Rintik hujan masih juga tak mau reda. Pagi itu, area lapangan adat Tanaa Purai Ngeriman, Barong Tongkok, Kutai Barat, tempat berlangsungnya peringatan 100 tahun Gereja Katolik Kalimantan Timur, nampak basah tergenang oleh guyuran hujan sehari sebelumnya. Sempat muncul khawatir hujan deras bakal membuat enggan jamaah mendatangi peringatan yang dihadiri 14 uskup, duta besar Vatikan dan sejumlah pejabat pemda setempat itu. Meski kekhawatiran ini sirna oleh sekitar 15 ribuan jamaah yang menyemarakkan acara sepanjang hari.
Peringatan seabad Gereja Katolik yang digelar pada Minggu, 8 Juli, lalu selain semarak juga amat monumental lantaran disertai penandatanganan prasasti pembangunan gereja Katolik Santo Aquinas, Katolik Centre dan tugu peringatan menyongsong 100 tahun kedua misi gereja Katolik Keuskupan Agung Samarinda. Namun, satu hal yang mengundang perhatian dalam peringatan itu, yakni kentalnya atmosfir Dayak. Seperti terlihat dari iringan para konselebrans, sekitar 14 uskup dan 42 pastor berbalut kasula (jubah misa) bermotif Dayak. Begitu pula barisan penari tradisional yang mendahuluinya menuju altar depan mengenakan aneka ragam pakaian dan tarian dinamis yang mewakili kekayaan kultural subetnis dominan di Kaltim ini.
Tak pelak, pemandangan ini nampak seperti simbol sukses besar misi penginjilan Katolik di komunitas Dayak satu abad terakhir. Seperti diakui Pastor Florentinus Sului dalam khotbah misanya di depan ribuan jamaah Katolik pada peringatan seabad misi gereja itu, karya misioner di Kaltim telah menuai sukses gemilang. Namun begitu, lanjut Florentinus, tugas itu belumlah selesai. Misi harus dilanjutkan sesuai pesan Injil Lukas 5:1: ”bertolaklah ke tempat yang lebih dalam”.
Antara Ke-Katolik-an dan Ke-Dayak-an
”Sukses gemilang” demikian kalimat yang nampaknya perlu digarisbawahi. Kegemilangan ini bisa berarti gereja berhasil mengubah kepercayaan dan kebudayaan masyarakat Dayak dan memeluk keyakinan baru. Namun bisa juga berarti misi gereja mampu berdialog sambil tetap menghormati warisan tradisi kedayakan yang dianut masyarakat setempat. Karena itu, dimanakah sebenarnya gereja mencapai suksesnya yang gemilang itu?
Sejumlah penelitian antropologis mencatat salah satu keberhasilan misi gereja di bumi Borneo adalah kemampuannya mengidentifikasikan dirinya dengan ke-Dayak-an. Meski identifikasi ini mengandung problem besar mengingat tak sedikit komunitas Dayak yang menganut Islam atau Hindu, tapi paling tidak diklaim kekristenan lebih mampu mengakomodasi tradisi komunitas setempat. Namun begitu sejauhmana akomodasi gereja ini berlangsung, masih perlu diperjelas benar.
Secara historis, tak sedikit proses penginjilan meninggalkan catatan yang menyedihkan. Misi gereja pada fase awal mengabarkan, tak jarang ia dilakukan lewat jalur ”paksaan”. Akibatnya kegiatan misi tidak hanya menuai kegagalan, bahkan juga perlawanan dari masyarakat lokal. Seperti digambarkan Florentius Sului, misi awal ini nyaris selalu berbenturan dengan kepercayaan lokal yang dianut masyarakat. Terbunuhnya Pastor Antonius Ventimiglia pada 1662, katanya, meski tak dijelaskan sebabnya, tak urung memperlihatkan betapa tugas misi kerap memperoleh perlawanan. Benturan antar keyakinan dan pandangan dunia yang beda sudah jelas menjadi akar masalahnya, selain itu cara menyampaikan misi dan bagaimana sikap misionaris terhadap komunitas budaya lain juga amat berpengaruh terhadap respon komunitas lain. Misi atau dakwah yang dipaksakan lewat kekerasan atau mengabaikan dialog, membuat kemungkinan benturan-benturan semacam itu acapkali bisa dipastikan. Selain pada saat yang sama, pandangan bahwa menjadi Katolik berarti secara total harus meninggalkan kebiasaan atau tradisi sebelumnya memperlihatkan suatu arogansi kultural.
