Diskriminasi terhadap penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maupun komunitas adat sampai detik ini masih terus berlangsung. Sejumlah peraturan yang dikeluarkan secara sistematis oleh pemerintah dan menjadi hukum positif telah mendiskriminasi para penganut aliran kepercayaan dan komunitas adat Indonesia. Jangankan untuk mendapatkan pengakuan atas tradisi adat dan spiritual yang diyakini sebagai agama, untuk mendapatkan dokumen sipil dengan pengakuan terhadap kepercayaan mereka, itu masih dapat dikatakan mustahil. Begitulah kesimpulan yang tergambar dari hasil pertemuan Working Groups dengan komunitas adat dan audensi dengan Pemda Kuningan.
Selain merumuskan kertas kerja untuk keperluan penyusunan modul dan kurikulum advokasi HAM kultural, Pertemuan Working Groups di Cigugur yang berlangsung dari tanggal 27-30 Juni 2003 lalu mempunyai dua agenda pokok yakni : pertama, sharing dengan komunitas adat berkaitan dengan tindakan diskriminatif yang selama ini ditunjukkan oleh negara dan agama-agama ‘resmi’ terhadap mereka serta upaya pencarian terobosan solutif atas kasus-kasus diskriminasi terhadap kepercayaan dan komunitas adat. Kedua, menggelar audensi dengan pemda Kuningan sebagai salah satu langkah advokatif dan tindak lanjut dari sharing di atas.
Ungkap dan ulas fakta tindak diskriminatif atas kepercayaan dan komunitas adat begitu gamblangnya dijelaskan –dalam sesi dialog antara anggota Working groups dengan komunitas adat dan penghayat– oleh pak Djatikusumah, Gumirat Barna Alam, Dodo Budiono, Oki Satrio, Ugan Sugandi, Yapto, Wahyu Alamsyah, Rusman, Sudarsa dan Nana Sudarna, yang mewakili para penghayat di Kuningan dan beberapa daerah di Jawa Barat lainnya hingga Save Dagun yang mendeskripsikan tindak diskriminasi di Flores (NTT). Dari pemaparan mereka, tampak sekali bila perlakuan diskriminatif tidak hanya terjadi di Kuningan saja, melainkan juga terjadi diberbagai daerah lainnya. Tidak hanya itu, tindak diskriminatif bukanlah monopoli negara (dari pusat hingga daerah), tetapi juga oleh kelompok agama mayoritas (lima agama resmi versi pemerintah) dan institusi ekonomi, sosial dan politik lainnya.
Dalam konteks negara, bentuk diskriminasi itu bersumber dari sejumlah perundangan dan peraturan yang dinilai sangat merugikan para penganut kepercayaan dan komunitas adat di Indonesia. Gara-gara itu, Pak Djatikusumah harus mendekam di penjara selama beberapa waktu, Gumirat, Oki dan Dewi tidak bisa mendapatkan surat nikah, bahkan anak-anak mereka tidak bisa mendapatkan akte kelahiran. Sedangkan puluhan anggota mereka harus berpindah agama dulu untuk bisa mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Sementara itu, para penghayat yang kebetulan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak bisa melangsungkan sumpah jabatan untuk promosi karir kepegawaian maupun mendapatkan fasilitas yang seharusnya mereka dapatkan sebagai PNS, seperti tunjangan keluarga (istri dan anak) dan lain sebagainya. Hal ini dialami oleh pak Dodo Budiono, seorang penghayat yang bekerja di dinas Pendapatan Kabupaten Kuningan yang diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil, Agustus 1980, tetapi sampai sekarang belum mendapatkan sumpah atau janji pegawai negeri, dikarenakan tidak ada rohaniawan yang dapat mendampingi pengambilan sumpah pegawai. Selain pak Dodo, ada 2 orang yang belum diambil sumpah, yaitu di BKKBN dan yang tergabung di kantor catatan sipil. Sedangkan, pak Rusman (pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) tidak pernah mendapatkan tunjangan keluarga. Begitu pula dengan pak Sudarsa yang bekerja di Dinas Pendidikan, gagal (tidak jadi) mendapatkan promosi jabatan hanya dikarenakan pak Sudarsa seorang penghayat bukan pemeluk ‘agama resmi’.
