Sekarang ini lagi ramai-ramainya pemerintah daerah membuat sejumlah aturan sendiri. Mengikuti semangat era otonomi daerah, katanya. Yang menggelisahkan dan bikin tidak enak tidur bukan cuma soal aturan tentang retribusi atau pungutan. Melainkan juga soal-soal adat dan yang bersifat keagamaan atau syariat Islam.
Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, adalah yang serius mengangkat isu penegakan syariah Islam. Bahkan ikut menandatangani persetujuan pemberlakukan syariat Islam di bumi La Galigo. Dan keseriusan itu dikongkretkan melalui rancangan peraturan daerah atau Raperda, yang nantinya akan diberlakukan sebagai perda. Tujuannya katanya adalah untuk “menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah”, “untuk membentuk sikap sebagai seorang Muslim dan Muslimah yang baik dan berakhlak mulia”, dan juga untuk “menciptakan masyarakat yang taat menjalankan agamanya”.
Ini seperti ditunjukkan dalam Rancangan Perda tentang “Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Bulukumba” yang baru-baru ini dibuat. Meski aturan kewajiban itu hanya berlaku untuk kalangan terbatas, yakni kalangan pelajar/mahasiswa dan karyawan (pegawai swasta dan negeri terutama), tapi dampak pengaturannya itu yang membuat kekuasaan “negara kecil” bernama pemerintah daerah tambah gede. Karena yang diatur adalah soal busana, dan pemerintah daerah berhak mengontrol dan mengawasi. Apalagi ada sanksi bagi yang melanggar.
Dalam pasal 5 disebutkan “Setiap karyawan/karyawati, mahasiswa/mahasiswi, dan siswa/siswi Sekolah Lanjutan Tingkat atas (SLTA) atau Madrasah Aliayh (MA) serta pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTS) yang beragama Islam diwajibkan berbusana Muslim dan Muslimah, sedangkan bagi warga masyarakat umum yang beragama Islam adalah bersifat himbauan”.
Juga disebutkan ketentuan-ketentuan tentang cara dan bentuk berbusana muslim yang ideal bagi muslimah karyawati dan muslimah siswi dan mahasiswi. Dalam satu pasal disebutkan untuk karyawan: memakai celana panjang dan memakai baju lengan panjang/pendek. Sedangkan untuk karyawati: memakai baju lengan panjang yang menutupi pinggul, memakai rok atau celana panjang yang menutupi sampai mata kaki, memakai kerundung yang menutupi rambut, telinga, leher, tengkuk, dan dada. Lalu disebutkan juga, pakaian sebagaimana tidak tembus pandang, dan tidak memeprlihatkan lekuk-lekuk tubu (tidak ketat).
Selanjutnya dalam ayat 3 dalam pasal yang sama disebutkan “ketentuan mengenai model pakaian Muslim dan Muslimah diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati”. Juga dimuat pasal sanksi: berupa teguran atau kalau yang melanggar itu adalah karyawan/karyawati/dosen/guru-guru, dan kedudukannya sama dengan pegawai maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Displin Pegawai. Selain itu, ada pasal pengawasan yang dilakukan oleh Bupati dan atau pejabat lain yang ditunjuk serta tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Sekalipun Rancangan PERDA ini hanya diberlakukan bagi kalangan Muslim, namun menjadi persoalan bagi komunitas lokal yang terdapat di daerah ini, seperti komunitas Tana Toa Kajang yang tetap mempertahankan ciri khas adat dan tradisinya. Mereka biasanya telah memiliki cara berbusana sendiri. Namun, karena mereka dikategorikan sebagai Umat Islam maka dalam pertemuan-pertemuan publik, yang diatur dalam Raperda harus berbusana Muslim dan Muslimah, maka mereka juga akan dikenakan kewajiban berbusana sebagaimana yang dimaksudkan Raperda tadi.
Selain itu, dalam semangat menegakkan syariat Islam, pemerintah daerah kabupaten Bulukumba juga membuat Raperda tentang “Pandai Baca Al-Quran bagi Murid/siswa Sekolah dan Calon Pengantin dalam Wilayah Kabupaten Bulukumba”. Dalam ketentuan ini, yang dimaksud “pandai baca Al-Quran” adalah “membaca huruf Al-Quran dengan baik dan benar”, dan juga “kemampuan seseorang membaca Al-Quran dengan fasih dengan Ilmu Tajwid”. Ilmu tajwid adalah keterampilan membaca Al-Quran berdasarkan kaedah dan aturan pembacaan yang sudah distandarkan. Dan aturan ini diberlakukan bagi para murid dan pelajar dari tingkat dasar hingga tingkat SLTA. Berikut ketentuannya:
1. Murid SD lancar membaca huruf Al-Quran dengan mengenal tajwid dasar
2. Siswa SLTP lancar membaca dan mengenal tajwid serta irama dasar
3. Siswa SLTA pandai dan fasih membaca Al-Quran sesuai ilmu tajwid dan mempunyai irama seni yang baik sesuai dengan fitrahnya.
Bagi siswa yang tidak bisa membaca al-Quran sesuai dengan yang dimaksudkan tadi maka menurut pasal 7 tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi: “Bagi tamatan SD dan atau SLTP yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan berikutnya, ternyata tidak mampu membaca dengan baik dan atau tidak memiliki sertifikat pandai baca huruf Al-Quran maka yang bersangkutan tidak/belum dapat diterima pada jenjang pendidikan tersebut”. Dan sertifikat ini akan dikeluarkan oleh Bupati.
Aturan ini juga akan diberlakukan bagi calon pengantin. Kalau beragama Islam, mereka diharuskan bisa membaca Al-Quran sesuai ketentuan aturan membaca yang ditetapkan oleh imam atau KUA setempat. Dalam pasal 6 ayat 1 disebutkan, “setiap pasangan calon pengantin yang akan melaksanakan pernikahan wajib mampu membaca Al-Quran dengan baik dan benar”. Dan ini harus dibuktikan di hadapan pegawai pencatat nikah (PPN) atau dihadapan pembantu pegawai pencatat nikah (P3N). Dan kalau ternyata calon pasangan pengantin itu tidak bisa, maka pernikahan tidak bisa dilangsungkan.
Rancangan ini nantinya akan menimbulkan problem pada tingkat masyarakat lokal. Pertama masyarakat adat dan komunitas lokal biasanya memahami Al-Quran dan mengajarkannya kepada generasi muda lewat simbol-simbol yang mereka pahami yang sudah disesuai dengan kondisi bahasa lokal mereka. Kedua, masyarakat adat biasanya membaca al-Quran dengan cara tertentu yang biasanya keluar dari pakem tajwid dan aturan seni lagu yang dominan. Seperti kalau orang Jawa membaca huruf “‘ain” dengan “nga”, seperti membaca “rabbil ‘alamin” dengan “rabbil ngalamin”. Begitu juga dengan orang Sunda, yang sulit melafalkan huruf-huruf tertentu, seperti pengucapan huruf “dzal” menjadi “dal”. Contohnya “a’udzu” menjadi “a’udu”.
Para pejabat Bulukumba perlu belajar ke orang Jawa dan orang Sunda untuk menghargai dan mentolerir cara membaca Al-Quran yang tidak mesti fasih dan sesuai ilmu tajwid, dan mereka bisa leluasa memahami kandungan makna ayat-ayat? Saya kira, minimal, mereka bisa belajar untuk tidak mengatur ritual orang-orang beragama melalui aturan-aturan perda yang justru menyulitkan orang beragama itu sendiri. Desantara / Ahmad Baso dan Syamsurijal Adh’an