“Kami belum bisa menjalankan program dokter keluarga, karena belum ada payung hukumnya.” (Hindar Jaya, Ketua IDI Bontang)
“Ada tetangga separuh badannya mati… Setelah dibuatkan sesajen dan diupacarakan, pelan-pelan sembuh”. (Kumala, Pemimpin Ritus Bebalai di Nyerakat)
Kutipan pernyataan Hindar Jaya yang juga Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang Bontang itu diambil dari Harian Kaltim Post yang minggu lalu memberitakan rencana Pemkot Bontang menyiapkan Perda
Pelayanan Kesehatan (7/2/2007). Kabarnya melalui perda tersebut warga Bontang akan menikmati program dokter keluarga, sebuah layanan pengobatan gratis, yang ditanggung pemerintah setempat lewat dana APBD.
Pastinya kabar pengobatan gratis ini akan meringankan beban hidup warga di tengah biaya kesehatan yang mahal. Terutama warga desa di wilayah-wilayah yang berada jauh dari pusat keramaian kota Bontang yang mustahil berobat ke rumah sakit yang rata-rata bertarif selangit. Seperti warga Nyerakat, salah satu kampung di ujung selatan kota Bontang, yang baru bisa dijangkau dengan satu jam perjalanan sepeda motor dari Bontang lewat halur jalan Flores.
Di Nyerakat dan beberapa kampung yang bersebelahan, para warganya bukan hanya menghindari tarif rumah sakit yang mahal, tapi juga bergantung pada cara pengobatan tradisional yang biasa dilakukan dalam rangkaian ritual tradisi Bebalai. Tak jarang bahkan beberapa pasien berbondong-bondong menghadiri ritual tersebut, setelah berbulan-bulan menjalani perawatan di rumah sakit namun tak jua membuahkan hasil.
“Beberapa hari lalu, ada tetangga separuh badannya mati, ia tak mampu bergerak. hampir sebulan ia dirawat di rumah sakit, tapi tak ada perubahan sama sekali. Lalu keluarganya meminta saya mengobati. Dan setelah dibuatkan sesajen dan diupacarakan, pelan-pelan sembuh,” ujar Ibu Kumala menuturkan aktifitasnya. Perempuan berusia 50 tahunan ini dikenal penduduk sekitar sebagai penari, sekaligus pewaris upacara adat Bebalai di kampung Nyerakat.
Di kampung nun jauh di sana, mungkin Ibu Kumala tak pernah tahu rencana Pemkot Bontang menyusun perda pelayanan kesehatan. Apalagi soal anggaran kesehatan yang nantinya bakal mengalir ke rumah-rumah sakit atau dokter-dokter praktek itu. Tapi di sinilah persoalannya. Apakah keberadaan, fungsi dan peran yang dimainkan Ibu Kumala dan warga komunitas Bebalai hendak “dilupakan” (baca: diabaikan) dalam kebijakan publik?
Bebalai dan Kampung Nyerakat
Bagi warga Nyerakat, Bebalai adalah tradisi turun temurun. Tiap kali hajatan tahunan ini digelar hampir seluruh warga kampung yang berpenduduk 350-an orang itu tumpah-ruah di tempat ritual berlangsung. Seperti November tahun lalu, upacara bukan hanya disesaki warga Nyerakat, tapi juga dihadiri komunitas Bontang Kuala, Pulau Selangan, Tanjung Limau, dan Melahing yang masih dalam satu kekerabatan dengan suku Bontang Kuala.
Konon upacara adat itu disebut Bebalai atau disebut Balai saja, karena perlengkapan yang dipakai untuk menempatkan sesajen menyerupai balai atau rumah bertingkat. Perlengkapan dibuat dari bambu kuning dan berbentuk persegi empat yang menyerupai rumah atau ranjang. Biasanya peralatan ini dilengkapi dengan kain putih satu pis yang oleh masyarakat setempat disebut satu kayu.
Ritual ini bagi komunitasnya ternyata tak semata-mata memberi bantuan pengobatan. Bebalai juga simbol perekat bagi para kerabat yang telah terpencar-pencar di berbagai pelosok kampung dan pulau-pulau terpencil.
Sementara bagi warga nelayan atau petani, Bebalai menjadi semacam upacara syukuran, sekaligus doa agar laut sebagai tampat pencahariannya tetap lestari. Begitu pula ladang-ladang tanaman tetap dikaruniai kesuburan dan kemakmuran.
”Bebalai ini untuk menjaga agar tanah Bontang tetap subur, dan ikan laut tetap melimpah,” ujar Kumala, penari Bebalai yang mewarisi tradisi dari orang tuanya ini.
Warga Nyerakat sendiri konon berasal dari Bontang Kuala, sebuah perkampungan atas laut yang ditopang ribuan kayu Ulin, yang merupakan kampung pertama di kota Bontang. Diperkirakan sejak tahun 1969, empat tahun usai peristiwa G 30 S dan lima tahun sebelum PT Badak NGL Co yang mengolah cadangan besar gas alam cair mulai beroperasi, sebagian penduduk Bontang Kuala ini memilih Nyerakat sebagai hunian baru.
