhawatirkan. Karena itu kita jangan sampai terlena di Jakarta, sementara di daerah Depag bermain dengan kencang dan serunya dengan tema “pentingnya kerukunan umat beragama”.
Di antara yang dimainkan dalam isu kerukunan ini adalah maraknya apa yang dikatakan pihak Depag sebagai kelompok-kelompok sesat atau sempalan. Baru-baru ini, di IAIN Makasar, sejumlah dosen, termasuk Prof Muin Salim, mantan rektor IAIN, marah besar dengan diskusi tentang fiqih lintas agama, yang menghadirkan di antaranya Zuhairi sebagai pembicara. Bahkan Muin Salim dikabarkan sempat minta bantuan Kapolda Sulsel untuk melarang kegiatan itu, meski Zuhairi akhirnya bisa selamat pulang ke Jakarta. Lain di Makasar, lain pula cerita di Sumatra Barat. Saudara Sudarto diuber-uber kelompok "Islam keras" di Padang, bahkan pihak Kepolisian sempat diminta untuk mengejarnya. Lembaga Pusaka Padang kabarnya diminta untuk ditutup atau dibubarkan karena dianggap antek-antek “Islam [yang] liberal”. (aktivis dialog lintas agama di Sumbar)
Di bulan Ramadan lalu, ada diskusi di Litbang Depag tentang kelompok kelompok sesat dan sempalan, termasuk kelompok Salamullah. MUI juga ikut hadir, karena berkepentingan dengan masalah ini. Belakangan, muncul fatwa MUI tentang Salamullah (kendati sempat terdengar kelompok “Islam [yang] liberal” juga akan difatwakan).
Nah dari sini nampak bahwa, meski RUU KUB belum digolkan, tapi MUI dan Depag sudah memainkan peran atau fungsi sebagaimana tertuang dalam RUU KUB. Dan RUU KUB tinggal memberi kekuasaan yang besar buat mereka untuk melaksanakannya. Kekuasaan yang lebih besar berarti juga crime and punishment yang juga lebih besar. Dan kita harus senantiasa memantau fatwa-fatwa yang keluar dari MUI. Mungkin perlu semacam komisi “fatwa-watch”.
Saya juga ada catatan dari forum Madia ini. Ada kesan bahwa diskusi tentang konflik sangat akademis, bahkan ada beberapa narasumber yang berani mengajukan teori konflik berdasarkan pengalaman Maluku. Tapi yang perlu disadari juga adalah bahwa pemerintah, apalagi kalangan Depag, tidak akan bisa berargumen, apalagi secara akademis, tentang akar konflik. Karena pasti negara dan aparatnya akan menjadi pihak yang tertuduh. Dan segala yang akan mempermaslaahkan negara jelas akan dielakkan.
Maka, dicarilah jalan menikung. Yang akan dimainkan adalah semacam “politik kerukunan”, bahwa masyarakat harus rukun, karena damai itu indah, karena damai itu sejahtera, dan ternyata damai itu memang indah. Kerukunan kini, tidak ubahnya seperti “memberantas korupsi”, “mengadili Suharto’, “mensukseskan pemilu”, dan sekian jargon politik kaum pejabat.
Yang menarik diperhatikan juga adalah presentasi Saiful Mujani tentang hasil polling yang dilakukan PPIM. Judulnya, “Toleransi Sosial-Politik-Keagamaan di Indonesia: Temuan dari Survei tahun 2002". Polling ini sejak awal sudah menggunakan pendekatan elitis, disebut “elitist theory of tolerance”, yakni bahwa persoalan toleransi adalah masalah masyarakat, bukan kaum elit.
Menurutnya, elite lebih toleran dibanding massa sebab elit lebih terekspos pada nilai-nilai toleransi dan lebih dipaksa untuk toleran karena biasa dihadapkan pada perbedaan dan keragaman kelompok masyarakat, dan bahwa elite, bukan massa, yang banyak menentukan kebijakan-kebijakan publik, dan karena itu kebijakan-kebijakan publik tersebut cenderung inklusif untuk kelangsungan kepentingannya. Kalau asumsi ini mau dipakai, maka orang-orang seperti Abdul Gani Abdullah di Depkeham, Ichtijanto dan Atho Mudzhar di Depag, atau Din Syamsudin di MUI, tentu cenderung lebih toleran dibanding dengan orang-orang [atau massa] di Kali Adem, atau di Kali Jodoh.
