Mahrus eL-Mawa | 9 – Mar – 2008
Beberapa hari lalu, ada seorang kawan yang menerima teror. Kawan ini begitu getol mengritik RUU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (RUU KPK) yang baru-baru ini ramai diperbincangkan. Salah satu kritiknya adalah bahwa RUU itu tidak sejalan dengan persoalan perempuan dan kesepakatan Internasional. Saya sendiri heran mengapa masih ada pejabat yang merasa terancam bila dikritisi. Tak terbayangkan jika relasi-kuasa di era transisi menuju demokrasi saat ini masih represif, intimidatif, atau bergaya Orba seperti itu. Dengan teror itu, tak berlebihan seandainya dikatakan bahwa arogansi dan otoriterianisme memang masih menjadi “watak dasariah” para pengusung RUU.
Pro dan Kontra. RUU KPK sampai detik ini masih mengandung “pro dan kontra”. “Pro” bagi sang pengusul yang dengan susah payah telah mencoba untuk memadukan hasil keputusan konvensi International Conference on Population Development (ICPD) tahun 1994 di Cairo Mesir dan Millenium Development Summit (MDS) New York, tahun 2000. Walaupun, RUU ini hak inisiatif DPR dan telah dikaji melalui diskusi, dialog, hearing dengan para akademisi, aktifis, dan lain-lain.
Adapun yang “kontra” adalah kelompok yang masih memandang bahwa RUU ini belum sepenuhnya menggunakan spirit ICPD, lebih khusus lagi kurang berpihak pada perempuan yang selama ini dipinggirkan haknya dalam keluarga. Belum lagi, penggunaan istilah dalam RUU yang akan menimbulkan pemahaman distortif dan memunculkan diskriminasi karena belum adanya peraturan lain yang adil dan tegas.
Misalnya pasal 7 (a) yang menyatakan “hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Padahal, hingga kini agama resmi yang diakui pemerintah hanya lima. Apakah jika perkawinannya dilangsungkan di luar agama resmi berarti perkawinan itu menjadi tidak sah? Pada soal yang demikian itu, penegakkan HAM dan nilai-nilai kemanusiaan seringkali terabaikan.
Demikian juga pasal 36 (3) yang menyatakan bahwa “Kebijakan pengaturan
kehamilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengandung pengertian bahwa dengan alasan apapun promosi aborsi sebagai pengaturan kehamilan dilarang”. Apa yang dimaksud dengan promosi aborsi? Sementara RUU kesehatan sendiri yang membicarakan sekitar aborsi juga masih diperdebatkan.
Kelompok terakhir yang kontra RUU ini sebenarnya tidaklah menolak RUU KPK. Mereka hanya meminta agar lebih jelas dan tegas lagi statemen hukumnya dalam soal-soal yang selama ini masih tidak adil dan diskriminatif. Dan karenanya materi RUU KPK itu perlu ditambahi atau dikurangi dalam pasal-pasal atau pernyataan hukumnya sebelum menjadi UU.
Kependudukan Bukan dari Ruang Hampa
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera telah diamandemen pada tanggal 9 Desember 2003 dan sebagai gantinya menyepakati disusunnya RUU KPK. Menurut PIKAS (Pusat Informasi Keluarga Berkualitas), perubahan substansi dari UU ini mencapai 90 %. Sebab, selain karena belum mengadopsi isu-isu perubahan global di bidang kependudukan dan pembangunan seperti hasil ICPD, juga ada beberapa hal lain yang masih perlu dibenahi karena masih menganut pendekatan sentralistik, belum ada lembaga penanggung jawab, dan tak ada sanksi-sanksi. Bagi fraksi-fraksi di DPR, UU lama tidak efektif karena terlalu umum dan tidak mengatur secara spesifik apa yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan perkembangan kependudukan.
RUU KPK merupakan salah satu upaya mengimplementasikan kesepakatan ICPD di Indonesia, kata Surya Chandra dari Forum Parlemen yang juga juru bicara F-PDIP pada saat amandemen. Namun demikian setelah diteliti lebih jeli lagi, ternyata RUU KPK ini masih tetap memungkinkan penafsiran yang sebaliknya, seperti disebutkan di atas. Bila merujuk pada Deklarasi Cairo, kerangka paradigmatik soal kependudukan dan pembangunan keluarga lebih memandang persoalan hak, terutama hak perempuan atas kesehatan reproduksinya dan hak perempuan untuk menentukan dirinya sendiri. Dan ini sungguh berbeda dengan beberapa pasal pada RUU KPK.
Seperti pada pasal 8 yang menyatakan bahwa “Hak penduduk sebagai anggota keluarga meliputi: (e) hak yang sama antara suami dan istri untuk mewujudkan hak reproduksinya dan semua hal yang berkenan dengan kehidupan perkawinannya”. Atau juga pada pasal 40 (1) yang menyatakan “Suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan yang sederajat dalam menentukan cara pengaturan kehamilan”.
Sudah menjadi maklum bersama, bahwa posisi suami dengan latar budaya yang melingkupinya dan pemahaman agamanya, adalah masih patriarkhal. Tentu saja, dengan bunyi klausul pasal semacam itu, tafsiran posisi suami akan lebih berkuasa tidak bisa dielakkan, bahkan mendapatkan tambahan legitimasinya. Berarti, tekanannya tidak lagi pada hak perempuan (isteri) atau hak untuk menentukan dirinya sendiri yang didahulukan, tetapi juga hak lelaki (suami). Nampaknya, ini memang persoalan waktu semata, karena mayoritas perempuan Indonesia masih dipinggirkan dan tak terpikirkan secara utuh.
Karena itu, bila RUU ini dianggap sangat memberikan perhatian pada upaya melindungi hak-hak penduduk termasuk pemenuhan dan perlindungan reproduksi (psl. 7-12, 29, 39 (2), 40 dan 41 jelas tidak semuanya benar. Bahkan, bila membaca pasal 40 (2) terkesan ada intervensi pemerintah yang sangat jauh dalam masalah suami isteri. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut: “Jika terjadi ketidaksepahaman antara pasangan suami isteri tentang pilihan pengaturan kehamilan, maka mereka memiliki hak dan kewajiban mencari bantuan untuk sampai pada kesepakatan pilihan tentang cara pengaturan kehamilan”.
Problem lainnya adalah soal sanksi. Dalam konteks tersebut, bila yang dimaksudkan bahwa RUU itu sebagai bentuk pemenuhan dan perlindungan pada hak penduduk, soalnya kenapa sanksi pada ketentuan pidana RUU KPK hanya untuk penduduk semata, sedangkan pemerintahnya sendiri atau pelaksananya tidak dikenai pidana kalau-kalau tidak melaksanakan kewajibannya? Tentu saja, ketidakadilan semacam ini tidak boleh dibiarkan. Seperti tersebut dalam beberapa pasal berikut ini. Pada pasal 67 menyebutkan bahwa denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta) dan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan, bila (1) orang tua tidak melaporkan kelahiran anaknya, (2) setiap orang yang tidak melaporkan perpindahannya, dan (3) keluarga yang tidak melaporkan kematian salah satu anggota keluarganya. Begitu pula pasal 68 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi kependudukan dan keluarga yang diperlukan untuk kebijaksanaan pembangunan dimaksud dalam pasal 17 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta)”.
Dengan klausul seperti itu, nampak sekali bahwa perlindungan pemerintah atau negara terkesan mau membebani rakyat atau penduduk. Padahal dalam Deklarasi Universal PBB pasal 16 dikatakan bahwa “Keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara”. Bila malah membebani penduduk, apa bedanya RUU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dengan “pendudukan” (negara) pada kehidupan penduduk dan keluarga?
Penutup
Bila menghendaki RUU KPK ini akan dipatuhi rakyat atau penduduknya, maka tidak terlambat bila harus dilakukan revisi. Selain apa yang dipaparkan di atas, sebenarnya masih terdapat hal lain yang terkait dengan kemaslahatan rakyat. Misalnya, pada pemahaman agama dan norma budaya (adat). Dua hal inilah yang dalam sejarah Indonesia hingga kini masih menjadi problem, justru karena ulah dari pemerintahnya. Maka, jika RUU KPK tidak dapat memberi jaminan pada dua hal itu tentu saja akan bertentangan dengan UU atau peraturan lainnya yang juga masih diskriminatif.
Adapun beberapa pasal yang menyebut agama dan adat, antara lain; Pasal 39 (3) “Penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi agama yang dianut, norma budaya, etika, serta segi kesehatan”. Pasal 9 (2) “Penduduk sebagai anggota masyarakat adat atau tradisional berhak mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”. Begitupun dalam Rancangan Penjelasan UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga: “Sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa maka Indonesia terikat kepada berbagai hukum Internasional yang telah diratifikasi dan deklarasi tentang pengelolaan kependudukan dan pembangunan keluarga, namun demikian pelaksanaannya harus tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia serta agama, norma sosial budaya dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat.” (hlm. 37-38).
Pertanyaannya adalah apa yang akan dijadikan landasan tentang agama, adat, atau norma, yang justru dengan hal-hal itu ketidakadilan (perempuan, khususnya) menjadi langgeng. Di sinilah pentingnya pemahaman kembali tentang nilai-nilai universal, kemanusiaan, dan keagamaan yang berkeadilan bagi semua.
Terakhir, yang terlupakan dari RUU KPK adalah apakah setiap penduduk atau orang harus memiliki keluarga? Nampaknya hal demikian belum disebutkan dalam RUU KPK. Sebab bukankah di sekeliling kita, masih banyak anak jalanan, misalnya karena akibat gempa, kerusuhan dan konflik atau hal lainnya. Belum lagi, jika ada orang yang ingin hidup sendiri (stay single). Wallahu a’alam. Desantara-Mahrus eL-Mawa