Kiranya tak tersangkal, bumi telah porak poranda oleh ulah manusia. Kerusakan ekologis yang maha dahsyat, sejatinya merupakan buah dari akibat dominasi manusia terhadap alam. Terhadap fakta yang menggetirkan ini, kiranya benar yang dikatakan Charles Reich, “Dari semua perubahan yang telah terjadi pada manusia, yang paling menyedihkan ialah, manusia telah kehilangan tanah, udara, tetumbuhan, dan pengetahuan tentang tubuhnya sendiri yang didapat dari barang-barang ini.” Maka kitapun niscaya, keserakahan manusia telah mengakibatkan alam semesta menuju kehancuran.
Kehancuran tatanan semesta itu, senyatanya juga merupakan akumulasi krisis demi krisis dalam pelbagai perspektif, yang tak pernah sanggup diatasi oleh manusia itu sendiri. Barangkali inilah yang disebut “kecelakaan” peradaban. Krisis itu tidak hanya berwujud krisis sistemik, namun juga spiritual, religi dan makna hidup. Dengan demikian, faktor budaya ikut ambil bagian dalam proses interaksi yang menghasilkan situasi ekologi manusia.
Analisis Daniel Bell (1976) mengenai kontradiksi budaya dalam masyarakat kapitalis juga membuktikan, krisis yang terjadi di dunia ini, termasuk krisis lingkungan, disebabkan oleh tidak ditemukannya prinsip-prinsip yang berlaku dalam arena kehidupan, yang menghasilkan dinamika perubahan berbeda. Sehingga, masing-masing mengikuti norma yang mensahkan perilaku yang berlainan, bahkan bertentangan, terutama dalam struktur ekonomi, hubungan kekuasaan dan nilai-nilai budaya.
Semestinya, budaya sebagai determinan bagi kondisi ekologi manusia, dimaknai secara bijak. Sebab, keseimbangan biotik dan keselarasan sosial dapat dipertahankan melalui interaksi faktor keterkaitan sosial, yakni kependudukan, budaya teknologi dan budaya non material seperti adat dan kepercayaan. Di mana semuanya itu memiliki pertautan dengan akses terhadap sumber daya alam.
Dalam konteks budaya penduduk asli di Borneo semestinya diniscayai, mereka merupakan bagian penting dari penduduk dunia, yang amat menggantungkan kelangsungan hidupnya pada sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Dari generasi ke generasi, mereka telah mengembangkan pengetahuan dan kearifan yang holistik tentang pengelolaan sumber daya alam. Maka mutlak perlu diberlakukan peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan praktik budaya dan melindungi hak penduduk asli termasuk gagasan dan pengetahuan mereka.
Namun tidaklah demikian faktanya. Di bumi Borneo telah bertahun-tahun berlangsung praktik eksploitasi sumber daya alam, di mana terjadi pula penisbian terhadap hak-hak masyarakat adat. Tak pelak, hal itu justru melahirkan prahara budaya. Itulah bayaran yang teramat mahal bagi sebuah peradaban. Terlebih karena, lewat eksploitasi sumber daya alam, telah pula terjadi proses penghancuran secara sistematis terhadap tata kehidupan komunitas adat di Borneo.
Menelusuri Kekayaan Borneo
Menurut Bernard Sellato (1989), berabad-abad lamanya para ahli genetika, bahasa dan etnologi bertengkar tiada habisnya dan berkutat dengan argumentasi masing-masing, guna membedah kesejatian pribumi Borneo. Namun, hingga saat ini tetap saja tak terungkap secara tuntas misteri budaya pada komunitas adat di Borneo. Bahkan, betapa sulitnya mendefinisikan apa yang dinamakan suku bangsa dalam konteks Dayak
Sehingga, tidaklah mudah melakukan pengelompokan terhadap suku Dayak. Meski demikian, Bernard Sellato yang mendasarkan pada jalur sungai besar, mengklasifikasi pribumi Borneo sebagai berikut, kelompok Utara Tengah, mencakup orang Kelabit, Lun Dayeh, Lun Bawang, Murut Bukit, Kajang, Berawan dan Melanau.