Selanjutnya, teori elitis ini juga menyebut, warga yang intoleran cenderung tidak aktif dalam kehidupan sosial politik, dan, karena itu tidak menjadi ancaman bagi harmoni sosial politik. Survei juga menyebutkan “Islamis intoleran [proporsinya 26,2 persen dalam survei] cenderung tidak aktif dalam politik, dan karena itu intoleransinya bukan ancaman langsung terhadap disharmoni sosial politik”. Dan, itu baru menjadi ancaman dan menjadi tindakan politik intoleran kalau sudah ada “mobilisasi”.
Yang bikin saya risau dengan survei semacam ini, dan sekian survei lainnya di bumi ini, adalah bahwa ia tidak membuat relevan persoalan toleransi ini pada diri orang-orang seperti Abdul Gani Abdullah, Ichtijanto, Atho Mudzhar, atau Din Syamsudin, dan juga tidak menjadikannya sebagai ancaman langsung terhadap harmoni sosial politik. Padahal tahun 2003 merupakan tahun yang justru didominasi oleh orang-orang seperti ini, yang tingkat intoleransinya terhadap the other (dalam berbagai tingkatannya, mulai dari kaum gay, Kristen/Katolik, komunitas agama lokal, hingga kelompok kelompok sempalan dan yang dianggap sesat), begitu kuat dan besarnya. Lihat kasus RUU Sisdiknas, revisi KUHP, dan RUU KUB.
Ini persoalan yang, saya kira, cukup serius. Memang, dalam logika survei ini, Abdul Gani Abdullah, Ichtijanto, Atho Mudzhar, atau Din Syamsudin adalah bukan massa, tapi elit, yang “lebih terekspos pada nilai-nilai toleransi dan lebih dipaksa untuk toleran”. Mereka juga yang katanya “banyak menentukan kebijakan-kebijakan publik, dan karena itu kebijakan-kebijakan publik tersebut cenderung inklusif untuk kelangsungan kepentingannya”.
Ini pentingnya menelaah apa yang saya sebut "genealogi prasangka", dan sekian (re)produksinya. Pertanyaan saya dalam forum di Madia itu yang tidak sempat dijawab oleh Saiful adalah di manakah gerangan alat produksi dari prasangka, sentimen dan ketidaktoleranan itu?
Kalau Marx dulu mengibaratkan alat produksi kapital itu bagai makhluk vampir yang menghisap darah kaum buruh sepuas-puasnya, lalu dalam konteks toleransi ini, siapa dan di manakah vampir itu yang mengeksploitasi dan memainkan kebencian, sentimen, dan kemarahan kalangan yang dikatakan “massa” itu?!!
Saya kira, survei itu, dengan sekian keterbatasan dan kekurangannya, juga perlu mempermasalahkan orang-orang yang menentukan kebijakan publik. Jangan-jangan mereka ini biang keroknya. Retorikanya bagus, tapi mereka berjuang untuk UU Sisdiknas, revisi KUHP, dan RUU KUB. Cobalah bikin satu pertanyaan ke responden pejabat itu: apakah Anda setuju kalau Indonesia mengakui hak-hak yang sama pada kaum gay, Kristen/Katolik, komunitas agama lokal, hingga kelompok kelompok sempalan dan yang dianggap sesat?
Bukannya justru menimpakan kesalahan kepada masyarakat, atau yang dikatakan massa, dalam soal toleransi ini. Ini bukan sekedar kayak bertanya siapa presiden pilihan anda, atau apa partai politik pilihan anda. Tapi ini menyangkut jawaban responden yang membawa implikasi pada hubungan antar umat beragama, antara komunitas dan antara sesama warga negara. Sentimen dan prasangka bisa muncul dari mana saja. Dan ada mekanisme kuasa yang memungkinkan sentimen dan prasangka itu tumbuh dan beranak-pinak terus menerus. Karena memang ada alat produksinya, seperti halnya kapital yang tidak puas menghasilkan nilai-surplus.
Dan tugas kitalah menyingkap selubung alat produksi itu, sekaligus untuk menggerogotinya. Desantara-Ahmad Baso