Entahlah, belum jelas benar alasan sebenarnya kepindahan para penduduk yang terus berharap selalu “rekat” dan “rukun”, yang lalu dijadikan nama kampung ini. Tapi terdengar salah satu alasan kepindahan ini karena bahan pangan di tempat asal mereka sulit diperoleh, sementara mengandalkan penghasilan melaut saja tidak mencukupi. Bagi mereka perkampungan baru ini dianggap tempat yang menjanjikan untuk berladang dan berkebun (Nasir Makkaraka, 2006).
Media Pengobatan
Selain sebagai alat perekat, orang-orang Nyerakat dan kampung-kampung sekitarnya memanfaatkan Bebalai sebagai media pengobatan berbagai macam penyakit. Serupa seperti upacara belian yang dilakukan komunitas Dayak Benuaq dan Tunjung, juga ritual mulung bagi komunitas suku Pasir yang berfungsi sekaligus sebagai sarana penyembuhan. Sebuah kenyataan sosial dan kultural dalam masyarakat yang selama ini luput dari perhatian para pegawai dinas kesehatan, petugas puskesmas, dan orang-orang kota lainnya.
Bagi komunitas ini dan sebagian orang yang pernah merasakan khasiat penyembuhan tradisional, ritual-ritual semacam ini tidak bisa dibandingkan dengan model penyembuhan modern di rumah sakit atau lewat keahlian dokter-dokter biasa. Lantaran acapkali penyembuhan lewat ritual-ritual semacam ini justru dirasakan lebih cespleng ketimbang model perawatan rumah sakit.
Ibu Kumala, misalnya. Peemimpin ritus Bebalai ini menuturkan bahwa ia kerap melayani keluhan warga yang tak kunjung sembuh saat dirawat di rumah sakit biasa. Tidak beberapa lama setelah melalui proses ritual dan dibacakan beberapa mantra, kata Kumala, penyakit yang diderita sang pasien pun berangsur-angsur sembuh seperti sedia kala.
Hal yang sama juga dituturkan Hasan, seorang belian dari Desa Jahab. Hasan membuktikan kemampuan ritualnya yang berhasil memulihkan pembengkakan paha kaki seorang pasien bergelar haji, yang berbulan-bulan tak kunjung sembuh.
”Orang itu sempat berobat ke Malang Jawa Timur, namun tak kunjung sembuh. Lalu ia datang ke rumah saya minta di-belian, dan terbukti sembuh. Sampai sekarang Pak Haji ini masih sehat-sehat saja,” kata belian muslim yang mengaku menggabungkan mantra-mantra berbahasa Arab dan Kutai dalam ritualnya ini.
Ya, mantra-mantra atau rajah-rajah khusus inilah biasanya yang menjadi alat pengobatan. Tak banyak orang mengerti mantra-mantra macam apa yang dibacakan belian ini. Barangkali hanya Hasan dan para belian saja yang tahu. Namun yang jelas itu bukan resep medis yang biasa ditulis para dokter. Atau saran-saran ”ilmiah” yang ditujukan para pasien. Persis seperti mantra-mantra dan guratan rajah-rajah para dukun, hanya para dokter pulalah yang memahami resep dalam potongan kertas yang kadang tak terbaca oleh mata awam itu.
Pandangan Miring
Sebagaimana belian dan mulung, ritual Bebalai biasanya dilakukan di tempat khusus. Bebalai digelar di sebuah balai yang terbuat dari bambu kuning, lengkap dengan aneka sesajen. Di tempat ini sang pemimpin ritual, seperti diperankan Kumala, memulai ritus sakral. Kumala membacakan mantra-mantra sambil menggerak-gerakkan tangannya di atas kepulan asap api kemenyan yang pelan-pelan menjalar ke segala sudut ruangan. Beberapa saat kemudian, Kumala menari-nari dan dalam keadaan trance lalu duduk di balai mengobati satu per satu orang yang membutuhkan jasanya.
Meskipun ritual penyembuhan ini diikuti oleh banyak orang, seringkali ia dipandang miring oleh sebagian orang. Bukan hanya oleh para tenaga medis, Bahkan MUI Bontang seperti diperkuat oleh ketuanya, H. Umar Tanatta, pernah merilis pernyataan resmi di media massa, 2003 lalu, bahwa upacara adat semacam itu telah mendangkalkan akidah dan telah menyalahi ketentuan agama.
Barangkali pandangan miring semacam ini pula yang hingga kini mendasari pertanyaan kita, kenapa ritual Bebalai dan ritual-ritual serupa tidak masuk dalam perbincangan pejabat publik. Apalagi masuk dalam agenda program dokter keluarga yang akan segera disusun perda-nya oleh pemkot Bontang saat ini. Bukankah mereka berhak hidup dan diakui peran sosialnya seperti warga lain?
Tentu ironis, bila Bebalai dan komunitas te
mpat mereka menghayati peran sosial dan kulturalnya seolah-olah ditolak, dilupakan dan diabaikan. Desantara / Asman Azis dan Naim