Kemudian orang Penan, meliputi Beketan, Punan dan Bukat yang merupakan komunitas pengembara dan terdapat di semua daerah terpencil di belantara Borneo, kecuali Sabah. Selanjutnya, kelompok Kayan dan Kenyah, yang bermukim di sekitar Kalimantan Timur dan Sarawak.
Penghuni Borneo lainnya adalah, kelompok Timur Laut, terutama terdapat di Sabah, meliputi Kadazan, Murut Daratan dan beberapa kelompok di sekitar Brunei dan pantai Kalimantan Timur. Juga kelompok Bidayuh Dayak Daratan, mencakup suku di Sarawak Barat dan Kalimantan Barat. Adapun kelompok Barito, mencakup Ngaju, Uut Danum, Siang, Murung, Luangan, Maanyan, Benuaq, Tonyooi dan Bentian. Sedangkan yang lain adalah kelompok Iban dan orang Melayu.
Sekalipun terdapat banyak versi, namun pengelompokan etnik berdasarkan pada kesamaan hukum adat, bahasa, ritus kematian, jalur sungai dan kriteria lain, membuktikan adanya keragaman budaya dan perbedaan yang natural pada pribumi Borneo. Menurut Fridolin Ukur, terdapat karakteristik unik yang memperlihatkan kesamaan budaya di antara suku Dayak. Itulah yang disebut identitas kolektif. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam identitas kolektif, sesungguhnya amat menentukan pandangan hidup dan pandangan tentang semesta, yang dialami sebagai kekuatan integratif dan memberikan eksistensi bagi penduduk asli di Borneo.
Kiranya tak terbantahkan, komunitas adat di Borneo adalah maestro penghasil benda seni yang dahsyat nilainya dan aneka ragam bentuknya. Museum-museum di mana pun di dunia, ujar Bernard Sellato, telah memberikan kesaksian terhadap tingginya nilai estetika kebudayaan Dayak. Namun malangnya sebagian besar kekayaan budaya itu, kini telah mulai punah.
Mengenai alam tetumbuhannya, Borneo juga menyimpan kedahsyatan. Jenis hutan terpenting di Borneo adalah hutan dipterocap, berciri pohon raksasa, penuh tanaman liana yang membelit dan menggelantungi lingkungan gelap lembah di bawahnya. Konon ekosistem di Borneo merupakan yang paling kompleks di dunia: pada luas 10 ha misalnya, terdapat lebih 800 jenis pohon. Sedangkan tanaman berbunga tidak kurang dari 11.000 jenis.
Sementara itu, hingga kini masih banyak pihak berpendapat, bahwa sistem perekonomian komunitas adat Dayak bercorak subsisten. Padahal tidak benar. Berabad-abad silam, komunitas Dayak di Borneo telah terlibat secara intens dalam tata perniagaan berskala internasional. Sesungguhnya tak terbantahkan, bahwa perniagaan hasil hutan non kayu seperti rotan, damar, gaharu, sarang burung, batu guliga, cula badak, getah perca, camphor, lilin lebah dan tengkawang, telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan mereka. Bahkan, pada permulaan abad ketiga sebelum Masehi, telah berlangsung kontak perniagaan antara komunitas adat Dayak di Borneo dengan bangsa Cina semasa dinasti Chou.
Kiranya tak tersangkal pula, Borneo yang oleh orang Dayak Ngaju di sebut pulau Bagawan Bawi Lewu Teto, memiliki potensi yang maha dahsyat. Tidak saja dari kekayaan alamnya, melainkan juga komunitas manusia penghuninya. Alam pikiran komunitas adat di Borneo, meniscayai selain manusia dan makhluk lain yang hidup di bumi, terdapat pula makhluk lain yang bersemayam di alam semesta.
Mereka, penuh ketulusan meniscayai adanya negeri yang dihuni makhluk lain, yakni “Negeri Atas Langit”, “Negeri Bawah Tanah” dan “Negeri Arwah”. Dewa penghuni Negeri Atas Langit dipersonifikasikan sebagai burung Enggang selaku lambang keperkasaan. Sedangkan dewa penghuni Negeri Bawah Tanah, diapresiasikan sebagai Naga selaku lambang kesuburan.
Oleh sebab itu, komunitas adat di Borneo juga meniscayai, alam semesta memiliki tata tertib yang mengatur relasi antara manusia dengan penghuni di negeri lain. Aturan itu, yang sejatinya merupakan local wisdom, dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan interaksi antara “negeri-negeri” itu. Sedangkan hukum alam yang berlaku di dunia, diyakini selaku penjelmaan tata tertib alam semesta. Demikian juga, etika sosial dan tradisi komunitas secara turun temurun, merupakan metafora aktual tata tertib yang baku dari alam semesta ini.
Paradigma tentang semesta itu, secara turun temurun telah terinternalisasi dalam kehidupan mereka. Tak pelak, alam semesta oleh komunitas adat di Borneo, diniscayai penuh dengan kekuatan gaib. Bila tata tertib alam semesta terpelihara, maka kekuatan gaib itu berada dalam keadaan harmoni.
Sebaliknya, bila tata tertib alam semesta terganggu oleh perilaku manusia, maka kekuatan-kekuatan gaib itu mengalami kegoncangan. Oleh sebab itu, menjaga agar terpelihatanya tata tertib alam semesta, tidak saja merupakan hukum kewajiban, melainkan juga menjadi etika moral bagi komunitas adat.
Penelusuran kekayaan Borneo yang bersandar pada paradigma antropologi metafisika ini, sejatinya hendak menyangkal tuduhan, bahwa komunitas adat di Borneo merupakan “kaum primitif” perusak alam. Sebab, yang terjadi justru sebaliknya, eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan ekonomi kapitalis, tidak saja telah menghancurkan tatanan alam, tapi juga memporak-porandakan tatanan kehidupan komunitas adat. Dominasi manusia atas alam, sejujurnya telah melahirkan prahara budaya di Borneo.
Dominasi Manusia Atas Alam
Meski bukan satu-satunya penyebab, namun timbulnya masalah ekologi tak terpisahkan dari pandangan kosmologi tertentu, yang secara faktual menumbuhkan sikap eksploitatif. Hingga saat ini, terdapat ragam pendekatan etika lingkungan, diantaranya egosentris, homosentris dan ekosentris.
Ketiga pendekatan itu, selalu mendasari posisi politis dari pelbagai kelompok yang berkepentingan terhadap sumber daya alam. Konflik kepentingan multifihak yang terus merebak, selalu mengacu pada pendekatan etis itu.
Secara ringkas dapat diterangkan, etika egosentris senantiasa konsisten mendasarkan diri pada kepentingan individu. Dan acapkali mengklaim, apa yang baik bagi individu adalah juga baik bagi masyarakat. Paradigma ini, memperoleh pendasaran filosofis dari pemikiran Thomas Hobbes, lewat pepatah yang tersohor “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Dengan demikian etika egosentris, didasarkan pada asumsi, manusia semestinya memperlakukan alam menurut insting natural.
Adapun etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan masyarakat. Etika ini meniscayai model-model kepentingan sosial dan pendekatan pelaku lingkungan yang melindungi kesejahteraan masyarakat. Namun karena sifatnya yang utilitaris, etika ini mengarah pada pengurasan sumber daya alam dengan dalih kepentingan masyarakat. Salah satu problema utama etika egosentris dan homosentris, adalah kegagalannya memperhitungkan faktor eksternal ekologi.
Sedangkan etika ekosentris, mendasarkan diri pada kosmos. Lingkungan secara keseluruhan dinilai pada dirinya sendiri. Dengan demikian, paradigma ekosentris merupakan alternatif yang paling mungkin untuk memecahkan dilema etis ekologi. Terlebih karena, pandangan ekosentris meniscayai, bahwa hal yang utama, adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem yang sehat. Karena, seperti halnya manusia, semua benda dalam kosmos mempunyai tanggung jawab moral.
Senyatanya, pertarungan antar paradigma itu, setidaknya telah melahirkan konflik kepentingan antara kelompok privat dan individu, rakyat dan negara, investor dan rakyat. Sehingga, secara sosio politik-budaya, situasi kehidupan manusia justru menjadi kian tidak adil.
Terlebih karena, eksploitasi sumber daya alam yang terjadi selama bertahun-tahun, justru melahirkan perkembangan yang menghasilkan kerusakan alam semesta. Kesemuanya itu tampak nyata dalam praktik industrialisasi, imperialisme, militerisasi dan overkonsumsi. Harga yang paling mahal dari perkembangan peradaban itu, adalah degradasi lingkungan yang maha dahsyat. Bumi yang hanya satu itu, terus menerus menjadi arena pertarungan keserakahan manusia.
Sesungguhnya, problem mendasar ekologi yang bermuara pada dominasi manusia atas alam, adalah overkonsumsi oleh dunia industri dan kaum elit urban. Dominasi manusia atas alam, menjadi semakin kuat mengakar karena dukungan teknologi. Perkembangan teknologi, kian memperkuat posisi manusia dalam kedudukannya sebagai “sang penguasa” alam semesta dan berbagai kekayaan alam yang dikandungnya.
Dalam konteks Borneo, dominasi manusia atas alam, beserta dampak yang musti ditanggung, telah berlangsung sedemikian rupa. Esensinya, praktik eksploitasi sumber daya alam dalam paruh waktu 1970-2000 telah mengakibatkan kerusakan alam yang sedemikian parah. Bahkan, secara serius mengakibatkan komunitas adat menjadi “Terombang-ambing di terjang gelombang peradaban” juga “Kearifan tradisional tercabik-cabik modernisasi”, sehingga mereka “Menjadi orang asing di negeri sendiri,” dan akhirnya mereka kian “Terpuruk menggapai masa depan”
Sekali lagi hendak ditegaskan. Akumulasi dari dominasi manusia terhadap alam, juga melahirkan prahara budaya, karena ternegasikannya hak-hak budaya masyarakat adat. Dalam kata lain, proses penghancuran masyarakat adat telah berlangsung secara sistematis seiring dengan proses pemiskinan struktural, sehingga masyarakat adat di Borneo kian tidak memiliki akses terhadap penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Menengok sisi lain terungkap pula, dalam praktik ekspolitasi sumber daya alam di Borneo, keberadaan masyarakat adat hanya dijadikan legitimasi oleh pemerintah. Seiring dengan itu, kooptasi terhadap lembaga adat serta internalisasi kebijakan dan peraturan perundangan-undangan ke dalam hukum adat, juga dilangsungkan secara sistematik sebagai upaya penaklukan budaya.
Dengan demikian, sejatinya akar dari perbagai persoalan dan meruyaknya konflik pengelolaan sumber daya alam di Borneo, adalah ketidak-adilan dalam alokasi sumber daya alam.
Selain itu, juga ketidakadilan dalam distribusi hasil sumber daya alam, karena bersandar pada sistem politik represif yang sentralistik. Ditambah dengan penisbian pengakuan hak-hak masyarakat, genaplah sudah proses marginalisasi terhadap komunitas adat di Borneo.
Intinya hendak dikatakan. Eksploitasi sumber daya alam membuktikan tidak adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak masyarakat adat. Dengan demikian, merebut kembali kedaulatan budaya merupakan obsesi yang musti diperjuangkan bagi kepentingan masyarakat adat di Borneo.
Selain itu, sebagai konsekuensi praktis dari hubungan manusia dengan alam, upaya merebut kembali kedaulatan, merupakan refleksi otokritik demi pembaharuan peradaban yang sehat dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Sebab, dominasi manusia atas alam dan ekspresi naluri keserakahan yang termanifestasi pada tindakan eksploitatif, telah melahirkan prahara budaya bagi komunitas adat di Borneo.
Merebut Kedaulatan Budaya
Dalam konteks merebut kembali kedaulatan budaya, semestinya dipahami apa yang dikatakan Alfred North Whitehead. Ia menegaskan, alam semesta merupakan organisme besar, yang terbentuk dari ragam organisme kecil yang saling berpaut, sebagai bagian organiknya, keseluruhan kosmos merupakan suatu ekosistem yang holistik
Sejalan dengan itu, etika ekosentrisme, yang mendasarkan diri pada kosmos, menegaskan bahwa lingkungan secara keseluruhan musti dinilai pada dirinya sendiri. Maka, seperti halnya manusia, semua benda dalam kosmos mempunyai tanggung jawab moral sendiri.
Dalam perspektif budaya, paradigma ekosentris menemukan pertautan nan mendalam. Utamanya karena, kebudayaan diniscayai sebagai hasil dari karya, rasa dan cipta suatu komunitas. Selain itu, kebudayaan juga dimaknai sebagai “superorganic” lantaran pewarisan kebudayaan terus berlangsung dari generasi ke generasi, sekalipun orang-orang yang menjadi anggota komunitas, senantiasa silih berganti disebabkan oleh kematian, perkawinan dan kelahiran. Dengan demikian, kebudayaan senantiasa meliputi suatu sistem nilai, norma moral serta etika yang berlaku dalam komunitas tertentu.
Celakanya, menurut Franz Magnis Suseno, acapkali muncul kecenderungan kebudayaan difahami sebagai komoditas. Sehingga menguatlah mainstream yang mengasumsikan mutlaknya rekayasa budaya, sebagai upaya penyesuaian terhadap aktivitas pembangunan. Padahal, kebudayaan bukanlah benda dan bukan obyek rekayasa. Sebab, kebudayaan merupakan ungkapan dialog terus menerus dalam kehidupan, maka dialog kebudayaan tidak mungkin direkayasa.
Oleh sebab itu, merebut kembali kebudayaan sebagai arena perjuangan demi pemulihan kehidupan sosial yang holistik, merupakan agenda mendesak. Terlebih karena, praktik eksploitasi sumber daya alam yang selama ini bersandar pada paradigma developmentalis, telah memanipulasi dan mengendalikan segala aspek kehidupan, demi kepentingan ekonomi kapitalis dan stabilitasi politik. Di mana hal itu, justru memberi kontribusi pada kerentanan sosial saat terjadi konflik perebutan akses sumber daya alam dalam berbagai perspektif.
Ikhtiar merebut kembali kedaulatan budaya, kiranya dapat dimulai (sekalipun bukan satu-satunya cara), melalui revitalisasi folklor. Kiranya tak tersangkal, komunitas adat di Borneo, sesungguhnya menyimpan harta karun folklor yang tak ternilai harganya, yang selama ini justru terabaikan sebagai sebuah kekuatan kolektif.
Padahal, folklor yang diwariskan secara turun temurun dan menjadi unsur pendukung identitas budaya, memiliki nilai strategis sebagai arena perjuangan bagi komunitas adat di Borneo untuk merebut kembali kedaulatan budayanya. Berikut hendak diuraikan secara ringkas, khasanah budaya Dayak di Borneo dalam konteks folklor.
Sebagaimana lazimnya komunitas adat di Borneo, demikian juga komunitas Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah, mereka juga memiliki tradisi menuturkan sejarah masa lalu dan adat istiadat. Tradisi ini, oleh orang Maanyan disebut ngentang atau nutup tarung. Selain itu, mereka juga mempunyai cerita legenda, mite, balada dan lagu-lagu tentang kebesaran dan kemakmuran komunitasnya.
Sesungguhnya, mantra merupakan bagian tak terpisahkan dalam pelbagai ritual upacara adat. Mantra yang dilafazkan secara tematik, sejatinya tidak sekedar merupakan rangkaian bunyi bernuansa magis. Melainkan juga mengandungi nilai kearifan dan pengetahuan yang telah teruji dalam kehidupan sehari-hari.
Mantra upacara adat kematian (kewangkey) pada suku Dayak Benuaq misalnya, yang ditujukan untuk menghantar arwah, senyatanya membuktikan konsepsi mengenai wilayah persekutuan hukum adat. Pada rute perjalanan menghantar arwah, disebutkan banyak tempat musti disinggahi. Dan dalam mantra itu, senantiasa dijelaskan fungsi serta kepemilikan lokasi-lokasi yang disinggahi arwah dalam perjalanannya menuju Negeri Keabadian. Sejatinya, dibalik mantra itu terkandung pemahaman tentang konsep teritori dan penguasaan terhadap akses sumber daya alam.
Sementara ini banyak pihak berpendapat, bahwa komunitas adat di Borneo tidak memiliki aksara. Padahal tidak benar. Komunitas adat Dayak Bahau di Kalimantan Timur misalnya, mereka memiliki tradisi tulis. Di mana aksara yang mereka gunakan merupakan himpunan lambang-lambang bunyi yang ada pada alam dan kehidupan sehari-hari. Tragisnya, aksara yang semula potensial digunakan sebagai sarana komunikasi itu, kini telah punah.
Tradisi melukis tubuh (tato) pada komunitas adat di Borneo senantiasa mengandung nilai kearifan budaya. Bila dicermati motif-motifnya, tradisi ini juga mengungkapkan simbol-simbol alam. Corak tato suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah misalnya, mengandungi simbol alam semesta. Sedangkan pada Dayak Kayan dan Kenyah di Kalimantan Timur, motif rajah tubuh lebih terkait dengan simbol alam baka.
Tradisi merajah tubuh, kini mulai musnah diterjang peradaban modern. Sehingga punah pula pemaknaan terhadap simbol-simbol alam, yang terekspresikan dalam ragam motif rajah tubuh komunitas adat di Borneo.
Mengenai pengobatan tradisional, komunitas adat di Borneo memiliki pengetahuan dan kearifan yang khas. Komunitas Dayak Benuaq misalnya, membuktikannya dalam upacara adat penyembuhan yang memanfaatkan ramuan obat dari tetumbuhan hutan. Dalam konteks ini, mereka mengenal obat-obatan tradisional untuk pelbagai penyakit yang dibuat dari akar atau pepohonan tertentu.
Lazimnya, tatacara pengobatan itu, senantiasa disertai sejumlah pantangan untuk setiap jenis penyakit. Hal itu mempertegas, betapa dahsyat pengetahuan mereka tentang pengobatran tradisional yang telah teruji secara turun temurun. Maka tak berlebihan, bila 107 tahun silam, Dr. Anton W. Nieuwenhuis melontarkan kekaguman, “Cara pengobatan itu merupakan prestasi yang luar biasa. Kita pun pantas mengagumi, karena sejumlah pantangan itu sesuai dengan kaidah pengetahuan kedokteran.”
Oleh sebab itu, eksploitasi sumber daya alam yang berdampak memusnahkan potensi tanaman obat hutan, merupakan ancaman bagi kelestarian pengetahuan pengobatan tradisional pada komunitas adat. Betapa tidak. Berdasarkan hasil eksplorasi tanaman obat hutan, yang difasilitasi Mapflofa di Pepas Eheng, Engkuni Pasek dan Benung, Kabupaten Kutai Barat, telah ditemukan 563 jenis tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan untuk obat. Maka, sesungguhnya tidak saja diperlukan upaya pelestarian tanaman obat, namun juga jaminan pengakuan terhadap hak intelektual, serta kepastian hukum terhadap terlindunginya potensi sumber daya alam.
Dari uraian ringkas mengenai khasanah folklor, kiranya memperteguh alasan betapa pentingnya, upaya merebut kembali kedaulatan budaya sebagai arena perjuangan komunitas adat. Terlebih karena, selama bertahun-tahun hingga saat ini, kebudayaan komunitas adat senantiasa diperlakukan sebagai sarana dominasi dan kooptasi oleh negara. Akibatnya, terus muncul ketegangan dan konflik multi pihak dalam perebutan akses sumber daya alam.
