Rh. Atong Tjakradinata: Kita Hanya Ingin Mengingat Sejarah

desantara-default

Desantara.or.id

Sebagian kalangan menilai tradisi Nyangku sebagai perilaku musyrik yang tidak boleh dilakukan, karena itu bertentangan dengan ajaran Islam. Anggapan ini ditepis oleh RH. Atong Tjakradinata, sesepuh keturunan Kerajaan Panjalu. Menurutnya, upacara Nyangku ini hanyalah dimaksudkan untuk mengingat sejarah, sekaligus menyampaikan sembah sujud kepada Yang Maha Agung. Juga Mahabbah kepada Rasulullah, dengan mempelajari dan mengingat perjuangan para leluhur dalam menyebarkan agama Islam di bumi nusantara ini. Berikut pandangan RH Atong Tjakradinata, saat ditemui Desantara yang terdiri atas Saeful Badar, Eriyandi Budiman, dan Bode Riswandi:

Bisa diceritakan bagaimana sebetulnya sejarah Kerajaan Panjalu, hingga kemudian mewariskan tradisi Nyangku ini?

Kalau ingin tahu sejarah Panjalu, walaupun secara singkat, harus tahu terlebih dahulu galur Pusaka Galuh. Galuh Pusaka itu masih prasejarah. Arti Galuh menurut para akhli Bahasa, itu adalah permata. Tapi menurut falsafah kehidupan manusia, galuh itu perwujudan jasmani dan rohani manusia. Jadi semua dari kita adalah galuh. Sebab yang disebut Galuh itu, di atas seusap rambut di bawah seusap tapak kaki. Begitu menurut pusaka Galuh. Nah, yang disebut permata itu ‘kan seperti gelang, bros, kalung, cincin, dan sebagainya. Semuanya barang berharga. Galuh itu timbul di dalam prasejarah yang disebut Pusaka Galuh. Galuh itu ada dua macam, ada sagir ada kabir. Kalau sagir mah di atas seusap rambut, di bawah seusap telapak kaki. Sedang Galuh kabir adalah Galuh Besar, yakni alam semesta.

Cuma menurut sejarah di dalam Galuh itu ada galeuh (beli), galeuh itu kalau di sebatang pohon itu merupakan pusatnya pohon, yang biasa membesarkan kayu. Nah yang ini sangat sakral. Dari Galuh kepada Galeuh sampai pada Galih, menurut bahasa Agama galih itu kolbu. Segumpal darah yang ada dalam tubuh manusia. Bisa dikandung pengertian memilih, mana salah mana benar, mana gelap mana terang. Jadi di samping hukum agama, di dalam tubuh manusia itu ada aspek nurulloh, nur Muhammad dan nur Adam. Jadi galeuh itu galih. Galeuh itu ada dua, kalau dikaitkan dengan teritorial kedaerahan, kata para orang tua, dari arah Barat Ujung Kulon dari arah Timur Banyuwangi. Itu adalah daerah teritorial tadi.

Menurut keterangan sejarah, Sanghyang Prabu Tjipta Permana Dewa, Ratu Galuh Nyakrawati Ing Nusa Jawa, tinggal di Gunung Bitung. Ciri-cirinya Bitung serumpun dan kulah sampai sekarang masih tetap ada. Kulahnya ada, Bitung serumpunnya juga ada. Di situ tinggal Sanghyang Prabu Tjipta Permana Dewa, putera Sanghyang Prabu Galuring Sajagat. Galuring Sajagat anak dari Sanghyang Babar Buana. Sanghyang Babar Buana anak dari Sanghyang Galeuh Gunung Bitung. Lokasinya di perbatasan kecamatan Panawangan, Panjalu, dan Gunung Cupu.

Apa betul pedang milik Prabu Borosngora itu berasal dari Sayyidina Ali?

