Program-Program Desantara

desantara-default

Desantara.or.id

Desantara menyadari bahwa program-program yang digulirkan mengandung beragam isu. Isu-isu ini membutuhkan penajaman dan pendalaman yang lebih luas. Sejak tahun 2005 pemikiran untuk menfokuskan ide-ide Kebudayaan Desantara menghasilkan pemikiran penting. Salah satunya adalah kebutuhan untuk mengembangkan unit kerja tertentu di Desantara yang bekerja berdasarkan isu spesifik. Berdasarkan hal ini isu-isu ini dimatangkan ke dalam jenis-jenis program berikut:

1. MADILOGK (Media Advokasi, Dialog Agama dan Kebudayaan) Desantara

Program ini merupakan pilot project yang dilakukan di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Namun sejak tahun 2005 pilot project diperluas di beberapa tempat; Kalimatan Timur, Kalimantan Selatan. Tidak menutup kemungkinan di tahun-tahun mendatang kegiatan ini akan terus diperluas demi memenuhi tuntutan dan kebutuhan jaringan Desantara yang terus bertambah di beberapa daerah

Secara umum pemikiran yang melatari kegiatan ini adalah kebutuhan untuk membangun aksi dialogisme untuk membangun konsolidasi masyarakat sipil (civil society) dalam semangat saling menghargai perbedaan kebudayaan satu sama lain. Posisi rakyat, khususnya di pesantren, komunitas kesenian lokal, dan indegenous people di masa-masa sebelumnya menghadapi berbagai rintangan untuk mendapatkan akses yang baik terhadap ruang publik. Wilayah mereka yang secara umum berada di medan geografis pedesaan seringkali menjadikan mereka sebagai obyek dari kebijakan-kebijakan negara.

Kondisi ini nyaris belum banyak berubah paska pemerintahan otoritarianisme Orde Baru. Misalnya sampai saat ini, ruang publik sebagai media bersama mulai diwarnai berbagai wacana yang saling bersaing dan masih terlihat kecenderungan untuk saling memonopoli ruang bersama ini. Seiring memudarnya kuasa negara sebagai juri penengah, dan semakin pudarnya kuasa negara untuk menegakkan hukum, sebagian masyarakat bahkan saling berkonfrontasi untuk menguasai ruang publik ini.

Persaingan antar kelompok pun terjadi sebagai akibat dari politik untuk membangun kekuasaan baru. Hubungan-hubungan antar budaya, dan antar agama di Indonesia masih menjadi ancaman dan potensi disintegrasi. Sinyal bagi melemahnya negara sentralistik paska Orde Baru tidak lalu mendorong momentum bagi rekonsolidasi masyarakat sipil di Indonesia. Politik kebudayaan massa-rakyat terus menerus dihantui oleh sikap saling mencurigai, negativitas, dan eksklusifisme satu sama lain. Kondisi ini memberi peluang bagi munculnya kekerasan antar kelompok, dan tidak jarang kekerasan ini dipertajam karena ketiadaan berbagi kepentingan sekaligus penghormatan terhadap sikap budaya dan keagamaan mereka yang berbeda.

Kegiatan dialog yang dibungkus melalui tema Halaqah ini meliputi forum tatap muka (workshop, seminar), kampanye melalui media-media koran di daerah dan penerbitan buku. Tidak jarang kegiatan ini disertai aksi pendanpingan terhadap isu-isu aktual yang terjadi di beberapa daerah yang mengancam kehidupan yang co-existence antara satu budaya dengan budaya lain.

Seluruh proses Cultural Reconciliation ini tidak membawa dampak lebih signifikan tanpa dibarengi oleh perjuangan untuk mendapatkan status hukum (advokasi paralegal). Program ini sekaligus merupakan bentuk kepedulian Desantara untuk ikut mengiringi terbentuknya sistem perundang-undangan dan regulasi negara yang mencerminkan semangat toleransi dan penghargaan atas keanekaragaman budaya di Indonesia. Secara spesifik isu-isu hukum yang didampingi Desantara adalah isu mengenai pluralisme keagamaan, dan kebudayaan yang membawa akibat langsung bagi keberadaan pesantren, komunitas kesenian (tradisional) di tingkat lokal dan komunitas indegebous people di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, jumlah aliran keagamaan dan kepercayaan di Indonesia jauh dari yang diperkirakan oleh catatan negara. Selain lima agama; Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha, sejumlah kepercayaan keagamaan lokal masih bertahan sampai saat ini. Kelompok-kelompok dengan tradisi dan budaya spesifik ini bukan saja memiliki praktik kebudayaan yang berbeda, namun juga menuntut pengakuan yang sama atas apa yang mereka yakini sebagai agama mereka. Di Sulawesi Selatan misalnya. Propinsi dengan penduduk mayoritas beragama Islam ini faktanya memiliki beragam budaya yang berbeda-beda. Tidak jarang keanekaragama kebudayaan ini membawa tuntutan kolektif agar identitas-identitas yang spesifik ini juga mendapatkan pengakuan resmi dari negara, khususnya pengakuan atas identitias keagamaan mereka.