Keinginan untuk mengganti dengan kepercayaan yang sama sekali baru tanpa memperhitungkan eksistensi kepercayaan lokal semacam itu jelas kini menjadi problem mendasar dalam konteks kehidupan multikultural. Sikap semacam itu bukan hanya memperlihatkan arogansi dan mengarah pada pemaksaan, tapi juga menegasikan penghayatan orang terhadap keyakinan yang secara kultural berbeda-beda. ”Tiada keselamatan di luar gereja”, sebuah warisan teologi Abad Pertengahan yang untungnya telah direvisi melalui Konsili Vatikan II, yang menegaskan keutuhan dan ketunggalan kebenaran justru memungkiri kenyataan lokal yang sesungguhnya amat beragam itu. Prinsip theologia semper reformanda, teologi harus senantiasa diperbaharui, nampaknya pas menjadi bahan refleksi. Bukan lantaran produk petinggi gereja itu yang mendesak teologi diperbarui, melainkan realitas sosial dan penghayatan agama itu sendiri yang dinamis dan tak pernah tunggal ikut menuntut itu.
Melalui kehidupan sehari-hari komunitas Dayak, kita menjumpai mereka, meskipun telah memeluk agama baru, tetap menjalankan kebiasaan dan kepercayaan mereka yang lama. Seorang Belian, misalnya, ia tidak benar-benar meninggalkan kepercayaan lama memberi pengobatan dengan meramal mantra meski dirinya menganut Katolik. Bahkan sejak lama catatan yang dibuat Yekti Maunati dalam Identitas Dayak menegaskan bahwa orang Kenyah, komunitas Dayak pertama pemeluk Kristen, tetap mengikuti adat dan tradisi Kenyah meski dirinya telah memeluk agama baru.
Menghendaki atau memaksa mereka meninggalkan keyakinan lamanya jelas sebuah harapan yang sia-sia. Karena pengalaman agama baru itu bagi komunitas lokal ibarat sebuah pertemuan atau percampuran dua horizon berbeda yang tak harus saling menegasikan. Seperti pengakuan yang diuraikan oleh Rasau, kepala adat Benuaq di desa Dermai, Kecamatan Damai, Kubar. Menurut dia, agama hanya tambahan bagi kebiasaan adat yang diwarisi dari nenek moyangnya sejak lama, tanpa harus meninggalkan kepercayaannya itu.
Hal serupa juga diyakini komunitas Dayak yang lain, Yohanes M. Lengko misalnya. Warga lou (lamin) kampung Eheng, Kecamatan Barong Tongkok, Kutai Barat ini mengaku dirinya tetap menjalankan ritual-ritual adat meski dirinya menganut Katolik. ”Bagi kami dan sebagian besar warga Eheng hal itu tak masalah,” katanya. Kesaksian lain juga diberikan oleh seorang Belian muda. Betapa bangganya Junyung, pemudi asal Dayak Benuaq ini saat menarikan Gantar dan menyanyikan Berijoq dalam perayaan misa di hari-hari besar agama. Keduanya adalah kesenian khas Dayak Benuaq yang sering ditampilkan dalam kegiatan-kegiatan peribadatan.
Barangkali kemampuan berdialog dengan budaya lokal dan menghormatinya semacam inilah yang lebih penting bagi kekristenan (ke-Katolik-an) yang akan datang. Sebagaimana anjuran Florentinus Sului dalam khotbah misanya dalam peringatan seabad Gereja Katolik itu yang berseru: ”Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam”. Kalimat ini bisa dimaknai sebagai sebuah perintah yang bukan hanya bertujuan menekankan misi atau dakwah agama belaka. Melainkan juga membangun dialog terus menerus dengan masyarakat dan memberi pelayanan kepada mereka agar bisa hidup sejahtera dan bermartabat.
Tepat pula apa yang dikhotbahkan pimpinan Gereja Keuskupan Agung Samarinda ini. Tantangan Gereja Katolik dalam 100 tahun ke depan bukan lagi lebatnya hutan, binatang buas, penyakit malaria/TBC/dll, serta penolakan komunitas Dayak terhadap iman Katolik. Melainkan kondisi-kondisi aktual yang berkembang akibat gempuran kepentingan ekonomi maupun politik yang bisa menyebabkan kondisi umat dan masyarakat kita terpuruk. Bukankah iman atau kepercayaan dalam fitrahnya adalah sebuah jalan pemerdekaan dan pembebasan? Desantara