Selain itu, pemenuhan hak komunitas adat dalam mengekspresikan diri melalui budaya, beserta berbagai bentuk ekspresi seni dan ritualnya, juga penting untuk memungkinkan penataan kembali kehidupan bermasyarakat secara holistik, di mana budaya menjadi bagian integral dari kehidupan politik, ekonomi dan social.
Gong Penutup
Kini dalam konteks refleksi peradaban, hendak ditegaskan bahwa setiap kebudayaan, adalah totalitas yang unik dan merupakan konfigurasi suatu “gaya”, “mood”, pola dan genius. Sehingga, setiap konfigurasi kultural, senantiasa hidup karena suatu nafas kehidupan serta pandangan dunia yang khas. Hal itu, hendaknya musti ditemukan oleh setiap manusia, agar dapat memahami kebudayaan secara utuh.
Dengan demikian, pesan antropologi dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, ialah memahami keanekaan dalam nilai-nilai, menghimbau umat manusia agar toleran terhadap “equally valid patterns of life”, yang telah direkontruksi oleh manusia selama perjalanan sejarahnya.
Sementara itu, musti juga difahami bahwa setiap kebudayaan mempunyai identitas sendiri, dengan demikian unik dihadapan kebudayaan lain. Hal itu tidak berarti, suatu kebudayaan menutup diri terhadap kebudayaan lain. Olehnya itu, paradigma etnosentrisme sudah tidak relevan. Sebab, umat manusia sedang menuju pada universalisme. Namun bukan universalisme kebudayaan, melainkan universalisme moral. Maka pertanyaan refleksinya adalah, dalam konteks eksploitasi sumber daya alam, benarkah telah menunjukkan diri sebagai bangsa beradab?
Satu hal yang juga penting dalam konteks universalisme moral, adalah mengenai identitas komunitas Dayak di Borneo. Karena tak tersangkal, identitas komunitas adat, adalah kediriannya yang terbentuk dalam proses perkembangan menyejarah. Namun, eksploitasi sumber daya alam telah melahirkan prahara budaya. Dan secara perlahan namun pasti bahkan terus menerus, akan mempertautkan komunitas Dayak dengan kebudayaan luar. Yang akhirnya, mungkin saja mengkikis identitas budaya Dayak.
Memang tak ada survival bagi sebuah komunitas yang tidak “termodernisasi” menjadi “bangsa modern”, karena memang itulah esensi dinamika kebudayaan. Namun bila proses itu, telah memusnahkan identitas budaya Dayak, maka prahara budaya telah menemukan titik kulminasinya, yakni kematian sebuah kebudayaan. Dan eksploitasi sumber daya alam, telah memberi sumbangan yang amat signifikan dalam “pembunuhan kebudayaan” di Borneo.
Akhirnya, sebagai refleksi terhadap prahara budaya dalam konteks eksploitasi sumber daya alam, layak disimak pandangan pakar ekologi Tom Dale dan Vernon Gill Carter, yang termuat dalam buku “Kecil itu Indah”, karangan E.F. Schumacher, demikian bunyinya:
“Manusia beradab, hampir selalu berhasil menguasai lingkungan hidupnya untuk sementara. Kekuasaan yang bersifat sementara itu, dikiranya abadi.
Dia menganggap dirinya menguasai seluruh dunia. Padahal dia tak mampu mengetahui hukum alam sepenuhnya.
Manusia, baik beradab maupun biadab, adalah anak alam bukan tuan yang menguasai alam. Bila ia mau mempertahankan kekuasaannya. Dia harus menyesuaikan diri pada hukum alam tertentu.
Jika ia mencoba mengelakkan hukum alam. Lingkungan alam yang mendukungnya akan hancur. Jika lingkungan hidupnya hancur, maka peradaban juga akan hancur”.