Sayangnya tuntutan ini dikesampingkan negara. Sebagian besar kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak beragama mengalami reperesi, teror dan sejumlah praktik intimidasi lain. Paska peristiwa konflik nasional 1965, kebijakan agama gencar dilakukan negara untuk memaksa kelompok-kelompok yang dianggap belum menganut agama supaya memilih salah satu dari lima agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha). Selama Orde Baru agama-agama yang tidak masuk dalam lima agama ini dicatat sebagai “aliran kepercayaan”. Kelompok aliran kepercayaan ini dalam praktiknya masih diharuskan untuk berafiliasi dengan salah satu dari lima agama di atas. Kebijakan ini berlangsung selama puluhan tahun. Selama masa rezim Orde Baru kebijakan ini menimbulkan sejumlah implikasi yang eksesif.

Pada tahun 2003 program advokasi Desantara berhasil mendampingi Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUUKUB) yang dianggap bermasalah. Undang-undang dianggap terlalu mengintervensi dan membatasi kebebasan warganegara dalam menjalankan peribadatannya. Pada tahun 2004 kegiatan untuk mengawal dan memperjuangkan regulasi negara yang lebih memiliki semangat kebebasan beragama dilakukan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Gerakan advokasi juga berhasil membangun simpul-simpul gerakan masyarakat sipil di akar rumput.

Tahun 2006- sekarang MADILOGK Desantara kembali terlibat advokasi pendampingan Rancangan KUHP yang kini menimbulkan pro-kontra di masyarakat.

2. MAKKAR (Media Advokasi dan Kajian Kesenian Rakyat) Desantara

Salah satu peserta Halaqah Kebudayaan Desantara adalah komunitas-komunitas kesenian di daerah. Kehadiran mereka menguak tabir-tabir gelap atas dinamika keberadaan mereka. Sebagian besar nasib mereka sangat dipengaruhi oleh desakan politik yang tidak dapat dielakkan. Misalnya kesenian-kesenian seperti Ludruk, Ketoprak, Tayub dan kesenian lain, baik di Jawa maupun di luar Jawa mulai berubah drastis karena peristiwa 1965. Sebagian tenggelam karena tokoh-tokohnya di-Komunis-kan, sebagian lagi “tenggelam” karena terlampau asik dengan menarik aksi panggung mereka demi kepentingan-kepentingan politik negara. Praktis hubungan yang begitu dekat dengan negara menjauhkan komunitas kesenian itu sendiri dari massa-audiensnya. Kegagalan menciptakan komunitas penonton dan basis audiens terlindas oleh pergesekan politik Orde Baru yang berhasil menciptakan massa mengambang (floating mass). Nyaris seluruh kesenian rakyat kehilangan elan kerakyatannya karena spirit rakyat dalam berorganisasi dimasukkan dalam kegiatan subversi. Selama puluhan tahun rakyat dirongrong oleh kebijakan yang menindas dan selama puluhan tahun itu pula aktivitas rakyat dalam mengembangkan organisasi dan ekspresi kebudayaannya tersumbat.

Maka pengorganisasian kesenian rakyat berarti mengembalikan ekspresi kebudayaan kepada rakyat, karena bagi Desantara, tanpa rakyat, kebudayaan itu sendiri tidak bernilai apa-apa.

Mulai tahun 2006 Desantara mulai melakukan kajian dan pendampingan kesenian rakyat di beberapa tempat: Ludruk di Malang (Jawa Timur), Kesenian Jaranan di Kediri (Jawa Timur), Reyog Ponorog (Jawa Timur), Gandrung Banyuwangi (Jawa Timur), dan beberapa kesenian ritual di luar Jawa.