Betul. Prabu Sanghyang Borosngora berguru ke Sayyidina Ali RA pada tahun 650 M. Keduanya bertemu di Arafah, lalu tinggal di Mekkah. Ketika hendak pulang dari Mekkah, Prabu Borosngora diberi kenang-kenangan oleh Sayyidina Ali berupa cis, pedang, dan pakaian. Oleh Sayyidina Ali, Prabu Borosngora ditugaskan untuk melakukan dakwah Islam. Akhirnya dia datang ke sini, ke Kerajaan Panjalu dimana ayahandanya Prabu Cakradewa memimpin rakyatnya.

Bagaimana ceritanya hingga Prabu Borosngora berguru kepada Ali?

Sanghyang Prabu Borosngora itu anak kedua dari Sanghyang Prabu Tjakradewa. Suatu ketika dia memohon ijin ayahandanya untuk menguji kesaktian raja-raja yang menjadi tetangga kerajaan Panjalu. Permohonan itu ditolak oleh ayahandanya. Akan tetapi karena Borosngora terus-terusan memohon, maka ayahandanya mengabulkan dengan memberikan syarat terlebih dahulu. Yakni Borosngora harus bisa mengambil air dengan gayung yang sudah dilubangi. Maka Borosngora pun menerima titah Prabu Tjakradewa itu dan berangkatlah dengan keyakinan bakal dapat menciduk air dengan gayung yang sudah dilubangi itu. Dalam hatinya dia berjanji tidak akan pulang sebelum berhasil. Berbagai tempat telah disinggahinya dengan maksud untuk berguru kepada orang sakti. Namun sebelum memutuskan berguru, Borosngora senantiasa menguji kesaktian calon gurunya itu. Dan semuanya bisa ditaklukkan oleh Borosngora.

Di tengah perjalanan dia pun bersemedi. Dengan memejamkan mata, ia memohon kepada Yang Maha Kuasa agar apa yang dicita-citakannya bisa dicapai. Atas pertolongan Yang Mahakuasa, pada saat membuka mata ternyata dia sudah berada di Mekkah, di tengah-tengah Masjidil Haram. Di sanalah dia bertemu dengan Sayyidina Ali yang menyamar seorang kakek. Ali menanyai apa maksud dan tujuan Borosngora. Borosngora pun lalu menceritakan keinginannya. Ali mengatakan, dengan seijin Allah apa yang dicita-citakan Borosngora akan tercapai, asalkan terlebih dahulu Borosngora mau bersyahadat.

Borosngora tidak mau begitu saja menuruti apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali kecuali terbukti Ali lebih sakti dari dirinya. Maka Ali pun menancapkan tongkatnya ke tanah di hadapan Borosngora dan mengatakan jika Borosngora tak berhasil mencabut tongkat tersebut, dia harus mengucapkan kalimah syahadat, artinya harus masuk Islam. Anehnya, Borosngora tak berhasil mencabut tongkat yang ditancapkan Ali tersebut. Maka dia pun tunduk kepada Ali. Borosngora lalu mengucapkan kalimah syahadat. Setelah mengucap syahadat, sungguh menakjubkan, dia berhasil menciduk air zamzam yang ada di Masjidil Haram dengan gayung yang berlubang-lubang itu. Setelah bertahun-tahun berguru kepada Ali, Borosngora lalu pulang ke kampung halaman dengan membawa air zamzam tersebut.

Kalau tradisi Nyangku ini, apa sebetulnya makna yang hendak disampaikan?

Soal Nyangku ini memang banyak yang menganggap musyrik. Dikatakan sebagai adat orang-orang yang belum Islam. Padahal dengan upacara Nyangku ini kita bermaksud hendak mengingat akan sejarah. Menelusur galur sembah sujud kepada yang Maha Agung, syukuran kepada yang Maha Kuasa. Mahabbah kepada Rosululloh sejak mapatkeun iman takwa hanya kepada Allah SWT. Menelusur galur karuhun mengejar laratan manusia yang hidup di jaman dahulu kala. Kita bisa membangkitkan rasa rumasa dan tumarima. Dengan memelihara tradisi itu kita berharap bisa selalu ingat bahwa amal kita hari ini harus lebih baik dari pada kemarin, begitu seterusnya. Desantara / Komunitas Azan

BAGIKAN: