Dewan Kesenian seringkali jadi ajang konflik antar seniman. Kedekatannya dengan kekuasaan, membuat lembaga ini urung memperjuangkan kepentingan kaum seniman. Berikut ini wawancara Paring Waluyo dengan Raharjo Untung, seniman pendiri Komunitas Tikar Budaya dan Kepala SMUI Mumbulsari Jember, seputar ribut-ribut yang pernah melanda Dewan Kesenian Jember (DKJ), belum lama ini.
Anda tercantum dalam kepengurusan Dewan Kesenian Jember (DKJ). Tanggapan Anda?
Wah, saya benar-benar nggak tahu. Saya justru baru tahu dari Anda. Memang sejak awal DKJ ini akan dibentuk, saya dengar ada kubu-kubuan. Saya lebih memilih independen. Saya lebih senang menjadi pelaku seni, daripada menjadi pengurus manajemen kesenian.
Nama Anda tercantum dalam skenario kepengurusan dua versi DKJ?
Saya tidak tahu kalau ujungnya seperti ini. Di kubu Mas Faturahman, waktu itu saya hanya diundang sebagai pembedah kumpulan puisinya Mbah Fadli. Saya tidak tahu kalau acara itu juga digunakan untuk merumuskan kepengurusan DKJ. Sedangkan acaranya Mas Gatot di Kantor Diknas Jember, kapasitas saya hanya moderator. Saya juga tidak tahu kalau itu proses pembentukan DKJ.
Nampaknya kedua kubu ini punya pendukung masing-masing. Menurut Anda?
Saya lihat kelompoknya Mas Fatur dan Mas Sulung ini masih terbatas di kalangan kampus, rata-rata seniman sekolahan. Sementara kelompoknya Mas Gatot lebih mencakup banyak seniman desa. Ini bisa dimaklumi sebab Mas Gatot orang lama yang terlibat dalam hiruk pikuk kesenian di Jember. Tapi mungkin saja ini karena kepintaran Mas Gatot dalam mempersuasi seniman.
Menurut Anda, kenapa muncul konflik kepentingan di DKJ?
Saya tidak tahu soal itu secara mendalam. Saya menduga sebenarnya mereka hanya ingin diakui eksistensinya saja. Untuk itu saya lebih memilih surut dari percaturan keduanya. Karena menurut saya, kondisi seperti ini tidak akan membantu pengembangan kesenian di Jember.
Menurut Anda, apa tindakan yang tepat untuk mengatasi kisruh ini?
Harus ada kekuatan yang bisa merangkul dua kelompok ini. Kekuatan itu ada di tangan Bupati dan DPRD. Jika DKJ disusun melalui kondisi seperti ini, saya memprediksikan DKJ akan menjadi lembaga yang sangat rapuh, dan lebih banyak polemiknya ketimbang aktivitas berkesenian. Potensi kesenian pun tak akan berkembang dengan baik.
Misalnya?
Beberapa saat yang lalu, saya dihubungi Bagus Barlean. Ia bilang punya dana, dan saya diminta untuk merencanakan kegiatan kesenian. Lalu saya bilang kepadanya: “lebih baik kamu hubungi saja Pak Iman Suligi untuk urusan seperti ini, saya tidak bisa”. Persisnya, saya tidak tahu apakah dana yang dimaksudkan oleh Bagus Barlean itu sebagai manifestasi program kerja DKJ ataukah program yang lain. Tapi saya mengira, dukungan dana APBD Kabupaten Jember untuk program-program kesenian hanya menguntungkan orang per orang yang memiliki kedekatan dengan birokrasi.
Bagaimana respon para seniman selama ini?
Kebanyakan mereka nggak tahu soal-soal begini. Ketika banyak seniman desa berkumpul di Kantor Diknas beberapa waktu lalu, saya melihat raut muka ceria di wajah mereka. Mereka senang karena pemda mau memperhatikan nasib mereka. Dari raut muka yang polos ini nampak sekali mereka sebenarnya butuh diapresiasi dan dihargai. Bukan untuk tunggangan politik. Sebaiknya forum seniman semacam itu digunakan untuk menangkap suara-suara polos para seniman, ketimbang memperebutkan sebuah lembaga. Desantara