Prilaku diskriminatif yang dilakukan institusi ataupun kelompok mayoritas diluar negara terjadi tidak kalah seramnya dengan yang dilakukan oleh negara. Dalam dunia pendidikan misalnya, seperti penuturan Wahyu Alamsyah, kepala sekolah SLTP Yayasan Pendidikan Tri Mulya Kuningan, ada diskriminasi terhadap beberapa siswa yang berasal dari warga masyarakat adat yang tidak memeluk kelima agama resmi versi pemerintah, pada mata pelajaran agama yang diajarkan di sekolah mereka tidak diberi nilai. Kasus ini terjadi di SDN Kancana, Kecamatan Subang Kabupaten Kuningan. Akibatnya, rangking mereka turun drastis dan mengalami tekanan psikologis pada usia yang relatif masih muda.
Dalam dunia kerja (professional), diskriminasi di tempat kerja (perusahaan swasta) menimpa keluarga Ugan Sugandi, penghayat dari Tasikmalaya, yang keponakannya gagal bekerja di sebuah perusahaan, hanya karena sang keponakan itu dan seluruh keluarganya menjadi penghayat.
Sedangkan diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok agama besar mengambil bentuk pada kooptasi atas ritual (simbol-simbol budaya) masyarakat adat dan penganut kepercayaan. Apa yang terjadi di Flores menurut Save Dagun (komunitas adat dari Flores), merupakan cerminan nyata adanya diskriminasi kelompok (agama) mayoritas terhadap (kepercayaan dan adat) minoritas. Masyarakat adat di Flores hingga kini menangisi budaya spiritualnya yang sudah dilibas oleh Katolik. Ritual orang-orang adat ditaruhi salib, ada yang diganti dengan masjid. Sampai segitu, ada tempat keramat, kata orang Katolik, ini karamat kita, ganti dengan salib. Kata orang Islam, ini keramat kita. Ini yang paling mendasar.
Untuk itu, forum bersepakat untuk menindak lanjuti sejumlah problem diskriminasi tersebut dengan membuat kertas kerja guna merumuskan bentuk advokasi yang tepat terhadap persoalan diskriminasi yang menimpa komunitas adat dan penghayat di atas. Sebagai langkah pembelaan awal, seluruh peserta pertemuan menindaklanjuti sharing tersebut dengan bersama-sama mendatangi Pemda Kabupaten Kuningan untuk menggelar audensi yang bertujuan mencari kejelasan dan mengukur sejauh mana respon dan tindakan pemerintah daerah atas berbagai persoalan yang menimpa sebagian warganya.
Birokrasi Tuli Diskriminasi
Audensi yang bertujuan untuk mencari kesepahaman dan komitmen atas perjuangan anti diskriminasi ini tidak dihadiri oleh pimpinan teras Pemda Kuningan dan hanya didelegasikan kepada Asda I, serta beberapa perwakilan dari Depdiknas, Depag, PAKEM dan dari pihak catatan sipil Kabupaten Kuningan. Meski begitu, hal itu tidak mengurangi antusiasme dan keseriusan teman-teman peserta Pertemuan Working Groups untuk terlibat dalam dialog tersebut, dengan harapan dapat mengungkap policy dan sikap negara (baca: Pemda Kuningan) mengenai sejumlah persoalan yang sebelumnya dikeluhkan komunitas adat.
‘Enggan disalahkan’, itulah kira-kira kesimpulan dari hasil audensi antara 20 LSM peserta pertemuan Working Group dengan sejumlah aparat pemda Kuningan. Dimata Pemda, mereka merasa telah melakukan tugasnya dengan baik dan tidak menerapkan kebijakan yang diskriminatif terhadap para penghayat dan komunitas adat di Kuningan. Ketika hal ini di-compare dengan sejumlah fakta di atas, mereka serta merta langsung menisbahkan persoalan itu pada pemerintah pusat. Pemda hanyalah meneruskan berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat (lihat UU No. 22 tahun 1999 pasal 7, mengenai permasalahan agama sebagai salah satu kewenangan yang tidak diserahkan kepada daerah.).
HAM dan nilai-nilai universal demokrasi tidak menjadi dasar bagi pemda Kuningan dalam memutuskan persoalan kepercayaan dan komunitas adat. Keresahan sosial (social disorder) yang dinilai mengganggu stabilitas politik dan keamanan lebih dikedepankan sebagai parameter tunggal segala bentuk pelarangan terhadap komunitas adat dan penghayat. Lantas, apa yang membedakan Pemda di era reformasi dengan Orde Baru ?. Kiranya, persoalan diskriminasi atas komunitas adat dan kepercayaan masih belum menjadi kesadaran bersama seluruh stake holder Kabupaten Kuningan, apalagi pemdanya. Wassalam. Desantara