Representasi dalam Spiritualitas Sedulur Sikep

Depok -09 Juni 2008- Sabtu sore yang cerah semakin ganyeng dengan obrolan santai di toko buku Cak Tarno, Jalan Stasiun Universitas Indonesia, mengenai video multikultural yang dibuat Desantara beberapa bulan yang lalu di Pati, Jawa Tengah. Nampak hadir Doni Gahral Ardian (Dosen Filsafat UI), Daniel Hutagalung (Perhimpunan Pendidikan Demokrasi), Ahmad Deni Salman (Fotografer), dan sejumlah pengunjung setia toko buku Cak Tarno. Akbar Yumni selaku fasilitator workshop video komunitas, merasa perlu untuk berbagi pengalaman atas perjumpaan multikultural dengan Sedulur Sikep atau komunitas Samin di beberapa daerah di Pati.

"Kang Kongkon Kang Nglakoni," menjadi judul video komunitas berdurasi 15 menit yang melibatkan komunitas Sedulur Sikep sebagai partisipan selama workshop berlangsung. Akbar pun menjelaskan latar belakang pembuatan video dokumenter komunitas Sedulur Sikep bermula dari kegelisahan Sedulur Sikep mengenai pembuatan film "Lari Dari Blora" yang banyak mengandung permasalahan etika dan representasi. Proses pembuatan film "Lari Dari Blora" menyisakan "ganjalan" di benak sedulur sikep. Pada saat film itu dibuat, pemimpin proyeknya mengklaim bahwa telah mendapatkan izin pembuatan film dari Mbah Tarno, salah seorang sesepuh sedulur sikep. Setelah film itu diputar, sedulur sikep menganggap banyak ilustrasi yang rentan dengan stigma masyarakat Samin, serta tidak sesuai sepenuhnya dengan apa yang mereka yakini selama ini. Misalnya, dalam film itu sosok sedulur sikep digambarkan sebagai seorang pekerja tambang. Padahal selama ini matapencaharian sedulur sikep adalah bertani, dan bagi mereka bertani bukan sekadar matapencaharian, tapi lebih pada keyakinan hidup.

Menurut salah seorang pengunjung, Deni, bahwa mulai tahun 70-an masalah objektivitas-subjektivitas dan representasi mulai diperdebatkan, terutama di dunia fotografi. Ada suatu penyiasatan bagi fotografer untk bermain-main secara visual sebagai penanda kehadiran mereka atas karya-karyanya. Mereka ingin menegaskan bahwa karya mereka bukan sebuah hal yang natural, tapi memang dikreasikan, dan ada intervensi Si fotografer. Mereka ingin melawan keyakinan gambar sebagai alat prejudice. Tetapi memang tidak bisa disangkal bahwa foto dan film adalah sebuah jendela dialog. Dan audio visual lebih kuat untuk melakukan representasi.

Pada kesempatan yang sama Dony menambahkan jika beberapa waktu yang lalu ia pernah didatangi oleh komunitas kepercayaan Sunda kuno. Menurutnya mereka juga tidak mepublikasikan kitabnya secara tertulis, tapi cukup memberikan skripnya secara lisan. Bisanya agama-agama di tanah Jawa meniscayakan bahwa keyakinan adalah sebuah gagasan spiritual yang tidak terpisah dengan perilaku. Aksara itu adalah perbuatan/perilaku, sama dengan Zen Buddism yang juga meyakini pemahaman tindak-tanduk. Perbedaan dengan agama samawi bahwa ada gagasan yang dituliskan kemudian menjadi panduan. Ada gagasan suci kemudian dituliskan, kemudian tafsir kebenaran bisa dilakukan secara personal dengan dengan hanya memegang kitab, tanpa harus berkomunal. Komunitas seperti Samin akan menolak sebuah gagasan yang dimaterialisasikan dalam bentuk tulisan sebagai representasi, karena mungkin dianggap berpotensi mengegoistikkan spiritualitas manusia. Ajaran srawung mengasah hubungan manusia dengan manusia, bukan manusia dengan Tuhannya. Desantara
Tulisan terkait:
Film Etnografi dan Film Brosur Pariwisata; Antara Pengalaman Representasi dan Etika

Akbar Yumni (Desantara)

Doni Gahral Adian

Cak Tarno (Cak Tarno Instute)

Ahmad Deni Salman

BAGIKAN: