Pemerintah melalui Departemen Agama bermaksud meningkatkan status Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi UU yang lebih bersifat imperatif, berlaku mengikat. Padahal KHI yang menjadi acuan para hakim agama ini memiliki segudang kelemahan. Ada masalah keadilan, kesetaraan gender, pluralisme, maupun hak-hak asasi manusia. Berikut wawancara Mh. Nurul Huda dari Desantara dengan Dr. Siti Musdah Mulia, MA koordinator Tim Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama, dan staf ahli Menteri Agama bidang Organisasi dan Hukum, beberapa waktu lalu di kediamannya, bilangan Matraman Dalam Jakarta. Berikutnya petikannya tentang masalah-masalah tersebut:
KHI kini kembali menjadi sorotan publik setelah ada keinginan pemerintah untuk menjadikannya UU. Apa sih fungsi dan tujuan KHI itu?
KHI itu adalah kompilasi hukum Islam yang didalamnya mengatur soal perkawinan, perwarisan dan perwakafan berdasarkan hukum Islam. KHI disusun dalam rangka penyeragaman atau unifikasi hukum yang menjadi pedoman bagi para hakim agama untuk menetapkan keputusan atau kasus yang mereka hadapi dalam berbagai peradilan agama. Nah sekarang ini KHI ingin ditingkatkan statusnya menjadi UU agar status hukumnya berlaku mengikat.
Apa reaksi Anda dan kawan-kawan atas keinginan pemerintah tersebut?
Saya rasa ini kesempatan penting untuk mengkritisi, mereformasi dan merevisi pasal-pasal yang tidak mencerminkan keadilan dan kesetaraan sebelum diundangkan. Pasal-pasal dalam KHI versi lama sangat konservatif, selain mengabaikan aspek kesetaraan gender, diskriminatif, juga melawan semangat pluralisme.
Anda bisa sebutkan sejumlah klausul yang konservatif dan menghambat semangat pluralisme itu?
Pertama, soal perkawinan dijelaskan mengenai larangan perkawinan beda agama. Atau dalam berbagai kasus perkawinan beda agama dibolehkan bila pihak laki-laki beragama Islam. Saya nggak tahu mengapa harus dilarang. Padahal, dalam Quran pun tidak ada larangan eksplisit kawin beda agama. Mungkin definisi perkawinan yang harus kita luruskan. Bahwa perkawinan adalah relasi sosial antara dua individu yang melakukan kesepakatan rasional membentuk ikatan suami isteri. Jadi perkawinan bukan kewajiban agama.
Perkawinan juga hak asasi…
Ya, memilih untuk kawin dan dengan siapa ia melaksanakan perkawinan itu hak asasi manusia. Bukan malah diatur-atur. Sehingga untuk menikah saja harus dipersulit. Anda bisa lihat kan itu berdampak pada status anak-anak dalam akte kelahiran mereka yang tidak jelas. Anak-anak menjadi korban pelabelan negatif. Disebut anak haram lah, anak hasil perzinaan lah… Makanya definisi perkawinan sendiri harus diubah dalam KHI. Bayangkan, dalam perkawinan saja harus mencatatkan diri di dua institusi yang berbeda (Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil). Ini kan sebenarnya proyek negara saja yang mempersulit masyarakat.
Selain kawin beda agama, ada persoalan lain dalam KHI?
O ya, mengenai saksi dalam perkawinan yang harus muslim. Ini kan nggak masuk akal. Saksi perkawinan aja kok, mesti muslim. Lalu, dalam hukum perwarisan mengatur soal anak bukan muslim atau keluar dari Islam, tidak berhak memperoleh harta warisan dari orang tuanya yang muslim. Padahal, urusan waris-mewaris kan terkait dengan hubungan keluarga. Lalu soal perwaqafan yang dalam prakteknya masih menghalangi proses wakaf dari dan oleh non-muslim, dan sebaliknya. Nah kita mau mendesak agar klausul-klausul yang menghambat pluralisme dan semangat membangun kebersamaan antar masyarakat yang beragam ini direformasi dan dihapuskan.
Persoalan krusial yang lain…
Ya, ada sebuah pasal yang mengatakan bahwa seorang suami boleh tinggal serumah dengan beberapa isterinya bila ia berpoligami. Saya tidak habis pikir, kok tega-teganya orang yang bikin pasal ini. Padahal persis ayat sebelumnya menyatakan, prinsip dasar perkawinan adalah monogami. Tapi ayat berikutnya kok malah poligami. Mestinya poligami itu dilarang. Jadi sebetulnya ada kontradiksi dalam pasal-pasalnya sendiri, bahkan ini dalam satu pasal!
Pasal-pasal tersebut tercantum dengan sangat vulgar. Menurut Anda apa penyebabnya?
Pertama, konteks KHI lama itu lahir dalam kekuasaan orde baru yang sarat dengan kepentingan politik. Ini bisa dilihat dari penyusunannya sendiri dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan pihak Eksekutif, yaitu Departemen Agama. Sementara masyarakat dan tokoh-tokoh agama lain tidak banyak dilibatkan. Kedua, penetapan hukum dalam KHI mengadopsi begitu saja produk hukum fikih klasik yang bernuansa budaya Arab dan Timur Tengah, bahkan ini dicangkokkan begitu saja tanpa memberikan tafsir baru berdasarkan realitas dan kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia yang sangat plural ini.
Selain masalah KHI, kini juga ada RUU Kerukunan Umat Beragama yang memiliki semangat sama dalam membatasi kebebasan beragama dan menghambat pluralisme. Sebenarnya di atas logika apa RUU-RUU ini dibentuk?
Memang ini menyedihkan sekali. Apalagi RUU tersebut produk Departemen Agama. Tapi yang jelas, saya kira mereka, termasuk orang-orang MUI yang menyusun RUU tersebut masih memiliki pemikiran yang sangat konservatif, berpandangan tekstualistik dalam menafsir teks-teks keagamaan. Kedua, produk hukum tersebut disusun dalam bingkai logika kecurigaan. Misalnya, soal isu kristenisasi yang kerap kali muncul dalam kawin beda agama. Sehingga atas nama “kemaslahatan umat”, diskriminasi dan konservatisme agama itu memperoleh pembenaran. Yang ketiga, menyangkut pandangan bahwa perempuan itu lemah dan pandangan umum laki-laki sebagai kepala keluarga. Bangunan paradigma seperti ini membuat RUU-RUU tersebut tidak memiliki sensitifitas gender, dan berakibat larangan nikah beda agama karena khawatir sang anak akan mengikuti orang tuanya yang non muslim. Padahal dari catatan Biro Pusat Statistik (BPS), satu dari sembilan keluarga Indonesia dikepalai oleh perempuan. Dan umumnya sang anak mengikuti agama ibunya karena ia merasa lebih dekat kepada ibunya. Jadi, logika yang dipakai mereka, ya begitulah…
Bagaimana sebaiknya KHI ke depan?
Jelas KHI yang baru nanti harus membawa semangat keadilan, kesetaraan, pluralisme, dan memiliki sensitifitas gender. Sekaligus mencerminkan semangat kebangsaan dan keberagaman masyarakat kita. Desantara