3. KANAL (Kajian Nasionalisme dan Lokal Demokrasi) Desantara

KANAL Desantara diawali oleh diskusi-diskusi politik dan kebudayaan dalam menyikapi kegairahan daerah-daerah di Indonesia yang menggemakan isu kemerdekaan dan otonomi selama masa transisi paska Orde Baru. Diskusi dengan mengundang peserta terbatas ini kemudian dilabeli dengan topik: “Rethinking Indonesia”. Diskusi ini berlangsung dua kali, tahun 2001 dan 2002. Diskusi ini mengundang beberapa tokoh penting baik dari akademisi (intelektual) maupun aktor politik daerah yang membidani gerakan-gerakan daerah. Misalnya Al Azhar, adalah presiden Gerakan Riau Merdeka sampai sekarang.

Diskusi ini menghasilkan inspirasi dan gagasan-gagasan baru. Salah satunya adalah terbitnya kerjasama penelitian antara Desantara, LIPI dan Menristek dalam proyek penelitian bertopik: Nasionalisme dalam Perspektif Negara dan Masyarakat: Kasus Riau, Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur. Penelitian ini kelak akan diterbitkan dalam bentuk buku.

KANAL Desantara dimaksudkan untuk memediasi isu-isu politik di masa transisi dengan mengikuti dinamika politik dan kebudayaan di daerah-daerah. Dinamika ini adalah bagian dari cermin politik Indonesia saat ini. Mencairnya kredo NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang diiringi proses desentralisasi, dan maraknya aksi-aksi daerah adalah bagian dari project bersama kita dalam “Menjadi Indonesia”. KANAL Desantara ingin memperjuangkan dan mempertajam partisipasi dan otonomi sebagai prinsip dasar dalam mengiringi project bersama ini.

Oleh karena itu, KANAL Desantara ingin mengantarkan proses menjadi Indonesia (atau bahkan membubarkannya?) supaya dilewati melalui cara yang elegance, manusiawi serta menjunjung tinggi nilai-nilai HAM sebagai nilai bersama yang harus kita sepakati dalam percaturan global.

4. KP (Kajian Perempuan) Desantara

Isu kesetaraan Gender rupanya menjadi isu penting yang sulit dilewatkan dalam diskursus kebudayaan di Indonesia. Komunitas kesenian lokal yang pada umumnya ternyata perempuan menjadi salah satu pendorong Desantara terlibat dalam kajian perempuan dan kebudayaan. Di dalam komunitas pesantren posisi perempuan juga jarang disinggung sebagai produsen bagi penciptaan wacana keagamaan (Islam) sebagaimana yang selama ini dikonsumsi di pesantren-pesantren.

Wacana keagamaan patriarkis tidak jarang melabeli posisi perempuan yang menghidupi kesenian tradisi sebagai amoral dengan beragam stereotipe negatif yang melatarinya. Relasi yang tidak harmoni antara pekerja seni dan kelompok agama (pesantren) seringkali membawa implikasi lebih serius bagi posisi perempuan itu sendiri. Agama-agama besar yang selama ini hidup di Indonesia secara terus menerus membangun sikap negatif terhadap komunitas indegenous people dan segenap warisan tradisi kesenian yang mengitarinya.

Kajian Perempuan Desantara hendak menyosialisasikan gagasan perempuan dalam kaitannya dengan isu agama dan kebudayaan. Rekonsiliasi kultural sebagaimana menjadi tema besar Desantara diharapkan juga membawa implikasi bagi terbukanya pemahaman keagamaan yang lebih toleran dan inklusif di kalangan pesantren dan komunitas agama terhadap kesenian tradisi dan seluruh aspek kebudayaan indegenous people.

Representasi yang membuka perspektif baru atas dinamika kesenian tradisi dan indegeous people di Indonesia merupakan bidang kampanye dan sosialisasi kognitif yang dikerjakan Kajian Perempuan Desantara.

Sejak tahun 2002, kajian Desantara memprakarsai terbentuknya media perempuan multikultural. Melalui media ini kekayaan hidup yang dimiliki perempuan di berbagai sistem kebudayaan di Indonesia dapat diinformasikan ke seluruh lapisan masyarakat. Representasi renik dan khasanah perempuan seperti ini diharapkan menggugah kesadaran publik untuk menggiatkan diskursus keagamaan dan kebudayaan yang lebih toleran terhadap khasanah multikultural dan keanekaragaman budaya di Indonesia.

Selain kegiatan media, Kajian Perempuan Desantara akan mendorong komunitas-komunitas epistemik di kalangan perempuan di daerah-daerah agar mampu menandingi diskursus publik yang terlalu berpihak kepada sistem patriarkis.

BAGIKAN: