Seperti yang sudah-sudah, puncak perayaan HUT Kabupaten Malang selalu saja diwarnai nada-nada kecewa sejumlah seniman Malangan. Setiap peringatan tahunan itu digelar, ada saja masalah yang tersisa. Begitu juga kesan yang nampak pada acara Grebeg Singosari kemarin. Rame-rame antar seniman serta antara seniman dan pejabat pemerintah pun tak bisa ditutup-tutupi.
Sebut saja, misalnya, kesan yang dirasakan Suwito Joyo Suwondo, salah seorang seniman wayang kulit. “Kaum seniman kerapkali dirugikan,” keluhnya. Ia pun mengaku seniman hanya diperalat untuk kepentingan sesaat, demi keuntungan politik. Entah kepentingan apa gerangan, namun nada jengkel juga diperlihatkan seniman wayang topeng, Soleh Adi Purnomo. Ia menganggap Pemkab Malang tak solider terhadap seniman Malangan. “Sejelek apapun, yang namanya pemerintah harus ngayomi
keseniannya,” ujarnya dengan nada kesal.
Kegaduhan kalangan seniman Malangan ini, tak lain dan tak bukan, terkait dengan keputusan Pemkab membatalkan usulan DKKM (Dewan Kesenian Kabupaten Malang) untuk menggelar pentas seni budaya Malangan dalam Grebeg Singosari di lima titik. Meliputi Malang Utara di Lawang, Malang Timur di Tumpang, Malang Selatan di Pagak, Malang Barat di Ngantang, serta ibukota Kabupaten Malang (pusat) di Kepanjen.
Menurut Henricus Supriyanto yang anggota DKKM, lima titik itu diajukan agar seluruh masyarakat di pelosok daerah, yang notabene pembayar pajak, bisa menikmati kemeriahan acara. Sebenarnya DKKM berharap cakupan wilayahnya lebih luas. Namun mengingat keterbatasan anggaran, dipilihlah lima titik yang dianggap mewakili wilayah sekitarnya. Sayangnya usulan itu kandas karena Pemkab cuma menyetujui dua tempat pertunjukan, yakni Ngantang dan Turen. “DKKM nggak puas,” ujar Henricus mengomentari keputusan sepihak itu.
Ketidakpuasan Henricus dan kawan-kawan terjadi lantaran Pemkab justeru mengontrak Ki Dalang Anom Suroto untuk manggung pada puncak Grebeg Singosari di Pendopo Kabupaten. Apalagi biaya yang dikeluarkan pun cukup mahal, dengar-dengar sekitar 75 juta, yang hampir setara dengan biaya pentas seni Malangan yang diusulkan DKKM.
Maka terasa wajar bila bisik-bisik tajam pun terdengar. “Ini tidak adil,” kata Henricus, “karena Ki Anom Suroto hanya menghibur pejabat, wakil rakyat dan orang-orang terbatas saja yang bisa hadir di tempat pertunjukkan.” Menurut beberapa seniman, kehadiran Anom Suroto sebenarnya untuk mengangkat pamor Pemkab semata karena dianggap berhasil nanggap si dalang kelas atas ini.
Suara lain
Kalaulah boleh pandangan kritis Henricus dan Soleh Adi Purnomo ini dibilang mewakili lembaga resmi DKKM, suara kritis lain yang tak kalah tajam dilontarkan oleh beberapa seniman pinggiran di luar DKKM.
Para seniman yang terakhir ini menganggap upaya Pemkab Malang, MTC, Panitia HUT dan DKKM yang ramai-ramai merepresentasikan usaha pengembangan kesenian, belum berdampak nyata bagi kehidupan berkesenian di tingkat akar rumput, terutama seniman lokal Kabupaten Malang. Gagasan mengenai Grebeg Singosari, dan pengembangan kesenian di lima titik dianggap mewakili konsep elitis yang jauh dari imajinasi komunitas, lebih-lebih sebagai hasil kesepakatan kalangan seniman secara luas.
Di antara seniman Malang yang berada dalam garis pinggiran ini adalah Ki Supangi, seorang dalang kawakan yang konon tak kalah hebat dibanding Anom Suroto.
Ki Supangi tak hanya menyorot pemerintah yang kerap menghargai murah dalang Malangan. Ia juga menyentil para seniman yang terlalu berharap-harap dana pemerintah. “Jangan sampai seniman bergantung kepada pemerintah.” Apalagi pemerintah seringkali meremehkan dalang-dalang lokal, katanya.
Selain pemerintah, Ki Supangi rupanya juga tengah menyorot keberadaan DKKM. Ia mensinyalir ada seniman DKKM yang gemar “memproyekkan” acara-acara resmi pertunjukan. “Misalnya si anu yang mengajukan proyek ke pemerintah, tapi kenyataannya proyek itu dinikmati sendiri,” begitu ujar Ki Supangi menyindir seorang seniman yang nampak berjuang demi para seniman, tapi ujung-ujungnya untuk kepentingan diri sendiri yang ingin tampil. Ia menyayangkan kegiatan proyek itu bukan untuk menghidupkan kesenian Malangan, melainkan justeru demi kepentingan perorangan.
Senada dengan itu, seorang seniman senior bernama Khatam ikut bersuara. Katanya, pemerintah tidak cukup menggelontorkan dana demi pengembangan kesenian. Sebab tidak ada jaminan otomatis kesenian bisa berkembang dengan sendirinya. “Mental seniman juga harus berubah, “ ujar Khatam saat berbincang di tengah-tengah pertemuan komunitas ludruk se-Malang Raya, minggu lalu.
Menurut Khatam, banyak seniman tradisi saat ini terjebak pada mental materialisme, sehingga kebanyakan pertunjukan kesenian motifnya ekonomi. ”Padahal kesenian itu bertugas memberi contoh yang baik kepada masyarakat, satunya kata dan perbuatan dalam panggung dan hidup sehari-harinya.”
Persoalan lain yang menjadi penyakit seniman tradisi, menurut seniman tiga orde ini, adalah menurunnya rasa persaudaraan para seniman. “Mereka tidak memiliki disiplin dalam pertunjukkan,” kata Khatam mengingatkan para koleganya.
Kegusaran Khatam dan Ki Supangi nampaknya mewakili kenyataan pahit seni tradisi belakangan ini. Program pengembangan kesenian, khususnya melalui acara HUT Kabupaten Malang, belum benar-benar melibatkan pelaku-pelaku keseniannya sendiri.
Tragis memang, seandainya acara semacam Grebeg Singosari justru menjauhkan diri dari aktivitas seniman Malangan. Apalagi jika keberadaannya tak lebih dari sekadar representasi kepentingan penguasa ketimbang rakyatnya. Desantara / Paring Waluyo, Heppy B Febriasih